Iskandar Zulkarnain juga dengan cermat serta detail mengaduk-aduk perasaan kita, melalui cerita pendek Adik Iparku Besanku. Dalam cerita ini, latar kearifan lokalnya adalah Tanah Batak, Sumatera Utara. Ada tokoh aku bernama Togar, yang kerasnya bagai batu karang. Keras dalam prinsip, tegas pula saat bersikap. Bang Is, demikian sapaan Iskandar Zulkarnain, dengan telaten mengajak kita kembali ke tanah leluhur, Tanah Batak, tentang bagaimana anak lelaki dipersiapkan untuk menjadi tiang beton di tengah keluarga, di dalam adat, serta dalam pergaulan masyarakat.
Dari dua cerita pendek ini, Mandeh, Aku Pulang dan Adik Iparku Besanku, terasa sekali bahwa Bang Is mengenali betul keseharian masyarakat di dua etnik tersebut. Etnik Minang yang matrilineal, mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu, dan etnik Batak yang patrilineal, mengikuti garis keturunan dari pihak ayah. Apa yang ia pahami, bukan sebagai seorang antropolog, tapi sebagai seorang pekerja sosial, yang bertahun-tahun berinteraksi dengan masyarakat dari beragam etnik.
Kesadaran Bang Is untuk memelihara kearifan lokal serta nilai-nilai etnik, melalui tokoh-tokoh dalam 40 cerita pendek di buku ini, sungguh mengesankan. Meski tidak mencakup sebagian besar etnik, tapi dari beberapa latar etnik yang ditampilkan, cukuplah untuk menggambarkan, betapa sungguh-sungguhnya Iskandar Zulkarnain memelihara kearifan lokal bangsa ini. Melalui kisah sehari-hari, Bang Is dengan cermat memberi nilai tambah, membuka ruang baru bagi pemaknaan yang inspiratif.
Dalam konteks kekinian, 40 cerita pendek di buku ini, seperti segelas penuh air es, yang melepaskan dahaga kita akan kisah sehari-hari. Bukan kisah yang dibuat-buat, bukan pula peristiwa yang direka-reka. Satu per satu tokoh yang ditampilkan, seakan-akan kita kenal, seakan-akan pernah kita jumpai. Dengan kata lain, kita asyik membaca sejumlah cerita pendek ini, sembari bermain-main dengan para tokoh yang sesungguhnya kita kenali. Bang Is, dengan pola penceritaan yang bertutur, senantiasa mendekatkan kita dengan para tokoh fiksi tersebut.
Menyeruak Metropolitan
Di tengah membludaknya karya fiksi dengan latar belakang metropolitan, juga latar belakang kota-kota dunia yang menakjubkan, 40 cerita pendek di buku ini justru menggugah kita untuk senantiasa teguh di bumi yang kita cintai ini. Sejumlah pihak memang cemas, bahwa sebagian dari kita telah kehilangan akar, karena terbius oleh gemerlapnya metropolitan. Lahirnya kisah-kisah seperti yang dibukukan Iskandar Zulkarnain ini, setidaknya bisa sebagai penyimbang, agar kita tidak sepenuhnya hanyut oleh arus zaman.
Bagaimanapun juga, kita membutuhkan akar-budaya, tempat bernaung dalam artian fisik, sekaligus tempat berlindung secara rohaniah. Bila dikorelasikan dengan tradisi mudik, kembali ke kampung halaman pada hari lebaran, itu menjadi bukti kongkrit bagi kita, betapa para kaum urban tidak ingin sepenuhnya lepas dari latar budaya mereka. 40 cerita pendek di buku ini berupaya merekatkan, juga melekatkan, kita yang barangkali sudah mulai renggang dengan nilai-nilai budaya kita sendiri.
Secara keseluruhan, Iskandar Zulkarnain dalam buku ini bertutur dengan hati, tentang orang-orang dalam lingkaran inti hidupnya. Tuturan tersebut mengkristal dengan nilai-nilai budipekerti, yang tumbuh subur dalam sanubarinya. Karena itulah, sejumlah cerita pendek dalam buku ini, sarat dengan pesan persaudaraan. Ketika rasa bersaudara terus terkikis oleh arus zaman yang tiada henti berubah, maka kumpulan cerita pendek Iskandar Zulkarnain ini, menjadi perekat bagi kita untuk senantiasa memelihara kebersamaan, dengan mereka yang senantiasa sepenuh hati menggumamkan doa untuk kita.
Jakarta, 10 Desember 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H