Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Belajar dari Salim Kancil, Mencetak 10 Hektar Rawa Jadi Sawah di Lumajang

9 Oktober 2015   10:41 Diperbarui: 9 Oktober 2015   11:33 2725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selain sebagai inisiator pencetakan sawah baru dari rawa-rawa tersebut, Salim Kancil juga menjadi inisiator, dengan menciptakan bukit penahan ombak. Hah? Apa pula itu? Begini, pantai Watu Pecak berada sekitar 18 kilometer arah selatan, dari kota Lumajang. Bila ditempuh dengan kendaraan bermotor, sekitar 40 menit, dari Kecamatan Pasirian. Bagian selatan Lumajang ini, langsung berbatasan dengan Samudera Hindia. Karena itu, pesisir pantai Watu Pecak ini, memiliki karakteristik ombak yang besar dan berbahaya. Ketinggian ombaknya mencapai 3 meter.

Agar 10 hektar sawah dari rawa-rawa itu terjaga dari hempasan ombak, Salim Kancil berinisiatif membangun bukit pasir di sekitar areal sawah. Fungsinya, ya untuk melindungi lahan pertanian mereka. Bukit pasir itu dibuat cukup tinggi, bersama 40 warga tersebut. Untuk ini pun, mereka melakukannya setahap demi setahap. Bukan hanya tenaga dan waktu yang sudah terkuras untuk itu, tapi juga dana, yang bila dikalkulasi tentu tidaklah kecil. Semua upaya mereka tempuh, demi penghidupan.

Para penambang pasir ilegal, telah menghancurkan semua itu[5]. Bukan hanya bukit pasir penahan ombak yang sudah mereka musnahkan, termasuk juga lahan persawahan Salim Kancil dan kawan-kawan. Sebagian persawahan yang dibangun dengan susah-payah, sudah berlubang-lubang menjadi danau tidak karuan. Sebagian lagi menjadi area parkir alat-alat berat serta puluhan truk pengangkut pasir. Memang, sempat ada iming-iming Salim Kancil akan mendapatkan uang parkir dari alat berat dan truk pasir tersebut. Namun, semua itu hanya sebatas janji semata, untuk sekadar meredakan amarah Salim Kancil dan warga terhadap para penambang pasir ilegal tersebut.

Dari apa yang dialami Salim Kancil dan warga Desa Selok Awar-Awar tersebut, kita tahu, penderitaan mereka bukan hanya baru sebulan dua bulan, tapi sudah beberapa tahun. Setidaknya, sejak tahun 2010. "Tidak mungkin kepolisian tingkat kecamatan, tidak mengetahui adanya aktivitas pertambangan ini. Penambang pasir dari tiap kecamatan, tiap bulan bisa meraup keuntungan hingga Rp 2,7 miliar," ujar Munhur Satyahaprabu[6], Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).

Tijah (paling kanan), istri Salim Kancil, menemui para tamu yang berkunjung ke rumahnya. Sejumlah warga berdatangan, mengucapkan belasungkawa atas kematian Salim Kancil, suaminya. Pasangan Salim Kancil dan Tijah menunjukkan kepada kita, betapa mereka tiada henti memperjuangkan nasib warga desa, meski mereka sesungguhnya penuh dengan keterbatasan. Terbatas secara ekonomi, terbatas pula secara pendidikan. Foto: viva.co.id

Salim Berjuang Sampai Mati

Perjuangan Salim Kancil dan warga sedesanya, menghadapi para penambang pasir, tidak kalah beratnya, dibandingkan dengan perjuangan mereka mengolah tanah rawa menjadi sawah serta membuat bukit penahan ombak. Pengaduan mereka ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lumajang, tidak membawa hasil. Permohonan mereka ke Bupati dan jajaran Pemerintah Kabupaten Lumajang, juga tak kunjung ada perhatian. Demikian pula halnya ke Gubernur dan jajaran pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Dengan menjual ternak, perwakilan warga berjuang hingga ke Jakarta[7]. Mereka mendatangi sejumlah instansi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mulai dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Walhi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga Istana Presiden. Mereka juga mengirimkan surat keberatan atas penambangan pasir, yang ditandatangani 41 warga penggarap sawah di Desa Selok Awar-Awar. Setelah bertahun-tahun memperjuangkan nasib, sampai akhirnya bentrokan antar warga memuncak, hingga Salim Kancil dibunuh rame-rame, baru aparat berwenang turun tangan.

Realitas tragis yang dihadapi Salim Kancil dan Tosan, menunjukkan kepada kita, alangkah macetnya jalur komunikasi antara warga desa dengan berbagai pihak yang berwenang. Padahal, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla[8], menang dalam perolehan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 di Kabupaten Lumajang. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) juga berjaya dan menguasai mayoritas kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lumajang, periode 2014-2019.

Dalam konteks ketahanan pangan, bukankah upaya Salim Kancil dan warga sedesanya, yang berhasil mengubah rawa-rawa seluas 10 hektar menjadi sawah produktif, sesuatu yang patut mendapat support secara politik dan ekonomi? Dalam konteks ketahanan desa, bukankah konflik antar warga sudah sepatutnya dapat perhatian, demi menjaga kerukunan dan perdamaian? Darah sudah tercecer di jalanan. Salim Kancil sudah berkorban nyawa. Apakah setelah Salim Kancil tewas dibunuh oleh belasan hingga puluhan orang pada Sabtu (26/9/2015), hukum bisa tegak di sana sebagaimana mestinya?

Jakarta, 9 Oktober 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun