Setelah meraih medali emas dan perunggu di kejuaraan World Bodybuilding & Physique Federation (WBPF) 2015 di Bangkok, Thailand, pada 24-30 November 2015 lalu, atlet binaraga Syafrizaldy ingin mengharumkan nama bangsa di Asian Games 2018. Kita tahu, Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah Asian Games XVIII tersebut, setelah Vietnam mengundurkan diri. Sebelumnya, Indonesia pernah menjadi tuan rumah Asian Games IV tahun 1962, 53 tahun lalu.
Bagi Syafrizaldy, Asian Games bukanlah hal baru. Ia sudah menyumbangkan medali perunggu untuk Indonesia pada Asian Games XV di Doha, Qatar, pada tahun 2006. Tapi, keinginan Syafrizaldy tersebut, tidak mungkin ia wujudkan. Karena, binaraga tidak dipertandingkan dalam Asian Games 2018, yang akan berlangsung di Jakarta dan Palembang, pada Agustus 2018. Syafrizaldy tentu saja kecewa. Ia sangat tidak paham, kenapa cabang binaraga tidak dipertandingkan?
Padahal, peluang Indonesia untuk meraih medali dari cabang binaraga, cukup terbuka. Selain Syafrizaldy, masih ada sederet atlet binaraga yang potensial, yang kita miliki. Antara lain, Adya Novali. Atlet binaraga kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat, 7 Juli 1979, tersebut, baru saja tampil sebagai juara di kejuaraan dunia binaraga Arnold Classic di Amerika Serikat, pada 5-8 Maret 2015, lalu. Demikian pula halnya dengan Jeffry Johanis Wuaten, atlet binaraga dari Sulawesi Tengah, yang meraih medali perunggu di kelas 60 kilogram, di kejuaraan World Bodybuilding & Physique Federation (WBPF) 2015 di Bangkok, Thailand, tersebut.
Dengan kata lain, ditiadakannya cabang binaraga di Asian Games 2018, berarti Indonesia telah menutup kesempatan untuk mendapatkan medali. Apa sesungguhnya yang terjadi? Bukankah sebagai tuan rumah, Indonesia seharusnya memaksimalkan peluang untuk mendulang medali? Kemalsyah Nasution, manajer tim nasional binaraga yang mendampingi para atlet ke WBPF 2015 ke Bangkok, menilai, realitas tersebut menunjukkan bahwa lembaga yang menaungi cabang binaraga, belum memahami potensi atlet binaraga yang kita miliki.
Aspirasi Binaraga dalam Organisasi
Secara organisasi, binaraga berada dalam naungan Pengurus Besar (PB) Persatuan Angkat Besi-Binaraga-Angkat Berat Seluruh Indonesia (PABBSI). Yang menjadi Ketua Umum PB PABBSI saat ini adalah pengusaha Rosan Perkasa Roeslani, yang terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum untuk periode 2015-2020. Pemilihan melalui Musyawarah Nasional (Munas) PB PABBSI, di Hotel Sutan Raja, Jalan Raya Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada Minggu (27/9/2015). Ini tentu satu tantangan tersendiri, mengingat tiga cabang olahraga berada dalam satu induk organisasi.
Bukan hal mudah bagi pengurus untuk mensingkronkannya, karena tiap cabang memiliki dinamika yang berbeda satu dengan yang lain. Kemalsyah Nasution merasa bahwa keterwakilan cabang binaraga di PB PABBSI, kurang diakomodir. Akibatnya, aspirasi atlet binaraga tidak mendapat apresiasi yang sepadan dari induk organisasi tersebut. Kemalsyah Nasution mencontohkan, betapa minimnya dukungan untuk mengikuti kejuaraan World Bodybuilding & Physique Federation (WBPF) 2015 di Bangkok, Thailand, pada 24-30 November 2015 lalu.
Sebagai manajer tim nasional binaraga, Kemalsyah Nasution menuturkan, untuk berangkat ke Bangkok, atlet binaraga harus mengeluarkan dana sendiri. Ada 12 atlet binaraga dan empat ofisial yang diberangkatkan. Tiap atlet mengeluarkan, minimal Rp 15 juta. ''Artinya, duta bangsa tersebut harus mengeluarkan dana Rp 240 juta. Ini kan miris. Kami membela negara, namun tak mendapat perhatian,” papar Kemalsyah Nasution.
Di hari menjelang keberangkatan, ada uluran tangan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Teknisnya, atlet dan tim ofisial berangkat ke Bangkok dengan dana talangan, yang kemudian dikoordinasikan dengan Kemenpora, setelah tim kembali ke tanah air. Ini cukup melegakan, hingga atlet bisa fokus pada pertandingan. Kondisi seperti ini seharusnya bisa diantisipasi sejak awal, bila pihak-pihak yang berwenang mengedepankan kepentingan nasional, demi kemajuan olahraga, khususnya cabang binaraga.
Jakarta, 5 Desember 2015