Siti Laela dan Eleine Koesyono (kiri-kanan) dengan pilar berornamen batik di latar belakang, sebagai atmosfir batik di Hotel Best Western Premiere The Bellevue Pondok Indah. Foto kanan adalah Batik Betawi Motif Pucuk Rebung, yang merupakan khas batik pesisir, yang menggambarkan pucuk batang bambu. Motif Pucuk Rebung menjadi seragam wajib peserta pemilihan Abang-None Jakarta, yang lazim digunakan sebagai busana bawahan None Jakarta. Foto: rumahukm.com dan koleksi pribadi
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Secara lokasi, Kampung Batik Terogong berada di kawasan yang prestisius di Jakarta Selatan: dekat dengan Jakarta International School (JIS) dan bersebelahan dengan Pondok Indah Mall (PIM). Artinya, kampung batik ini memiliki peluang untuk berkembang lebih jauh.
Tapi, untuk tumbuh dan berkembang di tengah persaingan yang sengit di Jakarta ini, bukanlah hal yang mudah. Itu dirasakan betul oleh Siti Laela, yang merintis berdirinya Kampung Batik Betawi pada tahun 2012 di Terogong[1]. Sebagai warga asli Betawi, leluhur Siti Laela dulunya adalah keluarga pembatik. Mereka adalah rumpun keluarga Betawi, yang dulu bermukim di kawasan Pondok Indah kini, yang semasa itu masih ditumbuhi pohon karet. Menurut Siti Laela, salah satu jenis pohon karet yang banyak tumbuh di sana kala itu adalah karet gebruk. Karena itu pulalah, nama kampung yang kini beken sebagai Pondok Indah, dulunya bernama Kampung Gebruk. Karena perubahan zaman serta pergeseran orientasi kehidupan, aktivitas membatik tersebut surut, hingga terhenti sama sekali.
Mencoba untuk Bangkit
Setelah puluhan tahun vakum, Siti Laela bersama enam saudaranya, tergerak untuk melanjutkan tradisi membatik para leluhurnya itu, dengan merintis Kampung Batik Betawi pada tahun 2012 di Terogong. ”Tujuannya, selain untuk melestarikan batik khas Betawi yang sudah hampir punah, juga untuk membangkitkan kembali pamor batik tersebut,” ujar Siti Laela, pada Rabu (7/10/2015) di acara Kompasiana Coverage Pameran Batik Betawi Terogong yang digelar di Hotel Best Western Premier The Bellevue, Jl. Haji Nawi No. 1, Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Spirit Siti Laela bersama enam saudaranya inilah yang sesungguhnya patut kita apresiasi. Mereka, dengan kesungguhan masing-masing, berupaya melestarikan nilai-nilai budaya leluhurnya, melalui Batik Betawi[2]. Mereka warga biasa, sebagaimana umumnya warga Betawi lainnya. Siti Laela menyebut, mereka sekeluarga hanyalah pengrajin kecil, dengan modal seadanya. Tapi, memiliki semangat tinggi serta mimpi besar akan kebesaran Batik Betawi. Pada tahun 2012 itu, Siti Laela menelusuri rekam jejak Batik Betawi di sejumlah literatur. Salah satunya, ia berkunjung ke Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jl. Ampera Raya No.7, Jakarta Selatan.
Di ANRI tersebut, menurut Siti Laela, tidak ada satu pun arsip yang menjelaskan tentang keberadaan Batik Betawi. Petugas ANRI waktu itu menunjukkan sebuah buku tentang batik. ”Semua jenis batik dari berbagai wilayah tanah air, diulas dalam buku tersebut. Tapi, lagi-lagi, tidak ada satu pun penjelasan tentang Batik Betawi. Bahkan, tidak ada satu kata pun yang menyebut Batik Betawi,” tutur Siti Laela, yang pada Rabu (7/10/2015) itu berbincang-bincang dengan 15 Kompasianer[3] di Angsana Lounge, di lantai satu The Bellevue. Sebagai seorang warga Betawi, terlebih sebagai pengrajin Batik Betawi, Siti Laela tentu saja sedih. Sangat sedih, malah.
Namun, ia tidak ingin larut dalam kesedihan. Realitas itu justru makin memotivasinya, untuk menghidupkan kembali tradisi Batik Betawi[4], meski di Arsip Nasional Republik Indonesia, tidak ada dokumentasinya. Ia ingin kembali menorehkan jejak leluhurnya di Kampung Gebruk, yang kini telah berganti nama menjadi Pondok Indah, dalam tradisi Batik Betawi. Sebagai warga Betawi, ia merasa terpanggil untuk menjaga warisan budaya Betawi, meski dengan cara yang sederhana, sebagai seorang pengrajin kecil.
Batik Betawi Penuh Spirit