Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Belajar dari Salim Kancil, Mencetak 10 Hektar Rawa Jadi Sawah di Lumajang

9 Oktober 2015   10:41 Diperbarui: 9 Oktober 2015   11:33 2725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti inilah ganasnya para penambang pasir di Desa Selok Awar-Awar, Lumajang. Para penambang bukan hanya merusak, tapi juga memusnahkan lahan persawahan, yang menjadi sumber penghidupan warga setempat. Salim Kancil berjuang hingga nyawanya melayang, dibunuh puluhan orang, di kampungnya sendiri. Padahal, ia inovator yang tangguh, mengubah 10 hektar rawa-rawa di pesisir pantai Watu Pecak, menjadi lahan pertanian produktif. Foto: print.kompas.com  

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Dari Salim Kancil[1], kita bisa belajar, bagaimana mengolah rawa di pesisir pantai, menjadi lahan pertanian. Setelah ia dibunuh pada Sabtu (26/9/2015) lalu, kita tahu, Salim Kancil sesungguhnya inovator pertanian yang mengagumkan.

Presiden Joko Widodo[2] berencana mencetak 1 juta hektar lahan sawah baru. Selain itu, Jokowi juga akan melakukan perbaikan dan pembangunan jaringan irigasi untuk 3 juta hektar sawah. Semua itu demi ketahanan pangan. Salim Kancil (52) memang bukan Presiden. Bahkan, kabarnya, petani Lumajang, Jawa Timur, itu, seorang yang buta huruf. Meski demikian, secara kecil-kecilan, Salim Kancil bersama 40 warga sekampungnya di Desa Selok Awar-Awar, sudah mulai mencetak sawah baru, sejak tahun 1980-an, jauh sebelum Joko Widodo menjadi Presiden. Menurut cerita Tijah, istri Salim Kancil, yang kabarnya juga buta huruf, ke-40 warga desa itu berhasil menciptakan 10 hektar lahan sawah baru di pesisir Watu Pecak, Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Nah, sawah yang menjadi sumber penghidupan sedikitnya 40 kepala keluarga itulah yang rusak dan hancur[3] akibat penambang pasir di sana.

Salim, Inovator Pertanian

Wilayah pesisir Watu Pecak memiliki garis pantai yang cukup panjang, mencapai 30 kilometer. Di sana, menurut catatan tahun 2010, ada sekitar 8.500 jiwa, yang sebagian besar menggantungkan hidup mereka di lahan pertanian, sebagai petani. Pada Rabu (7/10/2015) lalu, Sapari (54), seorang petani Desa Selok Awar-Awar, turut diperiksa tim penyidik Kepolisian Resor Lumajang[4]. Ia diperiksa bersama Camat Pasirian, Abdul Basar, Kepala Bagian Ekonomi, Ninis Rachmawati, dan anggota staf Perhutani, terkait dengan penambangan pasir ilegal di Desa Selok Awar-Awar, yang menjadi sumber konflik antar warga.

Sapari menceritakan, ia memiliki enam petak sawah, yang kalau ditotal, luasnya sekitar 1 hektar. Itu adalah sumber penghidupannya sekeluarga. Akibat penambangan pasir ilegal, sawah seluas itu jadi terendam air laut, hingga tidak bisa ditanami sama sekali. Sebelum ada aktivitas penambangan pasir ilegal, lahan sawah yang diolahnya itu, dapat menghasilkan padi sebanyak 50 karung atau setara dengan Rp 5 juta. Untuk ukuran petani di sana, hasil sawah yang demikian, relatif memadai. Namun, penambangan pasir ilegal, telah memusnahkan sumber penghidupannya, hingga ia mencari makan secara serabutan, demi sekadar menyambung napas.

Nasib yang serupa, juga dialami oleh 40 kepala keluarga, yang mengolah 10 hektar lahan sawah bekas rawa-rawa tersebut. Menurut cerita Tijah, istri Salim Kancil, dari seluas lahan itu, yang mereka miliki adalah 2 hektar. Pada awalnya, area 10 hektar tersebut adalah rawa-rawa, yang kedalamannya setinggi dada orang dewasa. Bersama 40 warga, Salim Kancil dengan telaten menguruk rawa-rawa itu dengan tanah serta pasir. Itu mereka lakukan sejak tahun 1980-an, setahap demi setahap. Bukan hanya tenaga dan waktu yang sudah terkuras untuk itu, tapi juga dana, yang bila dikalkulasi tentu tidaklah kecil. Semua upaya mereka tempuh, demi penghidupan.

Dalam konteks ini, Salim Kancil sebagai inisiator pencetakan sawah baru dari rawa-rawa tersebut, menunjukkan kepada kita bahwa ia memiliki pemahaman yang tinggi akan alam. Rawa-rawa di pesisir Watu Pecak, yang selama puluhan tahun tersia-sia, berhasil ia olah menjadi lahan persawahan yang produktif. Sedikitnya, 40 kepala keluarga menggantungkan hidup mereka dari area persawahan tersebut. Berbekal dari penghasilan sawah itulah, mereka mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Proses yang panjang dalam menciptakan sawah dari rawa-rawa itu, secara sosial, telah turut meningkatkan interaksi serta intensitas kekerabatan antar warga Desa Selok Awar-Awar. Solidaritas mereka, tumbuh secara alamiah.

Lubang-lubang bekas galian pasir di tepi pantai Watu Pecak, Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, pada Rabu (7/10/2015). Penambangan pasir pantai di daerah itu, menyebabkan air laut masuk ke darat dan menggenangi sebagian lahan sawah yang dikelola warga. Itu adalah sumber penghidupan warga. Akibat penambangan pasir ilegal, sawah berhektar-hektar jadi terendam air laut, hingga tidak bisa ditanami sama sekali. Foto: print.kompas.com

Salim, Bukit Penahan Ombak

Selain sebagai inisiator pencetakan sawah baru dari rawa-rawa tersebut, Salim Kancil juga menjadi inisiator, dengan menciptakan bukit penahan ombak. Hah? Apa pula itu? Begini, pantai Watu Pecak berada sekitar 18 kilometer arah selatan, dari kota Lumajang. Bila ditempuh dengan kendaraan bermotor, sekitar 40 menit, dari Kecamatan Pasirian. Bagian selatan Lumajang ini, langsung berbatasan dengan Samudera Hindia. Karena itu, pesisir pantai Watu Pecak ini, memiliki karakteristik ombak yang besar dan berbahaya. Ketinggian ombaknya mencapai 3 meter.

Agar 10 hektar sawah dari rawa-rawa itu terjaga dari hempasan ombak, Salim Kancil berinisiatif membangun bukit pasir di sekitar areal sawah. Fungsinya, ya untuk melindungi lahan pertanian mereka. Bukit pasir itu dibuat cukup tinggi, bersama 40 warga tersebut. Untuk ini pun, mereka melakukannya setahap demi setahap. Bukan hanya tenaga dan waktu yang sudah terkuras untuk itu, tapi juga dana, yang bila dikalkulasi tentu tidaklah kecil. Semua upaya mereka tempuh, demi penghidupan.

Para penambang pasir ilegal, telah menghancurkan semua itu[5]. Bukan hanya bukit pasir penahan ombak yang sudah mereka musnahkan, termasuk juga lahan persawahan Salim Kancil dan kawan-kawan. Sebagian persawahan yang dibangun dengan susah-payah, sudah berlubang-lubang menjadi danau tidak karuan. Sebagian lagi menjadi area parkir alat-alat berat serta puluhan truk pengangkut pasir. Memang, sempat ada iming-iming Salim Kancil akan mendapatkan uang parkir dari alat berat dan truk pasir tersebut. Namun, semua itu hanya sebatas janji semata, untuk sekadar meredakan amarah Salim Kancil dan warga terhadap para penambang pasir ilegal tersebut.

Dari apa yang dialami Salim Kancil dan warga Desa Selok Awar-Awar tersebut, kita tahu, penderitaan mereka bukan hanya baru sebulan dua bulan, tapi sudah beberapa tahun. Setidaknya, sejak tahun 2010. "Tidak mungkin kepolisian tingkat kecamatan, tidak mengetahui adanya aktivitas pertambangan ini. Penambang pasir dari tiap kecamatan, tiap bulan bisa meraup keuntungan hingga Rp 2,7 miliar," ujar Munhur Satyahaprabu[6], Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).

Tijah (paling kanan), istri Salim Kancil, menemui para tamu yang berkunjung ke rumahnya. Sejumlah warga berdatangan, mengucapkan belasungkawa atas kematian Salim Kancil, suaminya. Pasangan Salim Kancil dan Tijah menunjukkan kepada kita, betapa mereka tiada henti memperjuangkan nasib warga desa, meski mereka sesungguhnya penuh dengan keterbatasan. Terbatas secara ekonomi, terbatas pula secara pendidikan. Foto: viva.co.id

Salim Berjuang Sampai Mati

Perjuangan Salim Kancil dan warga sedesanya, menghadapi para penambang pasir, tidak kalah beratnya, dibandingkan dengan perjuangan mereka mengolah tanah rawa menjadi sawah serta membuat bukit penahan ombak. Pengaduan mereka ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lumajang, tidak membawa hasil. Permohonan mereka ke Bupati dan jajaran Pemerintah Kabupaten Lumajang, juga tak kunjung ada perhatian. Demikian pula halnya ke Gubernur dan jajaran pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Dengan menjual ternak, perwakilan warga berjuang hingga ke Jakarta[7]. Mereka mendatangi sejumlah instansi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mulai dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Walhi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga Istana Presiden. Mereka juga mengirimkan surat keberatan atas penambangan pasir, yang ditandatangani 41 warga penggarap sawah di Desa Selok Awar-Awar. Setelah bertahun-tahun memperjuangkan nasib, sampai akhirnya bentrokan antar warga memuncak, hingga Salim Kancil dibunuh rame-rame, baru aparat berwenang turun tangan.

Realitas tragis yang dihadapi Salim Kancil dan Tosan, menunjukkan kepada kita, alangkah macetnya jalur komunikasi antara warga desa dengan berbagai pihak yang berwenang. Padahal, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla[8], menang dalam perolehan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 di Kabupaten Lumajang. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) juga berjaya dan menguasai mayoritas kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lumajang, periode 2014-2019.

Dalam konteks ketahanan pangan, bukankah upaya Salim Kancil dan warga sedesanya, yang berhasil mengubah rawa-rawa seluas 10 hektar menjadi sawah produktif, sesuatu yang patut mendapat support secara politik dan ekonomi? Dalam konteks ketahanan desa, bukankah konflik antar warga sudah sepatutnya dapat perhatian, demi menjaga kerukunan dan perdamaian? Darah sudah tercecer di jalanan. Salim Kancil sudah berkorban nyawa. Apakah setelah Salim Kancil tewas dibunuh oleh belasan hingga puluhan orang pada Sabtu (26/9/2015), hukum bisa tegak di sana sebagaimana mestinya?

Jakarta, 9 Oktober 2015

---------------------------

Salim Kancil dan Tosan adalah korban dari hukum yang tidak kunjung tegak. Penegak hukum silih berganti, tapi penambang pasir ilegal di Lumajang, malah makin menjadi-jadi.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/kematian-salim-kancil-vs-kredibilitas-as-at-malik-sebagai-bupati-lumajang_5614742e0bb0bd5e11abc3ea

Petani adalah mereka yang memahami tanah sebagai sumber kehidupan. Mereka pekerja yang ulet. Mereka belajar dari alam, karena mereka menyadari bahwa mereka bagian dari alam.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/belajar-dari-petani-berpikir-ala-edward-de-bono-dan-berkarya-seperti-putu-wijaya_55becfed8023bd840b7c74ea

--------------------------

[1] Istri Salim Kancil, Tijah, mengisahkan, suaminya bersama 40 warga Desa Selok Awar-Awar, sejak 1980-an, mengolah rawa-rawa menjadi sawah. Dengan telaten, Salim Kancil bersama warga lainnya, menyeret pasir pantai Watu Pecak untuk menguruk rawa, agar menjadi lahan sawah. Sampai akhirnya, ada 10 hektar lahan di pesisir Watu Pecak, mereka ubah menjadi sawah, yang menghidupi kebutuhan hidup sedikitnya 40 kepala keluarga. Salim sendiri mampu mengolah 10 petak sawah dengan luas sekitar dua hektar. Selengkapnya, silakan baca Bung Karno Inspirasi Salim Kancil Lawan Tambang Ilegal, yang dilansir viva.co.id, pada Kamis l 1 Oktober 2015 | 06:25 WIB.

[2] Salah satu visi misi Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah mewujudkan kemandirian ekonomi, dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Antara lain, mewujudkan kedaulatan pangan, melalui kebijakan perbaikan irigasi rusak dan jaringan irigasi di 3 juta hektar sawah serta mencetak 1 juta hektar lahan sawah baru. Selengkapnya, silakan baca Jokowi-JK Janji Cetak 1 Juta Hektar Sawah Baru di Luar Jawa, yang dilansir kompas.com, pada Rabu l 21 Mei 2014 | 11:02 WIB.

[3] Sawah milik Salim Kancil dan warga, rusak akibat penambangan pasir illegal. Menurut Imam, rekan Salim Kancil, sudah sekitar tiga tahun belakangan, Salim Kancil tidak bisa menikmati hasil sawahnya. Di samping mengakibatkan sawah warga gagal panen, aktivitas penambangan secara ilegal itu, juga merusak lingkungan. Selengkapnya, silakan baca Begini Kondisi Sawah Milik Salim Kancil yang Rusak Akibat Penambangan Pasir Liar, yang dilansir tribunnews.com, pada Senin l 5 Oktober 2015 l 21:47 WIB.

[4] Camat Pasirian, Abdul Basar, Kepala Bagian Ekonomi, Ninis Rachmawati, dan anggota staf Perhutani, diperiksa tim penyidik Kepolisian Resor Lumajang, pada Rabu (7/10/2015). Mereka diperiksa terkait dengan penambangan pasir ilegal di Desa Selok Awar-Awar. Pemeriksaan terhadap Ninis berlangsung mulai pukul 08.00 hingga pukul 18.00 WIB. Adapun Abdul Basar diperiksa pada pukul 13.00 hingga pukul 20.00 WIB. Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jawa Timur, Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono, pada Rabu (7/10/2015), mengemukakan, hingga kini, ada 37 berkas pemeriksaan tersangka dalam kasus konflik Selok Awar-Awar. Sebanyak 24 orang merupakan tersangka kasus penganiayaan dan pembunuhan, 9 tersangka kasus penambangan ilegal, dan 4 orang merupakan kasus pengeroyokan Tosan dan pembunuhan Salim Kancil serta penambangan ilegal di Selok Awar-Awar. Selengkapnya, silakan baca Pejabat Pemkab Lumajang Diperiksa, Kejaksaan Terima 10 Surat Perintah Dimulainya Penyidikan, yang dilansir print.kompas.com, pada Kamis | 8 Oktober 2015.

[5] Penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar ditolak warga, karena dinilai merusak lingkungan. Perusakan lingkungan, berupa hilangnya gunungan pasir yang selama ini menjadi tanggul penahan air laut. Akibatnya, air laut masuk menggenangi lahan sawah yang dikelola warga desa. Lahan sawah akhirnya tidak dapat ditanami, karena terendam air laut. Penambangan pasir ilegal tersebut dilakukan di atas tanah oloran atau tanah muncul, yang masuk kategori tanah negara. Petugas dari Perhutani, Kantor Pertanahan Lumajang, dan Pemerintah Kabupaten Lumajang, pada Kamis (8/10/2015), mengukur batas lahan. Pengukuran dilakukan atas permintaan Komnas HAM, untuk memastikan status tanah yang kini menjadi lokasi tambang pasir. Data tersebut akan menjadi penunjang penyelidikan kasus penambangan ilegal di Selok Awar-Awar. Selengkapnya, silakan baca Tambang di Tanah Negara, Walhi Jawa Timur Tunggu Keseriusan Polisi, yang dilansir print.kompas.com, pada Jumat | 9 Oktober 2015.

[6] Selengkapnya, silakan baca Polisi Disebut Biarkan Konflik Tambang Pasir Lumajang Sejak 2010, yang dilansir tempo.co, pada Selasa l 06 Oktober 2015 | 03:59 WIB dan Walhi: Ada Mafia Pertambangan di Lumajang yang Harus Dibongkar, yang dilansir republika.co.id, pada Rabu l 07 Oktober 2015 l 06:36 WIB.

[7] Perjuangan warga antitambang itu secara masif dimulai pada awal tahun 2015, dengan membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir. "Kami murni berjuang karena kerusakan alam, yang menyebabkan terganggunya kehidupan. Bukan karena tidak mendapatkan uang dari pungutan-pungutan yang dilakukan di tambang tersebut," ujar Hamid, rekan Salim Kancil. Selengkapnya, silakan baca Kisah Salim Kancil, Tosan, dan Petani Melawan Penambangan Pasir, yang dilansir jpnn.com, pada Jumat l 02 Oktober 2015 l 06:20:00 WIB.

[8] Selengkapnya, silakan baca Jokowi-JK Menang di Lumajang dan Banyuwangi, yang dilansir antarajatim.com, pada Kamis l 17 Juli 2014 l 15:32 WIB dan PDI-P Berjaya Di Kabupaten Lumajang, yang dilansir beritasatu.com, pada Jumat l 25 April 2014 | 8:56 WIB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun