Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Bakpia Naik Harga: Oktober 2015 Karena Dollar, Desember 2014 Karena BBM

12 September 2015   16:31 Diperbarui: 13 September 2015   00:30 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bakpia adalah bagian dari napas Yogyakarta. Ada begitu banyak rakyat Yogya yang terlibat dalam proses produksi camilan khas ini. Usaha rakyat ini tumbuh dari rumah ke rumah, menjadi salah satu sumber penghidupan, sejak tahun 1948. Meski 90 persen bahan baku Bakpia adalah tepung terigu yang diimpor, toh secara harga, relatif masih terjangkau oleh orang banyak. Inilah bagian dari kearifan lokal, yang menggerakkan roda ekonomi rakyat. Foto: kompas.com

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Belum setahun, Bakpia[1] sudah akan naik harga dua kali. Usaha rakyat Yogyakarta ini menjadi cermin, apa sesungguhnya yang terjadi di kelas usaha rakyat. Lonjakan harga tepung terigu, membuat produsen Bakpia tak bisa bertahan dengan harga lama.

Mulai Oktober 2015, harga satu dus Bakpia akan menjadi Rp20.000, sekarang masih diperdagangkan di harga Rp 18.000 per dus. Ini informasi resmi dari Sumiyati, Ketua Paguyuban Bakpia Patuk Sumekar[2], Kecamatan Ngampilan, Yogyakarta, pada Selasa (8/9/2015). Ia nampaknya sengaja mengumumkan penyesuaian harga camilan khas Yogyakarta itu, agar para pembeli tidak kaget. Satu dus yang ia maksud, berisi 20 unit Bakpia. Para pedagang di toko oleh-oleh, sudah dapat dipastikan, akan turut pula menaikkan harga, mungkin menjadi Rp22.000 per dus. Kenaikan berantai, karena mata rantai penjualan, adalah logika ekonomi yang praktis tak terelakkan. Tiap titik, tentulah butuh selisih, yang kemudian dinamakan sebagai keuntungan.

Tepung Terigu Duluan Naik

Kita tahu, 90 persen bahan baku Bakpia adalah tepung terigu. Dan, sang tepung, sudah duluan naik harga, mengikuti gonjang-ganjing nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Ketika rupiah melorot di kisaran Rp 12.000-an, tepung terigu masih bisa dibeli perajin camilan Bakpia dengan harga Rp172.000 per sak, isi 20 kilogram. Tapi, tatkala rupiah terus melorot menjadi Rp14.000-an, sang tepung terigu sudah naik menjadi Rp175-177 ribu per sak. Maka, logika ekonomi pun bekerja: biaya produksi naik, harga pun otomatis naik.

Karena itulah, Paguyuban Bakpia Patuk Sumekar akan menaikkan harga per dus, menjadi Rp 20.000 per Oktober 2015. Tepung terigu memang sangat berkaitan dengan nilai tukar rupiah. Boleh dikata, seluruh tepung terigu dan biji gandum yang ada di Indonesia, dipasok dari luar negeri alias impor[3]. Negara pemasok, antara lain, Turki, Srilanka, Vietnam, India, Australia, dan Amerika Serikat. Dengan demikian, meski Bakpia masuk kategori camilan tradisional khas Yogyakarta, tapi 90 persen bahan bakunya didatangkan dari luar negeri. Dari sisi kuliner, terkait bahan baku utamanya, Bakpia sesungguhnya bagian dari produk roti-rotian.

Meski awalnya roti lebih dikenal sebagai makanan londo, tapi perkembangan zaman telah menggiring sebagian masyarakat kita mengonsumsi roti-rotian, sebagai sumber karbohidrat. Meski belum sepenuhnya menggantikan nasi, tapi nyatanya konsumsi roti-rotian terus meningkat. Demikian juga halnya dengan mie, yang bahan bakunya juga terigu. Ini ditandai dengan terus meningkatnya konsumsi tepung terigu secara nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor tepung terigu[4] pada April 2015, mencapai 7.566 ton. Sejak Januari hingga April 2015, impor tepung terigu mencapai 33.497 ton.

Di satu sisi, kita membatasi impor beras, tapi di sisi lain impor tepung terigu dan gandum terus membubung. Karena yang menanam gandum hanya sedikit, maka tidak ada yang protes, seperti halnya petani padi. Namun, di saat kondisi rupiah seperti ini, segala yang berbau impor, tentulah berpengaruh pada perekonomian nasional. Salah satu indikatornya, cadangan dollar dalam negeri terus menyusut. Pada saat yang sama, sebagian masyarakat sudah mulai terbiasa melahap roti dan mie. Dulu, ada gerakan mengurangi makan nasi. Akan adakah gerakan mengurangi makan roti dan mie?

Perjalanan waktu telah membuat roti dan mie, menjadi pangan pokok sebagian masyarakat, meski belum sepenuhnya menggantikan nasi. Hal itu dengan sendirinya turut meningkatkan konsumsi tepung terigu secara nasional. Akibat lanjutannya, impor tepung terigu dan biji gandum terus menanjak dari tahun ke tahun. Di tengah rendahnya nilai tukar rupiah saat ini, maka segala sesuatu yang berbau impor, sedikit banyaknya turut memengaruhi perekonomian nasional. Foto: kompas.com

Bakpia Kenaikan Harga Kedua

Kembali ke Bakpia. Rencana kenaikan harga Bakpia pada Oktober nanti, adalah kenaikan harga kedua, setelah pada Desember 2014, harga Bakpia naik mengikuti kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Apa yang terjadi pada Bakpia adalah realitas yang sesungguhnya dari fluktuasi usaha rakyat. Tukang becak yang kerap mengantar pelancong membeli Bakpia di Yogyakarta, paham akan adanya gejolak ekonomi, tanpa harus berkutat dengan diktat di bangku kuliah. Dari Desember 2014 hingga Oktober 2015, tentulah belum setahun, tapi di kurun waktu itu, sudah akan terjadi dua kali kenaikan harga.

Dari sini kita bisa menyimak, para produsen Bakpia tersebut lebih mengacu kepada biaya produksi, dalam menetapkan harga. Bahasa kerennya, based on production. Dalam kalkulasi konsumen, karena sama-sama tahu bahwa semua serba naik harga, kenaikan tersebut relatif bisa diterima dan dipahami. Mungkin akan ada penurunan jumlah pembeli, juga akan terjadi penurunan omset, tapi penurunan tersebut akan berlangsung perlahan. Ketika musim libur tiba dan Yogyakarta penuh sesak dengan pelancong, penurunan tersebut akan tertutupi dengan sendirinya.

Ini berbanding terbalik dengan para pedagang makanan sepanjang Malioboro[5], yang menetapkan harga dengan acuan konsumen. Bahasa kerennya, based on market. Pelancong yang pernah merasakan gebukan harga di Malioboro, pasti ogah kembali lagi ke sana. Dari survey kecil-kecilan yang saya lakukan, mereka yang habis makan di Malioboro, terkaget-kaget menghadapi harga yang ditetapkan pedagang di sana. Tidak menyangka sekaligus tidak mengira, dengan harga yang harus mereka bayar. Malah ada yang membandingkan harga sepotong ayam di resto fast food dengan harga yang diberlakukan di Malioboro.

Itulah dua sisi dari Yogyakarta. Bakpia, yang 90 persen bahan bakunya impor, disikapi pelakunya dengan kearifan lokal, sebagai usaha rakyat. Harganya pun merakyat. Sebaliknya, pedagang makanan di Malioboro, meski yang dijual adalah produk lokal, ayam kampung pula, tapi para pedagang di sana menyikapinya dengan aji mumpung. Mereka menganggap, toh pelancong itu hanya sekali-sekali datang ke Yogyakarta. Lagi pula, karena mereka melancong, artinya mereka sudah siap dana untuk dibelanjakan.

Indonesia dimitoskan tidak bisa ditanami gandum. Sejumlah penelitian telah dilakukan, uji-coba pun sudah dilaksanakan. Hasilnya, tidak tertutup kemungkinan bagi Indonesia untuk mengembangkan tanaman gandum dalam skala luas. Dalam konteks kedaulatan pangan, tentu setahap demi setahap, ketergantungan pada impor tepung terigu dan biji gandum, sudah sepatutnya dikurangi. Foto: kompas.com

Terigu, Trigo, dan Gandum

Kembali ke Bakpia, sampai kapan kita terus bergantung pada impor tepung terigu? Kita tahu, tepung terigu adalah tepung halus yang terbuat dari biji gandum. Kata terigu sesungguhnya berasal dari bahasa Perancis trigo, yang berarti gandum. Bisakah gandum ditanaman di Indonesia? Ahli teknologi pangan, Prof. Dr. FG Winarno, menjawab, "Indonesia dimitoskan tidak bisa tanam gandum. Buktinya, pada tahun 2000, kita bisa menanam gandum. Benihnya kita ambil dari India. India saja bukan produsen gandum waktu itu, namun sekarang menjadi nomor dua terbesar di dunia, setelah Amerika Serikat. India ambil benih dari Mexico."

Itu diungkapkan FG Winarno di kantornya, di Indofood Tower, Jakarta, pada Kamis (9/2/2012)[6]. Selain itu, pakar sekaligus peneliti tanaman pangan dari Universitas Andalas (Unand), Padang, Prof. Irfan Suliansyah[7], mengatakan pada Selasa (7/4/2015) bahwa gandum pantas menjadi komoditi strategis Indonesia. Dia mencontohkan upaya yang telah dilakukan Unand, saat merilis kultivar gandum tropis dengan nama GURI 6 Unand. Dari upaya penelitian tersebut, Unand telah berhasil menciptakan kultivar jenis gandum yang dapat bertoleransi hidup di wilayah tropis dengan iklim panas.

Masih ada sejumlah penelitian serta penanaman gandum di berbagai wilayah di tanah air. Antara lain, di Nongko Jajar (Jawa Timur) dan Kopeng, Salatiga (Jawa Tengah)[8]. Juga, di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan[9]. Artinya, mengacu kepada sejumlah penelitian tersebut, tidak tertutup kemungkinan untuk mengembangkan tanaman gandum dalam skala luas. Mengingat bahwa nasi dari beras dan roti serta mie dari tepung terigu telah menjadi dua kategori makanan pokok masyarakat kita, tentulah penanaman gandum layak dipertimbangkan, sebagai bagian dari ketahanan pangan nasional.

Dalam konteks kedaulatan pangan, tentu setahap demi setahap, ketergantungan pada impor sudah sepatutnya dikurangi. Salah satunya, dengan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia di tanah air. Dalam konteks pergaulan regional dan internasional, kita memang tidak bisa sepenuhnya menutup diri dari produk impor. Tapi, bila berkaca pada gandum dan tepung terigu, yang kita sepenuhnya bergantung pada impor, alangkah sayangnya zamrud khatulistiwa yang gemah ripah loh jinawi ini.

Jakarta, 12 September 2015

---------------------------

Jalan Malioboro Yogyakarta menjelaskan tentang makna waktu dalam dunia marketing. Di jalan sepanjang 1 kilometer itu, beragam jenis transaksi terjadi, dinamika marketing terasa 24 jam penuh.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/malioboro-marketing-waktu-dalam-keragaman_550d83a9a333112d1c2e3d13

Bank Central Asia (BCA) KCU Jogja mengucurkan kredit Rp 25 miliar untuk pedagang Pasar Beringharjo. Ada 8.000-an lebih pedagang kelas UKM yang dirangkul. Dinas Pengelolaan Pasar Jogja menjembatani.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/strategi-bank-bca-merangkul-8-000-ukm-di-pasar-beringharjo-jogja_54f3fee9745513a32b6c83d4

--------------------------

[1] Bakpia Yogyakarta selalu khas dengan angka. Angka-angka tersebut ternyata menunjukkan nomor rumah pembuatnya. Kampung Pathuk adalah salah satu kampung yang terkenal sebagai sentra Bakpia, yang merupakan camilan oleh-oleh khas Daerah Istimewa Yogyakarta. Bakpia sebenarnya berasal dari negeri China. Aslinya, kue ini bernama Tou Luk Pia yang artinya adalah kue pia (kue) kacang hijau. Munculnya Bakpia di Yogyakarta, tidak terlepas dari kampung Pathuk Yogyakarta. Bakpia mulai diproduksi di kampung tersebut sekitar tahun 1948, dengan peminat yang masih sangat terbatas pada masa itu.

[2] Paguyuban produsen Bakpia di Kota Yogyakarta, berencana menaikkan harga, awal Oktober 2015, menyusul terus melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika. Sumiyati menuturkan, imbas melemahnya rupiah sangat terasa dan memengaruhi produksi, karena bahan baku utama pembuatan Bakpia yakni tepung terigu ikut naik. Selengkapnya, silakan baca Imbas Rupiah ‘Loyo’, Harga Bakpia Naik, yang dilansir bisnis.com, pada Rabu l 09 September 2015 l 06:57 WIB.

[3] Fransiscus Welirang, Ketua Umum Asosiasi Tepung Terigu Indonesia (Aptindo), selaku importir gandum terbesar di Indonesia, mengatakan, sejak awal tahun 2015, pihaknya sudah mengimpor 3,5 juta ton gandum ke tanah air. Aptindo memproyeksikan, impor gandum hingga penghujung tahun 2015, sebanyak 7 juta ton. Selengkapnya, silakan baca Rupiah melemah, impor gandum jalan terus, yang dilansir kontan.co.id, pada Kamis l 27 Agustus 2015 | 11:08 WIB.

[4] Impor tepung terigu pada April 2015 mencapai 7.566 ton dan impor biji gandum pada April 2015 sebesar 685.880 ton. Selengkapnya, silakan baca RI Impor Tepung Terigu dan Biji Gandum dari Srilanka Hingga AS, yang dilansir detik.com, pada Jumat l 05 Juni 2015 l 11:26 WIB.

[5] Banyak yang mengeluh kalau harga di Malioboro nuthuk. Pos Jogobaran yang berada di kawasan kantor UPT Malioboro, menerima 10 aduan per hari dari masyarakat, yang merasa harga makanan di Malioboro tidak wajar. Diterangkannya, ukuran tidak wajar adalah harga yang terlalu mahal, ketimbang di tempat lain. Penjual tidak menempelkan harga di daftar menu makanannya. Selengkapnya, silakan baca Jajan Makanan Di PKL Malioboro, Pastikan Dulu Harganya, yang dilansir bisnis.com, pada Kamis l 23 Juli 2015 l 09:11 WIB.

[6] Gandum telah ditanam di wilayah Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur. Selengkapnya, silakan baca Ahli Pangan: Indonesia Dimitoskan Tak Bisa Ditanam Gandum, yang dilansir detik.com, pada Kamis l 09 Februari 2012 l 17:56 WIB.

[7] Masih minimnya sarana dan lahan pengaya, menjadikan pengembangan cocok tanam gandum ini masih tersendat. Untuk itu, dia berharap ke depan, akan ada tindakan khusus dari pemerintah dalam menginisiasi penggunaan gandum Indonesia di negara sendiri. Selengkapnya, silakan baca Pakar: Gandum Pantas Menjadi Komoditi Strategis Indonesia, yang dilansir antarasumbar.com, pada Selasa l 7 April 2015 l 11:06 WIB.

[8] CEO PT Bogasari Flour Mills, Franciscus Welirang, di Jakarta, pada Rabu (18/3/2009), mengatakan, Jepang siap membantu pengembangan tanaman gandum di Indonesia. Luasnya sekitar 300 hektar, dikembangkan di Nongko Jajar, Jawa Timur, dan Kopeng, Salatiga, Jawa Tengah. Selengkapnya, silakan baca Indonesia Akan Kembangkan Gandum, yang dilansir kompas.com, pada Rabu l 18 Maret 2009 | 19:08 WIB.

[9] Ketua Komite Tetap Kebijakan Publik, Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Utama Kajo, menciptakan terobosan baru. Ia telah sukses menghasilkan gandum berkualitas, tidak kalah dari produk impor. Varietas gandum itu bisa bertahan di iklim Indonesia, karena sebelumnya dimutasi dengan sinar gamma, hasil teknologi Badan Tenaga Nuklir Indonesia (BATAN). Selengkapnya, silakan baca Kadin Sukses Panen Gandum Hasil Rekayasa Nuklir, yang dilansir neraca.co.id, pada Senin l 22 September 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun