Suasana yang menonjol di ruang terbuka Kota Tua Jakarta[6], benar-benar suasana publik. Barangkali inilah yang disebut sebagai Public Spaces for All, yang tiap warga dengan leluasa mengaksesnya. Ada anak-anak yang asyik main kejar-kejaran. Ada remaja-remaja yang berpasangan. Ada pula pasangan muda yang menikmati ruang terbuka tersebut, sambil mendorong kereta bayi. Mungkin anak pertama mereka. Semua aktivitas tersebut berlangsung alamiah, saling menghargai sesama di ruang terbuka.
Di depan Gedoeng Jasindo, salah satu gedung peninggalan Belanda yang sudah selesai direstorasi, ada sebuah bangku taman. Pada Minggu (27/9/2015) sore itu, seorang ibu muda duduk di sana, sambil menyuapi bayinya, yang berada dalam gendongan suaminya, di sebelahnya. Angin semilir sore itu, membuat sang bayi kegirangan. Keluarga muda itu leluasa bercengkerama di ruang terbuka. Hanya beberapa langkah di depannya, dekat Meriam Si Jagur[7], seorang anak belasan tahun, asyik bermain-main dengan anjing pudel kesayangannya.
Pada saat yang sama, tak berapa jauh dari sana, halaman Kantor Pos, pada Minggu (27/9/2015) sore itu, sudah disulap menjadi sebuah area minum kopi terbuka. Ada beberapa table, lengkap dengan kursi dan payung pelindung. Senja di kawasan ruang terbuka Kota Tua Jakarta itu mulai merayap. Lampu sorot dari berbagai sisi, mulai menyala, sebagai penanda bahwa malam menjelang. Dengan secangkir kopi, dengan sejumlah kudapan, bangunan Museum Fatahillah di ujung selatan ruang terbuka, menampilkan diri dengan pesona yang mengesankan.
Yanto[8], seorang pedagang mainan anak-anak di sana, bercerita, bahwa suasana sore hingga malam, adalah suasana yang dinanti banyak warga di ruang terbuka Kota Tua Jakarta. Dari pengamatannya setelah bertahun-tahun berdagang di sana, Minggu sore adalah peak season di Kota Tua. Umumnya, mereka yang habis berwisata di Taman Impian Jaya Ancol, menyempatkan singgah untuk menikmati senja di Kota Tua. Kalau turis asing, menurut Yanto, lebih banyak singgah pada hari, di luar Sabtu-Minggu. Kebanyakan turis dari Perancis dan Belanda.
Satu Per Satu Pohon Tiada
Dari sedemikian banyak kelebihan ruang terbuka Kota Tua Jakarta sebagai Public Spaces for All, ada satu hal yang patut kita catat dan renungkan bersama, yakni tentang penghijauan. Di Kota Tua Jakarta, bangunan yang bisa dikatakan sebagai icon-nya adalah Museum Fatahillah. Bahkan, ruang terbuka di kawasan ini dinamakan Taman Fatahillah. Namun, satu per satu pohon yang berada di kawasan ruang terbuka itu, hilang dari pandangan mata. Ketika saya berkunjung ke sana, pada Sabtu, 7 September 2013, di depan Museum Fatahillah sebelah kiri, masih ada 4 pohon palem dan di sebelah kanan juga ada 4 pohon palem. Di halaman bagian tengah, ada satu pohon besar dan satu pohon lagi sudah ditebang, tinggal bonggolnya.
Detailnya bisa dilihat pada foto sebelah kiri di atas. Kemudian, ketika saya berkunjung lagi ke sana, pada Senin, 28 September 2015, 8 pohon palem tersebut sudah tiada. Bahkan, satu pohon besar di bagian tengah halaman, juga sudah ditebang, hanya tinggal bonggolnya. Detailnya bisa dilihat pada foto sebelah kanan di atas. Entah kapan persisnya pohon-pohon tersebut ditebang. Juga, entah apa alasannya, hingga pohon-pohon yang berguna untuk penghijauan tersebut, dihilangkan. Di depan Cafe Batavia, di sebelah utara ruang terbuka, dulunya juga ada 3 batang pohon palem yang cukup besar. Kini, ketiga pohon palem itu pun sudah tiada.
Kita tahu, ruang terbuka sebagai Public Spaces for All, selain berfungsi sebagai tempat beraktivitas warga, juga berguna sebagai paru-paru sebuah kota. Dalam hal ini, paru-paru ibukota Jakarta. Dengan tumbuh suburnya pepohonan di ruang terbuka, tentulah udara yang akan dihirup warga akan lebih bersih. Oksigen yang tersedia di kawasan tersebut, juga akan lebih banyak. Maka, keberadaan pepohonan di ruang terbuka Kota Tua Jakarta, sudah sepatutnya menjadi perhatian kita bersama. Barangkali, pihak yang berwenang dalam hal ini, perlu mempertimbangkan pentingnya pepohonan di sana, sebelum memutuskan untuk menebangnya.
Secara historis, karena ruang terbuka di kawasan ini dinamakan Taman Fatahillah, maka konsekuensinya tanam-tanaman, pepohonan, juga bunga-bungaan, sudah sepatutnya ada di sana. Jika dikorelasikan dengan peringatan Hari Habitat Dunia (HHD), maka hilangnya sejumlah pepohonan di ruang terbuka Kota Tua Jakarta, adalah peringatan untuk kita bersama. Bila dikorelasikan dengan oksigen, rata-rata sebatang pohon, mampu menghasilkan oksigen hingga 1,2 kilogram per hari. Bahkan, sebatang pohon trembesi, mampu menghasilkan 78 kilogram oksigen per hari. Sementara, seorang manusia, rata-rata menghirup 0,5 kilogram oksigen per hari. Nah, betapa berartinya sebatang pohon, kan? Apalagi di ruang terbuka, yang banyak dikunjungi warga.
Jakarta, 29 September 2015