Mereka yang keluar stasiun melalui pintu bawah, langsung berhadapan dengan kerepotan. Kenapa? Karena, mereka harus melalui kolong Sudirman, berjalan di trotoar yang sempit di bawah kolong, menyeberang jalan dua arah, kemudian naik tangga, untuk mencapai bibir Jalan Sudirman-Thamrin yang mengarah ke utara. Bila hujan turun di pagi hari, kita akan menyaksikan, bagaimana mereka yang wangi, fashionable, penuh gaya, dan sebagian berdasi itu kocar-kacir di antara kendaraan yang berseliweran.
Dari sejumlah realitas di atas, kita menemukan realitas, bahwa pihak berwenang di ibukota Jakarta ini, sama sekali belum menunjukkan keberpihakan kepada mereka yang sudah beralih ke transportasi publik[4]. Padahal, kita tahu, Stasiun Sudirman berada di kawasan protokol yang ratusan, bahkan ribuan, ruang kantor diisi oleh mereka yang menggunakan kereta commuter line tersebut. Kita juga tahu, mereka adalah sosok-sosok yang menggerakkan roda ekonomi di Jakarta, yang menjadi salah satu sumber pendapatan pemerintah kota.
Dalam konteks hak dan kewajiban, mereka berhak mendapatkan fasilitas integrasi transportasi publik yang memadai. Barangkali terlalu berlebihan bila kita bicara tentang integrasi transportasi publik, yang penggunanya leluasa menggunakan satu jenis tiket, yang proses move in dan move out dalam satu koridor, dan yang tingkat safety-nya memenuhi standar. Itu masih terlalu jauh dari harapan. Yang jelas di depan mata kini, ada sekitar 75.000 orang tiap hari yang keluar-masuk Stasiun Sudirman, tapi begitu keluar stasiun, mereka berhadapan dengan moda transportasi publik lain yang belum tersistimatisir.
Jika pihak KAI Commuter Line Jabodetabek (KCJ) dalam beberapa bulan mendatang efektif menjalankan rangkaian 12 kereta[5], maka bukan tidak mungkin, penumpang yang keluar-masuk Stasiun Sudirman akan membengkak menjadi 100.000 orang per hari. Sejauh ini, pemerintah DKI Jakarta belum merespon apa-apa, terkait lonjakan pengguna transportasi publik commuter line tersebut. Karena pemerintah kota Jakarta tidak memiliki inisiatif terhadap integrasi transportasi publik, kita tentu patut bertanya, institusi apa yang memiliki otoritas untuk menata serta mengelola transportasi publik dalam kota Jakarta?
Rumit, Integrasi Transportasi
Apa yang terjadi kini, yang dihadapi para pengguna commuter line di Stasiun Sudirman, menunjukkan kepada kita bahwa para pihak yang berwenang memang harus belajar banyak tentang apa yang dimaksud dengan integrasi transportasi publik. Secara kasat mata, kita dari stasiun bisa melihat shelter TransJakarta Dukuh Atas. Begitu pula sebaliknya. Artinya, secara jarak, sesungguhnya relatif dekat. Namun, dalam konteks transportasi, kedua titik simpul transportasi publik tersebut, sama sekali tidak terintegrasi.
Kini, di ibukota, sedang dibangun Jakarta Mass Rapid Transit (MRT), juga akan dibangun Light Rail Transit (LRT). Akankah kedua moda transportasi publik tersebut terintegrasi dengan moda transportasi publik lainnya? Bila kita menyimak diskusi Sistem Transportasi yang Terintegrasi pada Rabu (9/9/2015) di Jakarta, kita tahu, wujud integrasi itu masih menjadi cita-cita. Harian Kompas[6] mencatat, walaupun pemerintah sedang membangun banyak moda transportasi modern saat ini, penyediaan sistem transportasi terintegrasi yang ideal, agaknya masih sulit diterapkan di Jabodetabek. Alasannya, kondisi yang ada sekarang tidak memungkinkan untuk itu.
Catatan Kompas tersebut menunjukkan kepada kita bahwa masih ada sejumlah kendala bagi terwujudnya transportasi publik yang terintegrasi. Salah satunya adalah dana. Achmad Baiquni, Direktur Utama Bank BNI, dalam diskusi tersebut mengatakan, investasi infrastruktur selama ini terkendala sumber pendanaan. ”Perbankan selama ini menjadi andalan. Namun, karakteristik investasi infrastruktur yang lama balik modalnya, berlawanan dengan dana perbankan yang bertempo pendek. Terjadi ketidaksesuaian,” ujar Achmad Baiquni.
Diskusi Forum Ekonomi Nusantara tersebut, diselenggarakan harian Kompas dan Bank BNI. Diskusi itu dibuka oleh Wakil Pemimpin Redaksi Kompas, Ninuk Mardiana Pambudy, dan Direktur Utama Bank BNI, Achmad Baiquni. Meski masih rumit dan masih terkendala sejumlah hal, tapi keberadaan TransJakarta dan Commuter Line, juga kelak MRT dan LRT, tetap patut kita apresiasi, sebagai upaya untuk mewujudkan transportasi publik bagi warga. Bagaimanapun juga, semua itu membutuhkan kesediaan banyak pihak, sekaligus juga kesungguhan para pihak.
Jakarta, 19 November 2015