Mereka bertiga, menjadi pemenang ide dan konsep bisnis terbaik, yang diadakan FWD Life Indonesia. Dari kiri ke kanan: Ignatius Leonardo dengan ide bisnis produk fashion dari Kulit Kayu sebagai Pemenang III, Alicia Van Akker dengan ide bisnis RumahMC sebagai Pemenang I, dan Anggia Rahendra dengan ide bisnis Plua sebagai Pemenang II. Di usia muda, mereka sudah menemukan passion, sekaligus sudah mengeksplorasinya menjadi bisnis. Foto: twitter.com/fwdlife_id
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Menyadari passion[1] selagi muda, itulah modal utama untuk menjadi pengusaha. FWD Life[2] gencar memacu passion kalangan muda dan mengubah passion tersebut, menjadi bisnis yang berkelanjutan. Inilah 3 dari lebih 3.500 ide[3] dan konsep bisnis terbaik, yang sungguh inspiratif.
Camkan dengan baik, jangan pernah remehkan anak muda. Meski mereka muda secara usia, juga relatif muda secara pengalaman, tapi mereka memiliki ide-ide bisnis yang cemerlang. Tiga anak muda berikut ini, dengan gemilang, tampil sebagai Pemenang Bebas Berbagi, menyisihkan 3.500 ide dan konsep bisnis terbaik, yang dikirimkan anak-anak muda dari berbagai penjuru tanah air. FWD Life, yang menjadi inisiator sekaligus penyelenggara event cerdas ini, bukan saja patut diacungi jempol tapi memang sungguh jempolan. Sebagai lembaga asuransi kehidupan, FWD Life concern[4] akan pemberdayaan diri, khususnya pada kalangan muda.
RumahMC, Passion Alicia Van Akker
Ini tentu tidak bisa dilepaskan dari kegigihan Paul Setio Kartono, yang menjadikan FWD Life serius mengedukasi[5] potensi yang ada dalam masyarakat. Sebagai Chief Financial Officer (CFO) FWD Life, Paul Setio Kartono mengejar passion kalangan muda dan mengubah passion mereka menjadi bisnis yang berkelanjutan. ”Mereka dapat memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian Indonesia," ujar Paul Setio Kartono, dalam Kopdar Bebas Berbagi[6], yang digelar pada Sabtu, 19 September 2015, di Kopitiam Tan, SCBD Lot 8, Jl. Jenderal Sudirman No. 52–53, Jakarta Selatan.
Berkat acara Bebas Berbagi inilah, Alicia Van Akker mengibarkan ide bisnisnya tentang RumahMC, hingga perempuan berambut lurus ini tampil sebagai Pemenang I Bebas Berbagi. Kiprahnya sebagai MC alias Master of Ceremony alias Pembawa Acara, memang sudah cukup menonjol. Ia kerap menjadi MC di sejumlah acara di berbagai perusahaan. Bahkan, ia pun sering berbagi ilmu MC kepada publik. Passion-nya di bidang MC, selain sudah ia sadari, juga telah ia eksplorasi, dari waktu ke waktu.
Ide bisnis yang membuat Alicia Van Akker jadi Pemenang I Bebas Berbagi ini adalah RumahMC. Di RumahMC, sebagaimana dipresentasikan Alicia Van Akker, sejumlah MC dengan berbagai spesialisasi, berhimpun. Antara lain, ada MC yang spesialis untuk acara anak-anak, untuk seminar formal, untuk launching produk, dan untuk event entertainment. Artinya, RumahMC menjadi area one stop service untuk public speaking di Indonesia. Perusahaan, lembaga, dan institusi, baik swasta maupun pemerintah, dengan leluasa bisa menggunakan RumahMC untuk menemukan MC yang dibutuhkan.
Proses mencari, memilih, menentukan, sampai deal, bisa dilakukan secara online. Dengan kata lain, ide bisnis Alicia Van Akker ini mempertemukan para MC sebagai penyedia jasa dan para institusi, yang membutuhkan jasa MC. Mekanisme online tersebut, tentu saja menjadikan proses mendapatkan MC yang sesuai kebutuhan, jadi save time dan save cost. Memang, inilah hakekat ranah online yang sesungguhnya, yang membuat jarak, waktu, dan biaya bisa dihemat secara maksimal. Inilah salah satu keunggulan ide bisnis Alicia Van Akker, yang menjadikannya sebagai Pemenang I Bebas Berbagi.
Plua, Passion Anggia Rahendra
Anggia Rahendra, kita kenal sebagai mahasiswa Telkom University, Bandung, Jawa Barat. Ia masih kuliah dan tentu banyak terlibat di berbagai aktivitas mahasiswa. Kita tahu, mahasiswa paling gandrung bikin event. Baik dalam bentuk bazar, seminar, maupun berbagai event entertainment. Skala event yang dilakukan mahasiswa pun sangat beragam. Ada yang skala kampus, skala kota, maupun yang sudah merambah hingga tingkat nasional.
Proses merencanakan serta mewujudkan event inilah yang menggelitik Anggia Rahendra, untuk berbagi. Ia paham, merumuskan sebuah konsep event, bukanlah hal mudah. Pada kenyataannya, kita melihat, ada banyak event yang terselenggara, hanya ala kadarnya. Partisipasi publik terbatas, respon media terbatas, bahkan sponsor pun terbatas. Nah, apa jadinya bila sebuah event minim sponsor? Bagaimana mencapai titik-temu, antara konsep event dengan pihak sponsor yang relevan?
Atas dasar itulah Anggia Rahendra merumuskan ide bisnis, yang ia namakan Plua. Ini aplikasi aggregator peluang. Plua menerapkan penyebaran informasi peluang, berbasis aplikasi smartphone alias ponsel pintar. Tanpa spam, ya tanpa spam. Plua ini didukung, antara lain, dengan fitur Smart Planning, untuk memberikan rekomendasi pelaksanaan event terbaik secara dinamis, dikemas dalam konsep gamification. Dengan Plua ini, pengguna leluasa melakukan simulasi event yang hendak dirancang.
Mengacu kepada rancangan itulah Plua memberikan berbagai rekomendasi yang relevan untuk penyelenggara event. Secara konseptual, ide bisnis dari Anggia Rahendra ini, bisa menjadi solusi bagi penyelenggara event. Juga, bisa menjadi aplikasi untuk mematangkan sebuah konsep event. Ide bisnis ini memang masih membutuhkan penajaman, terutama pada kategori kelompok masyarakat yang hendak dijangkau. Ide bisnis ini mengantarkan Anggia Rahendra sebagai Pemenang II Bebas Berbagi. Oh, ya, Anggia Rahendra adalah penerima Beasiswa Unggulan Teknologi Industri Kreatif tahun 2014.
Kulit Kayu, Passion Ignatius Leonardo
Saat presentasi ide dan konsep bisnis di Kopdar Bebas Berbagi, Ignatius Leonardo sama sekali tidak menampakkan diri sebagai seorang pecinta alam. Padahal, ia sesungguhnya seorang pecinta alam sejati, yang menempatkan kreativitas dan merawat alam dalam posisi bersandingan. Ide bisnis yang ia presentasikan adalah menciptakan berbagai produk fashion dari bahan kulit kayu. Produk yang ia ciptakan adalah produk yang unik, dengan tekstur yang khas. Antara lain, tas untuk pria dan wanita serta dompet untuk pria dan wanita.
Beragam produk fashion ciptaan Ignatius Leonardo tersebut adalah produk tahan air, sehingga mudah untuk dibersihkan. Sungguh mengagumkan sekaligus mencengangkan ide bisnis Ignatius Leonardo ini. Bahan kulit kayu yang ia gunakan adalah kulit kayu gabus. Yang dimaksud dengan gabus adalah lapisan terluar dari kulit pohon yang dihasilkan oleh pohon Ek Gabus[7]. Dalam konteks ilmu tumbuh-tumbuhan, pohon Ek Gabus dikenal luar biasa produktif dalam menghasilkan kulit pohon yang berkualitas. Secara fisik, kulit pohon tersebut ringan, tahan panas, dan lentur.
Dan, yang luar biasa, kulit pohon Ek Gabus itu bisa dipanen, artinya bisa diambil, tanpa harus menebang pohonnya. Pengetahuan Ignatius Leonardo yang mendalam tentang pohon Ek Gabus, memacu dirinya untuk mengembangkan kreativitas. Akhirnya, ia sampai pada ide bisnis menciptakan berbagai produk fashion berbahan kulit kayu tersebut. Tidak hanya sampai di situ. Ignatius Leonardo pun melanjutkan langkahnya dengan menciptakan mekanisme jual-beli produk ciptaannya secara online.
Maka, sosok Ignatius Leonardo menjelma menjadi sosok yang komplit. Ia anak muda, baik secara usia maupun pengalaman. Ia kreatif menciptakan produk fashion yang unik. Ia memanfaatkan teknologi internet untuk meluaskan jangkauannya. Dan, ia pun dengan cerdas menyandingkan kreativitas bersama kecintaan pada alam. Ide dan konsep bisnis dari sosok yang komplit ini, tentu sudah sepatutnya kita apresiasi. Chief Financial Officer (CFO) FWD Life, Paul Setio Kartono, memahami passion anak muda ini dan menjadikan Ignatius Leonardo sebagai Pemenang III Bebas Berbagi.
Jakarta, 25 September 2015
--------------------------
Ada ide tapi tak ada modal. Pemilik ide mencari pemodal, para pemodal juga berburu pemilik ide. Itulah sejumlah hal yang tampil ke permukaan, saat Kopdar Bebas Berbagi bersama FWD Life.
“Bisnis jangan ribet,” kata Yukka Harlanda, CEO Brodo Footwear. “Beda passion it’s ok!” kata Dedy Dahlan, Founder Passionpreneur Academy. Paul Setio Kartono, CFO FWD Life, terus berburu passion.
--------------------------
[1] Menerjemahkan kata passion adalah sebuah tantangan tersendiri. Seringkali, passion diterjemahkan menjadi semangat, dan ini terlalu longgar. Kadangkala, passion dialihbahasakan menjadi hasrat, sinonim dari keinginan, sehingga lebih cocok untuk terjemahan kata desire. Dalam kamus Bahasa Inggris (Oxford), definisi passion adalah strong and barely controllable emotion. Google Translate menyarankan kata renjana untuk passion. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan renjana sebagai rasa hati yang kuat (rindu, cinta kasih, berahi). Selengkapnya, silakan baca Mengapa “follow your passion” adalah saran yang menyesatkan, yang dilansir paramitamohamad.com, pada Minggu, 9 Maret 2014.
[2] FWD Life Indonesia (FWD Life) merupakan perusahaan asuransi jiwa patungan dengan perusahaan asuransi yang berbasis di Asia, FWD Group. FWD Life Indonesia didukung oleh pengalaman dan sumber daya multinasional, yang dipadukan dengan talenta dan pemahaman lokal. FWD Life Indonesia didirikan pada 12 November 2012. Pada Juni 2015 lalu, FWD Life meluncurkan iFWD Liberate, jalur distribusi asuransi secara online. Menurut Paul Setio Kartono, Direktur Keuangan FWD Life, iFWD Liberate merupakan kanal baru yang digunakan perseroan untuk menyasar anak muda kota. Selengkapnya, silakan baca Jual asuransi online, FWD sasar anak muda kota, yang dilansir kontan.co.id, pada Jumat l 05 Juni 2015 | 13:21 WIB.
[3] Ajang ini merupakan hasil kerjasama FWD Life dengan Dreamlab, yang telah mengadakan workshop virtual untuk para passionpreneur, dengan menyediakan kelas online di bebaskanlangkah.com/bebasberbagi. Pada kelas online tersebut, terkumpul 3.500 peserta dan 1.399 proposal ide bisnis. Dari semua itu, terpilih 6 proposal ide bisnis terbaik, berdasarkan inovasi, originalitas, dan kesinambungan. Keenam finalis tersebut mendapat kesempatan untuk mempresentasikan ide bisnis mereka kepada para investor dan komunitas di Kopdar Bebas Berbagi, yang digelar pada Sabtu, 19 September 2015, di Kopitiam Tan, SCBD Lot 8, Jl. Jenderal Sudirman No. 52–53, Jakarta Selatan. Seorang finalis berhalangan hadir. Hanya 5 finalis yang mempresentasikan ide bisnis mereka saat itu: Anggia Rahendra, Fitri Kumala, Alicia Van Akker, Ignatius Leonardo, dan Rinda Gusvita.
[4] Dalam konteks yang lebih luas, sesungguhnya FWD Life concern pada peningkatan literasi keuangan di tengah masyarakat Indonesia. Maklum, dari 177,7 juta masyarakat Indonesia, yang berusia 15 tahun ke atas, baru 36,1 persen saja atau sekitar 64,15 juta dari mereka yang sudah memiliki akun di bank atau tercatat sebagai nasabah bank. Ini menurut data yang dihimpun World Bank Group dalam The Little Data Book on Financial Inclusion tahun 2015.
[5] FWD Life juga concern memberikan edukasi keuangan. Antara lain, melalui program CSR Bebas Berbagi, sebagaimana yang berlangsung selama bulan Mei sampai Juni 2015, lalu. Dalam program tersebut, FWD Life Indonesia memberikan edukasi keuangan kepada lebih dari 400 siswa dari 4 Sekolah Dasar, yang berada di sekitar wilayah Tangerang, Banten. FWD Life Indonesia percaya bahwa pendidikan keuangan, harus dilakukan sejak dini. Dalam program tersebut, FWD Life Indonesia menyelenggarakan sebuah kampanye yang fokus mengenalkan 3 konsep utama keuangan yakni earning, saving, and giving.
[6] Pada Kopdar Bebas Berbagi tersebut, selain menghadirkan kelima finalis, FWD Life juga menghadirkan sejumlah speaker: Reza Herlambang (moderator), Dedy Dahlan (Founder Passionpreneur Academy), Leonora Adelia (pendiri Travas Life), Indra Uno (Seratoga Investama Sedaya), Yukka Harlanda (CEO Brodo), dan Paul Setio Kartono (CFO FWD Life).
[7] Pohon Ek Gabus tidak pernah berhenti menghasilkan lapisan kulit, hingga setebal 25 sentimeter, jika tidak dipanen. Bila kulit Ek Gabus dipanen, lapisan baru akan tumbuh terus, hingga dalam waktu kira-kira sepuluh tahun. Portugal dikenal sebagai negara penghasil gabus terbesar di dunia, dengan persentase 55 persen, kemudian Spanyol menyumbang kira-kira 30 persen, dan negara-negara lain seperti Aljazair, Perancis, Italia, Maroko, dan Tunisia memproduksi 15 persen gabus dunia. Di beberapa negara seperti Portugal dan Spanyol, hutan Ek Gabus dikelola secara baik dan ini menunjukkan bahwa manusia pengelolanya bisa bekerja harmonis dengan alam. Mereka memanen hasilnya tanpa merusak kekayaannya. Selengkapnya, silakan baca Kisah Gabus, dari Pohon ke Botol, yang dilansir suaramerdeka.com, pada 2 September 2011.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H