Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ruang Terbuka, Area Belajar, dan Paru-paru Ibukota di Kota Tua Jakarta

29 September 2015   08:40 Diperbarui: 1 Oktober 2015   12:05 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Terbuka yang lapang di Kota Tua Jakarta, memungkinkan warga leluasa mengekspresikan diri bersama keluarga. Kemudahan transportasi publik yang murah serta beroperasi hingga malam hari, menjadikan ruang terbuka ini banyak dikunjungi oleh warga yang bermukim di kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Kawasan ini rata-rata dikunjungi 775.000 orang per bulan. Foto: isson khairul  

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Menyaksikan ribuan warga yang memenuhi ruang terbuka di Kota Tua Jakarta[1], pada Minggu (27/9/2015), kita tahu, alangkah dahaganya warga ibukota ini akan ruang terbuka[2]. Mereka lesehan di lantai semen dengan santai, mengobrol, dan tertawa-tawa sembari ber-selfie-ria serta mengunyah camilan dengan leluasa.

Secara lokasi, Kota Tua Jakarta bisa disebut sebagai ruang terbuka kota yang ideal. Ia dengan mudah dijangkau, bukan hanya oleh warga Jakarta, juga oleh warga di kawasan Jabodetabek. Tersedianya transportasi publik yang murah, dalam hal ini Commuter Line, memungkinkan warga dari berbagai kawasan penyangga tersebut, mengakses Kota Tua Jakarta. Apalagi Commuter Line beroperasi penuh hingga malam hari. Demikian pula halnya dengan TransJakarta, yang juga murah serta beroperasi penuh hingga malam hari. Dari Stasiun Jakarta Kota dan dari shelter akhir TransJakarta, hanya dengan berjalan kaki, warga sudah tiba di ruang terbuka Kota Tua Jakarta.

Terbuka, Leluasa, dan Bergaya

Area terbuka yang luas dan sudah berlantai semen, membuat warga langsung bersuka-cita, begitu tiba. Di pagi hari, ada sejumlah warga yang berlari-lari kecil dan berolahraga santai, mengitari ruang terbuka tersebut. Ada pula yang langsung lesehan secara berkelompok, menghirup udara pagi, serta bercanda sembari tertawa-tawa. Ada juga yang asyik ber-selfie-ria dengan latar belakang Museum Fatahillah, Museum Wayang, Kantor Pos, dan Museum Seni Rupa dan Keramik. Tiap warga leluasa menikmati serta mengekspresikan diri di ruang terbuka Kota Tua Jakarta tersebut.

Menjelang siang, sepeda hias dengan warna yang lucu-lucu, lengkap dengan topi pelindung kepala, bisa disewa warga di sana. Dengan sepeda ini, warga bisa mengitari kawasan yang lebih jauh, melewati ruang-ruang terbuka di antara gedung-gedung tua peninggalan Belanda[3]. Karena kawasan Kota Tua Jakarta bebas dari kendaraan bermotor, maka para pesepeda leluasa menggowes, berbelok ke kiri dan ke kanan, tanpa gangguan. Sesekali berhenti untuk ber-selfie-ria, lantas mem-posting foto teranyar itu ke para sahabat di ranah maya.

Ketika matahari sudah mulai terik, sebagian besar warga memasuki Museum Fatahillah[4], Museum Wayang, Kantor Pos, dan Museum Seni Rupa dan Keramik, yang berada di seputaran ruang terbuka itu. Sejumlah museum tersebut dijadikan warga sebagai area belajar, memahami kebesaran masa lampau sambil berwisata. Dalam konteks menjadikan ruang terbuka sebagai area pembelajaran, pada Minggu (27/9/2015) itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo)[5] menggelar peringatan kebebasan informasi publik atau yang dikenal sebagai hari Hak Tahu (Right to Know), di salah satu sisi ruang terbuka Kota Tua Jakarta.

Saat sore menjelang, tatkala matahari sudah condong ke barat, ruang terbuka Kota Tua Jakarta kian padat. Berfoto dengan tokoh-tokoh kartun seperti Doraemon, juga dengan orang-orang yang sengaja berdandan bak patung, adalah momen yang tak pernah dilewatkan warga. Ada yang berdandan dengan full warna hitam, warna merah, warna kuning, bahkan ada yang menampilkan diri sebagai elang raksasa, lengkap dengan sayapnya. Berfoto dengan tokoh-tokoh istimewa tersebut membangkitkan suasana seru di kawasan Kota Tua Jakarta. Warga beraksi, menirukan aksi mereka. Sungguh, seru.

Beragam aktivitas dengan leluasa dilakukan warga di ruang terbuka Kota Tua Jakarta. Segala lapisan usia menikmati ruang publik ini, yang masing-masing saling menjaga toleransi sesama. Minggu sore adalah peak season di Kota Tua. Umumnya, mereka yang habis berwisata di Taman Impian Jaya Ancol, menyempatkan singgah untuk menikmati senja di Kota Tua. Foto: isson khairul

Anak-anak, Remaja, dan Keluarga

Suasana yang menonjol di ruang terbuka Kota Tua Jakarta[6], benar-benar suasana publik. Barangkali inilah yang disebut sebagai Public Spaces for All, yang tiap warga dengan leluasa mengaksesnya. Ada anak-anak yang asyik main kejar-kejaran. Ada remaja-remaja yang berpasangan. Ada pula pasangan muda yang menikmati ruang terbuka tersebut, sambil mendorong kereta bayi. Mungkin anak pertama mereka. Semua aktivitas tersebut berlangsung alamiah, saling menghargai sesama di ruang terbuka.

Di depan Gedoeng Jasindo, salah satu gedung peninggalan Belanda yang sudah selesai direstorasi, ada sebuah bangku taman. Pada Minggu (27/9/2015) sore itu, seorang ibu muda duduk di sana, sambil menyuapi bayinya, yang berada dalam gendongan suaminya, di sebelahnya. Angin semilir sore itu, membuat sang bayi kegirangan. Keluarga muda itu leluasa bercengkerama di ruang terbuka. Hanya beberapa langkah di depannya, dekat Meriam Si Jagur[7], seorang anak belasan tahun, asyik bermain-main dengan anjing pudel kesayangannya.

Pada saat yang sama, tak berapa jauh dari sana, halaman Kantor Pos, pada Minggu (27/9/2015) sore itu, sudah disulap menjadi sebuah area minum kopi terbuka. Ada beberapa table, lengkap dengan kursi dan payung pelindung. Senja di kawasan ruang terbuka Kota Tua Jakarta itu mulai merayap. Lampu sorot dari berbagai sisi, mulai menyala, sebagai penanda bahwa malam menjelang. Dengan secangkir kopi, dengan sejumlah kudapan, bangunan Museum Fatahillah di ujung selatan ruang terbuka, menampilkan diri dengan pesona yang mengesankan.

Yanto[8], seorang pedagang mainan anak-anak di sana, bercerita, bahwa suasana sore hingga malam, adalah suasana yang dinanti banyak warga di ruang terbuka Kota Tua Jakarta. Dari pengamatannya setelah bertahun-tahun berdagang di sana, Minggu sore adalah peak season di Kota Tua. Umumnya, mereka yang habis berwisata di Taman Impian Jaya Ancol, menyempatkan singgah untuk menikmati senja di Kota Tua. Kalau turis asing, menurut Yanto, lebih banyak singgah pada hari, di luar Sabtu-Minggu. Kebanyakan turis dari Perancis dan Belanda.

Foto kiri, yang dipotret pada Sabtu, 7 September 2013, masih menampakkan sejumlah pepohonan hijau di depan Museum Fatahillah. Foto kanan, yang dipotret pada 28 September 2015, menunjukkan sejumlah pepohonan telah hilang. Yang tersisa hanya sebuah bonggol, yang sudah mulai lapuk. Keberadaan pepohonan hijau di ruang terbuka, sesungguhnya sangat penting. Selain sebagai tempat berteduh di kala terik matahari, juga karena pepohonan memproduksi oksigen yang sangat dibutuhkan sebagai paru-paru kota. Foto: isson khairul

Satu Per Satu Pohon Tiada

Dari sedemikian banyak kelebihan ruang terbuka Kota Tua Jakarta sebagai Public Spaces for All, ada satu hal yang patut kita catat dan renungkan bersama, yakni tentang penghijauan. Di Kota Tua Jakarta, bangunan yang bisa dikatakan sebagai icon-nya adalah Museum Fatahillah. Bahkan, ruang terbuka di kawasan ini dinamakan Taman Fatahillah. Namun, satu per satu pohon yang berada di kawasan ruang terbuka itu, hilang dari pandangan mata. Ketika saya berkunjung ke sana, pada Sabtu, 7 September 2013, di depan Museum Fatahillah sebelah kiri, masih ada 4 pohon palem dan di sebelah kanan juga ada 4 pohon palem. Di halaman bagian tengah, ada satu pohon besar dan satu pohon lagi sudah ditebang, tinggal bonggolnya.

Detailnya bisa dilihat pada foto sebelah kiri di atas. Kemudian, ketika saya berkunjung lagi ke sana, pada Senin, 28 September 2015, 8 pohon palem tersebut sudah tiada. Bahkan, satu pohon besar di bagian tengah halaman, juga sudah ditebang, hanya tinggal bonggolnya. Detailnya bisa dilihat pada foto sebelah kanan di atas. Entah kapan persisnya pohon-pohon tersebut ditebang. Juga, entah apa alasannya, hingga pohon-pohon yang berguna untuk penghijauan tersebut, dihilangkan. Di depan Cafe Batavia, di sebelah utara ruang terbuka, dulunya juga ada 3 batang pohon palem yang cukup besar. Kini, ketiga pohon palem itu pun sudah tiada.

Kita tahu, ruang terbuka sebagai Public Spaces for All, selain berfungsi sebagai tempat beraktivitas warga, juga berguna sebagai paru-paru sebuah kota. Dalam hal ini, paru-paru ibukota Jakarta. Dengan tumbuh suburnya pepohonan di ruang terbuka, tentulah udara yang akan dihirup warga akan lebih bersih. Oksigen yang tersedia di kawasan tersebut, juga akan lebih banyak. Maka, keberadaan pepohonan di ruang terbuka Kota Tua Jakarta, sudah sepatutnya menjadi perhatian kita bersama. Barangkali, pihak yang berwenang dalam hal ini, perlu mempertimbangkan pentingnya pepohonan di sana, sebelum memutuskan untuk menebangnya.

Secara historis, karena ruang terbuka di kawasan ini dinamakan Taman Fatahillah, maka konsekuensinya tanam-tanaman, pepohonan, juga bunga-bungaan, sudah sepatutnya ada di sana. Jika dikorelasikan dengan peringatan Hari Habitat Dunia (HHD), maka hilangnya sejumlah pepohonan di ruang terbuka Kota Tua Jakarta, adalah peringatan untuk kita bersama. Bila dikorelasikan dengan oksigen, rata-rata sebatang pohon, mampu menghasilkan oksigen hingga 1,2 kilogram per hari. Bahkan, sebatang pohon trembesi, mampu menghasilkan 78 kilogram oksigen per hari. Sementara, seorang manusia, rata-rata menghirup 0,5 kilogram oksigen per hari. Nah, betapa berartinya sebatang pohon, kan? Apalagi di ruang terbuka, yang banyak dikunjungi warga.

Jakarta, 29 September 2015

--------------------------------

Tahun 2015 ini, PBB mengambil tema Public Spaces for All untuk mengangkat isu terkait ruang publik. Bagaimana dengan kondisi fasilitas publik untuk kaum disabilitas?

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/penyandang-disabilitas-fasilitas-publik-dan-melindungi-kaum-yang-lemah_558f25fdaa23bdf80fbeeadc

Bagaimana kualitas lingkungan di kota Anda? Pernahkah Anda melihat Kupu-kupu? Keberadaan Kupu-kupu adalah indikator untuk mendeteksi kualitas lingkungan.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/djunijanti-peggie-buku-kupu-kupu-dan-cinta-kupu-kupu_553c779e6ea8345371f39b0c

---------------------------------

[1] Sebanyak 27 gedung di 10 lokasi di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, tengah direvitalisasi, untuk dibangun seperti wujud aslinya. Hal ini diungkapkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, dan Direktur Utama PT Pembangunan Kota Tua, Lin Che Wei, seusai mengadakan pertemuan perihal revitalisasi kawasan Kota Tua Jakarta, pada Jumat (17/4/2015). Selengkapnya, silakan baca Ahok Sebut 27 Gedung di Kota Tua Direvitalisasi seperti Wujud Awal, yang dilansir kompas.com, pada Jumat l 17 April 2015 | 16:01 WIB. Menteri Pariwisata, Arief Yahya, pada Selasa (3/2/2015), mengatakan, Kota Tua Jakarta terpilih sebagai nominasi UNESCO World Heritage Site. Kawasan ini rata-rata dikunjungi 775.000 orang per bulan. Selengkapnya, silakan baca Arief Yahya: Pariwisata Kota Tua Lebih Siap Dijual, yang dilansir kompas.com, pada Rabu l 4 Februari 2015.

[2] Menurut Kepala Bidang Pertamanan, Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta, Ratna Diah Kurniati, total jumlah taman di DKI Jakarta, 1.284 buah. Dari jumlah itu, yang dikelola Dinas Pertamanan DKI Jakarta hanya 23 taman. Menurut Ratna, Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta berencana menambah 39 taman baru sepanjang tahun 2015. Jumlah taman dan ruang terbuka akan terus ditambah dan ditingkatkan kualitasnya, setidaknya sampai pelaksanaan Asian Games 2018. Selengkapnya, silakan baca Taman Rawan Disalahgunakan, yang dilansir kompas.com, pada Kamis l 5 Februari 2015 | 14:15 WIB.

[3] Jurusan Arsitektur, Universitas Pelita Harapan, Tangerang, menggelar Triennale Arsitektur dengan tema Waktu adalah Ruang, pada 25 Juli-8 Agustus 2015 lalu, di sebuah bangunan tua, Gedung Tjipta Niaga, Kota Tua Jakarta. Dalam triennale ketiga ini, para mahasiswa berusaha mengeksplorasi arsitektur yang berada dalam konteks ruang dan waktu, dengan membedah beberapa kompleks bangunan tua yang menjadi landmark Jakarta tersebut. Selengkapnya, silakan baca Arsitektur dan Eksplorasi Kota Tua dalam Triennale Arsitektur 2015, yang dilansir print.kompas.com, pada Jumat Siang | 24 Juli 2015 l 15:10 WIB.

[4] Museum Sejarah Jakarta atau lebih dikenal Museum Fatahillah, dibuka kembali untuk umum pada Februari 2015 lalu, setelah melalui proses konservasi beberapa bulan sebelumnya. Salah satu perubahan dari museum itu adalah munculnya ruangan temporer. Ruangan tersebut berisi koleksi berjudul Jakarta Old Town Reborn atau Kelahiran Baru Kota Tua Jakarta. Sesuai namanya, koleksi-koleksi di dalam ruangan itu berisi perencanaan atau visi dari Museum Sejarah Jakarta untuk masa depan. Ada sketsa atau maket gedung baru atau bentuk yang akan dikonstruksi. Selengkapnya, silakan baca Mengintip Kelahiran Baru Kota Tua Jakarta, yang dilansir kompas.com, pada Jumat l 13 Februari 2015 | 20:08 WIB.

[5] Hari peringatan Hak Tahu, pertama kali diperingati pada 28 September 2002. Tahun 2015 ini, Indonesia melalui Kominfo, ditunjuk sebagai tuan rumah penyelenggaraan tahunan tersebut. Direktur Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Tulus Subardjono, mengatakan, peringatan hari Hak Tahu ini, diperingati di lebih dari 60 negara di dunia. Selengkapnya, silakan baca Indonesia Gelar Peringatan Hak Tahu Sedunia, yang dilansir okezone.com, pada Minggu l 27 September 2015 l 19:53 WIB.

[6] Kota Tua Jakarta, secara keseluruhan, memiliki luas lahan 846 hektar, dengan 284 bangunan cagar budaya, yang sebagian besar termasuk wilayah Jakarta Barat. "Sebanyak 80 persen di antaranya berada di Jakarta Barat, 20 persen sisanya masuk wilayah Jakarta Utara," tutur Candrian Attahiyat, pemerhati cagar budaya Jakarta, pada Senin (22/6/2015). Selengkapnya, silakan baca Kota Administratif Jakarta Barat: Pendulang Uang dan Kenangan, yang dilansir kompas.com, pada Selasa l 23 Juni 2015 | 15:00 WIB.

[7] Meriam Si Jagur, yang sebelumnya ditempatkan di area dalam Museum Fatahillah, kini sudah berdiri kokoh di Taman Fatahillah, tepatnya di dekat pintu masuk samping Kantor Pos. Keberadaan meriam yang melegenda itu, memantik perhatian pengunjung. Banyak yang penasaran dengan bentuk kepalan tangan di bagian belakang meriam. Selengkapnya, silakan baca Meriam si Jagur Pindah ke Taman Fatahillah, yang dilansir tribunnews.com, pada Minggu l 22 Desember 2013 l 03:01 WIB.

[8] Yanto adalah salah satu pedagang kaki lima yang tersebar di seputaran Kota Tua Jakarta. Ia sudah bertahun-tahun berdagang di sana. Dagangannya adalah mainan anak-anak berupa bajaj yang terbuat dari kayu, yang ia rancang dan buat sendiri. Dalam sehari, ia bisa membuat 12 bajaj kayu tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun