Di Kompasianival 2015, Minggu (13/12/2015), Mohamad Sobary berbagi strategi kreatif menulis tentang korupsi. Ini bagian dari support Mohamad Sobary kepada para Kompasianer agar secara bersama menggugah publik, melalui tulisan dan perbuatan, untuk bersama-sama mencegah perbuatan korup. Buku Demokrasi Ala Tukang Copet ini berisi 24 esai karya Mohamad Sobary, diterbitkan penerbit Mizan Pustaka, pada Oktober 2015 lalu. Foto: mizan pustaka
Korupsi selalu terjadi dan nampaknya belum akan berhenti. Tulisan tentang korupsi, seringkali penuh dengan caci-maki, bahkan kerap dihiasi dengan kata-kata yang keji. Minggu (13/12/2015), Mohamad Sobary akan berbagi kiat menulis tentang kasus korupsi.
Siapa Mohamad Sobary? Ia salah seorang penulis esai yang handal, penulis opini terkemuka di harian Kompas dan majalah Tempo. Secara akademik, Mohamad Sobary menyelesaikan jenjang S-1 di Universitas Indonesia (1980) dan melanjutkan studi S-2 di Monash University, Australia, (1991). Secara kelembagaan, Mohamad Sobary pernah menjadi Pemimpin Umum Kantor Berita Antara, yang kini kita kenal sebagai antaranews.com. Lebih dari semua itu, Mohamad Sobary adalah pengamat kemanusiaan yang intens. Ia sangat peduli pada keberagaman, keindonesiaan, serta kehidupan orang-orang kecil.
Bertutur Tentang Korupsi
Mohamad Sobary punya cara yang khas untuk melawan korupsi. Sebagai penulis esai, ia bukanlah penulis yang meledak-ledak, yang menyerang para koruptor dengan kata-kata kasar. Sebaliknya, ia menempuh cara bertutur, dengan berkisah lewat nasib kehidupan orang-orang pinggiran. Dalam hal ini, Mohamad Sobary bukan memprovokasi publik untuk menghajar para koruptor, tapi menggugah kesadaran mereka dengan menampilkan, betapa sengsaranya rakyat akibat perbuatan korup yang mereka lakukan.
Bersamaan dengan itu, melalui berbagai esai-nya, Mohamad Sobary sekaligus menggugah kesadaran publik, agar tidak ikut terseret berbuat korup, sebagaimana halnya para koruptor. Dengan kata lain, publik sesungguhnya bisa berkontribusi untuk mencegah dan meminimalkan tindakan korupsi. Kita tahu, cukup banyak warga yang pada dasarnya adalah orang-orang baik, tapi kemudian terseret ke jurang korupsi. Sisi inilah yang digugah, sekaligus dicegah Mohamad Sobary, melalui sejumlah esai-nya.
Bila kita cermat membaca Demokrasi Ala Tukang Copet, buku terbaru Mohamad Sobary, kita akan merasakan hal tersebut. Buku kumpulan berisi 24 esai ini, baru saja diterbitkan penerbit Mizan Pustaka, pada Oktober 2015 lalu. Dari sub-head Sekumpulan Sindiran dan Renungan untuk Indonesia, kita tentu langsung bisa menangkap bahwa Mohamad Sobary sesungguhnya sedang menggugah serta mengajak kita agar bersama-sama mencegah perbuatan korup.
Pada esai Demokrasi di Tangan Tukang Copet, misalnya. Ini salah satu dari 24 esai di buku tersebut, yang dengan enteng dituliskan Mohamad Sobary melalui perbincangan di kalangan tukang copet. Para pencopet itu ngobrol tentang korupsi dan demokrasi. Meski disajikan dengan bahasa sehari-hari, hingga dengan mudah bisa kita baca, tapi makna dari pesan moral yang dikandungnya, leluasa kita cerna. Kalimat pendek dan kalimat panjang, dengan piawai dikelola Mohamad Sobary secara kreatif. Kita tidak perlu mengernyitkan jidat saat membacanya.
Menggugah Sekaligus Mencerdaskan
Mohamad Sobary bukan hanya menggugah kita untuk mencegah perbuatan korup, tapi juga mencerdaskan kita. Pada esai Biografi, Center, dan Institute, misalnya. Ia mengingatkan kita agar tidak terpesona pada para tokoh yang dengan gegap-gempita meluncurkan biografi. Juga, agar kita tetap waras menghadapi mereka yang dengan semarak mendirikan center atau institute, sebagai institusi sosial, yang secara kasat mata nampak sebagai gerakan sosial.
Benarkah semua itu merupakan gerakan sosial? Benarkah pendirian berbagai institusi tersebut memberi manfaat positif bagi masyarakat? Inilah yang patut kita cermati, tiap kali ada orang yang meluncurkan biografi atau mendirikan center dan institute. Bukan dalam konteks mencurigai mereka. Atau, menyangsikan niat baik mereka. Tapi, kita sebagai warga, sudah sepatutnya cerdas dan kritis menyikapinya, agar di kelak kemudian hari, tidak ikut terseret berbuat korup.
Kenapa? Menurut penuturan Mohamad Sobary, bukan tidak mungkin, berbagai biografi, center, dan institute tersebut didirikan dalam rangka untuk membersihkan nama para politikus hitam atau pengusaha hitam. Dan, bukan tak mungkin pula, semua itu juga dilakukan oleh para koruptor atau pengemplang pajak, untuk membentengi diri dari para penegak hukum. Maka, sudah sepatutnya, warga mempertimbangkan secara cerdas, sebelum melibatkan diri ke dalam aktivitas tersebut di atas.
Sekadar mengingatkan, sampai bulan Desember 2014, tercatat 343 orang yang meliputi gubernur, bupati, dan walikota yang tersangkut masalah hukum di kejaksaan, polisi, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Data tersebut jelas sudah melewati batas lampu merah. Artinya, seluruh lini memang harus kita gugah, melalui tulisan dan perbuatan, agar secara bersama-sama mencegah perbuatan korup.
Lembut Tapi Tajam
Dalam buku Demokrasi Ala Tukang Copet yang berisi 24 esai, Mohamad Sobary menganalogikan perilaku para koruptor dengan sifat-sifat hewan. Ini bisa kita baca pada esai Katak dan Ular dan Tragedi Kepiting dan Monyet. Keempat hewan tersebut tentulah kita kenal dan kita pahami. Menurut Mohamad Sobary, dengan menggunakan simbol yang sudah dikenal masyarakat luas, ia lebih leluasa menggambarkan perilaku buruk manusia-manusia serakah tersebut.
Kisah tentang hewan, bukanlah kisah yang baru bagi Mohamad Sobary. Ia yang lahir di Pundong Bantul, Yogyakarta, pada 7 Agustus 1952, justru mulai menapaki dunia tulis-menulis dengan menulis cerita anak-anak. Baginya, cerita anak-anak merupakan fondasi bagi anak-anak untuk mengenal dasar-dasar kehidupan, pada tingkat yang paling dasar. Artinya, seorang penulis cerita anak-anak, haruslah dengan cermat mempertimbangkan nilai-nilai yang menjadi kandungan ceritanya, agar berdampak positif bagi pendidikan anak.
Bukan hanya sekadar menghibur. Juga, bukan hanya sekadar lucu-lucuan. Kandungan nilai-nilai itu pulalah yang bisa kita serap, tiap kali kita membaca tulisan Mohamad Sobary. Cara Sobary menulis begitu sederhana. Dengan pilihan contoh yang mudah kita kenali. Mungkin sedikit mirip dengan Umar Kayam. ”Saya menulis apa pun yang saya alami. Saya menulis dengan cara yang sangat sederhana. Kesederhanaan merupakan esensi bagi seluruh tulisan saya. Kesederhanaan itu bagi saya bukan gaya,” ujar Mohamad Sobary tentang tradisi menulis ia kembangkan secara kreatif.
Sederhana caranya, lembut nadanya, tapi tajam. Itulah yang khas pada tulisan Mohamad Sobary. Hal tersebut juga digarisbawahi oleh Fahmi Idris, pada Rabu, 1 Juli 2009, saat peluncuran novel Kidung. Fahmi Idris yang pada masa itu merupakan Menteri Perindustrian, mengatakan, para pencaci-maki yang suaranya kasar, sebaiknya membaca Kidung, yang mengajarkan tentang bagaimana seseorang harus bersuara lembut, tak perlu berteriak-teriak. Novel 262 halaman itu diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, tahun 2009.
Jakarta, 13 Desember 2015
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H