Menurut Seno Gumira Ajidarma, obsesi itulah yang terasa kuat pada Iskandar Zulkarnain, Taufik Uieks, dan Tjiptadinata Effendi, hingga mereka bertiga berhasil memelihara spirit dalam menulis. Artinya, ada dorongan kuat untuk menuliskan sesuatu serta ada spirit yang menyala-nyala untuk berbagi gagasan kepada publik. Dorongan dan nyala spirit tersebut, berbeda-beda kadarnya dalam diri tiap netizen writer. Senantiasa melakukan olah rasa dan olah pikir, antara lain dengan berdiskusi dan membaca, adalah bagian dari upaya untuk memperkuat dorongan serta nyala spirit tersebut.
Ini memang tantangan bagi tiap netizen writer, yang praktis tidak memiliki kewajiban untuk menulis, sebagaimana halnya seorang reporter yang bekerja di suatu media. Menetapkan kewajiban pada diri sendiri, seperti yang dilakukan Tjiptadinata Effendi, barangkali terasa sangat berat bagi yang lain. Iskandar Zulkarnain memilih mewajibkan dirinya menulis dua tulisan per minggu. Taufik Uieks pun demikian. Ini menunjukkan kepada kita bahwa tiap netizen writer memiliki keleluasaan untuk merumuskan pola yang sesuai dengan diri masing-masing.
Keleluasaan tersebut, bila ditafsirkan secara serampangan, bisa melemahkan dorongan menulis serta meredupkan hasrat berbagi gagasan melalui tulisan. Maka, sebagaimana dituturkan Seno Gumira Ajidarma, dibutuhkan cara kreatif untuk menyiasatinya. Antara lain, dengan mengembangkan tradisi diskusi dalam grup-grup kecil. Ia melihat, interaksi yang intens antar sesama Kompasianer, sebagaimana tercermin pada Kompasianival 2015, adalah faktor yang kondusif bagi netizen writer untuk meningkatkan skill menulis.
Penting Penguasaan Kata
Dalam konteks meningkatkan skill menulis, yang juga tidak kalah pentingnya adalah penguasaan kata-kata, untuk mengalirkan gagasan menjadi tulisan. Dalam hal ini, membaca adalah salah satu solusinya. Dengan membaca, kita akan bertemu serta mengenali kata-kata, yang barangkali jarang atau belum pernah kita gunakan dalam tulisan. Almarhum HB Jassin, yang terkenal dengan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, punya cara yang khas dalam mendokumentasikan kata-kata.
Pak Jassin, demikian sapaannya, selalu membawa buku tulis ke mana pun ia pergi. Tiap kali membaca koran, buku, atau apa pun jenis bacaannya, ia dengan telaten menuliskan kata-kata yang dianggapnya menarik. Kata-kata yang ia tuliskan dalam buku tulis tersebut, seakan menjadi kamus pribadi baginya. Dengan demikian, pemahamannya akan kata serta penguasaannya atas kata-kata, dari waktu ke waktu, terus bertambah. Barangkali cara Pak Jassin tersebut bisa kita adopsi. Setidaknya, agar kita tidak kehilangan kata-kata saat menulis.
Dalam esai Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, Seno Gumira Ajidarma, mengungkapkan bahwa, ”Belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan, dengan penghayatan paling total, yang paling mungkin dilakukan oleh manusia.” Dengan demikian, menghayati secara sungguh-sungguh apa yang hendak kita tuliskan, bisa dikatakan sebagai suatu keharusan. Seringkali, kemacetan saat menulis, disebabkan oleh minimnya pemahaman kita terhadap topik yang hendak kita tulis.
Di bagian lain dari esai tersebut, Seno Gumira Ajidarma dengan detail menggambarkan, “Apa boleh buat, jalan seorang penulis adalah jalan kreativitas, di mana segenap penghayatannya terhadap setiap inci gerak kehidupan, dari setiap detik dalam hidupnya, ditumpahkan dengan jujur dan total, seperti setiap orang yang berusaha setia kepada hidup itu sendiri—satu-satunya hal yang membuat kita ada.”
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Jakarta, 15 Desember 2015