Bahwa hanya 19,77 persen Kepala Sekolah SMP yang melakukan supervisi kelas secara berkala, menunjukkan kepada kita, betapa masih rendahnya integritas pimpinan sekolah. Kita tahu, entah sudah berapa ratus dan berapa ribu kali, kepala sekolah mengucapkan kata disiplin dan kejujuran di tiap wejangan, di tiap upacara di sekolah masing-masing. Bahkan mungkin mereka juga kerap menggelorakan pentingnya integritas. Tapi, ternyata, apa yang mereka ucapkan, belum tercermin pada perilakunya, dalam konteks tata-kelola sekolah.
Dalam hal ini, agaknya perlu kita ingat, apa yang digarisbawahi oleh Mendikbud Anies Baswedan. "Sekolah harus jadi zona integritas atau zona kejujuran. Sekolah harus berprestasi," ucap Anies Baswedan[6], saat memberikan keterangan pers hasil Ujian Nasional (UN) SMP-sederajat tahun 2015, di SMP Negeri 1 Kota Magelang, Jawa Tengah, pada Kamis (11/6/2015). Rendahnya supervisi kelas secara berkala oleh Kepala Sekolah SMP, mencerminkan bahwa kepala sekolah yang bersangkutan tidak concern pada kondisi kekinian sekolah yang mereka pimpin.
Padahal, supervisi tersebut adalah mekanisme penting, untuk memotivasi guru dan murid, dalam konteks Need for achievement (N-Ach). Ada yang merumuskan bahwa N-Ach refers to an individual's desire for significant accomplishment, mastering of skills, control, or high standards. Bila kita korelasikan dengan pernyataan Anies Baswedan di atas, bahwa sekolah harus jadi zona integritas, bahwa sekolah harus berprestasi, maka memang sudah sepatutnya perilaku kepala sekolah menjadi pilar utama bagi kemajuan sekolah.
Capaian 70 persen SD dan SMP sederajat di Indonesia, yang sudah memenuhi standar pendidikan minimal (SPM), sudah diraih dengan susah-payah dan telah menelan biaya yang tidak sedikit. Untuk jenjang SMP saja, mencapai Rp 9,4 triliun. Seluruh pihak yang berwenang, baik di pusat maupun daerah, sudah sepatutnya tidak menyia-nyiakan capaian tersebut[7]. Tanpa tata-kelola sekolah yang baik, bukan tidak mungkin capaian tersebut merosot dengan sendirinya. Peran masyarakat, dalam hal ini orangtua murid, tentu tidak kalah pentingnya.
Labor IPA Sangat Dibutuhkan
Secara infrastruktur pendidikan, keberadaan laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di jenjang SMP, tentulah penting adanya. Totok Amin Soefijanto, dari Education and Knowledge Management Specialist ACDP Indonesia, menyampaikan data yang cukup mencemaskan: hanya 4,53 persen SMP yang memiliki ruang laboratorium IPA dengan fasilitas lengkap[8]. Kita tahu, betapa rendahnya kapasitas sumber daya manusia kita, yang tercermin pada indeks pembangunan manusia[9]. Dalam bidang sains pun demikian, yang tercermin dari keberadaan fasilitas pendukung tentang sains di ranah pendidikan dasar-menengah kita.
Tapi, untuk membangun laboratorium IPA yang lengkap, misalnya, tentu tidaklah murah. Abdul Malik, Kepala Peningkatan Kemampuan Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP), dalam diskusi di Kantor Kemendikbud tersebut, mengingatkan, bahwa dana BOS dirancang hanya untuk memenuhi standar pendidikan minimal. "Jika sekolah ingin mencapai standar nasional pendidikan, maka harus ada tambahan biaya. Salah satu tambahan biaya itu berasal dari SPP," kata Abdul Malik[10].
Dengan kata lain, untuk meningkatkan kapasitas sekolah, demi kemajuan proses belajar-mengajar di sekolah, peran masyarakat, dalam hal ini orangtua murid, tentu tidak kalah pentingnya. Ini menunjukkan kepada kita, bahwa untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas, semua pihak terkait memang sudah seharusnya berkontribusi, sesuai kapasitas masing-masing pihak. Pemerintah di pusat dan di daerah, juga penyelenggara pendidikan di sekolah, perlu di-support oleh masyarakat.
Dalam hal ini, inisiatif kepala sekolah sebagai pemimpin tertinggi di sekolah, tentulah sangat dibutuhkan. Integritas kepala sekolah akan memotivasi masyarakat, untuk berkontribusi memajukan sekolah. Dalam konteks inisiatif dan integritas ini, apa yang dilakukan SMP Eka Dura Lestari, di Kecamatan Kunto Darussalam, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau, mungkin bisa menginspirasi. Sekolah swasta tersebut belum memiliki laboratorium IPA[11] tapi kepala sekolah, guru, dan para murid setempat memanfaatkan alam sekitar sebagai laboratorium alam.
Para siswa SMP tersebut, misalnya, sudah menghasilkan herbarium serta label taksonomi berbagai tanaman yang ada di sekitar sekolah. Siswa pun bersemangat menciptakan produk-produk khas sekolah, seperti pengawetan rangka vertebrata, pupuk kompos dari sampah organik, dan pupuk Takakuran Home Method. Bahkan, siswa yang tergabung dalam Sains Club SMP tersebut, telah menjadi Juara 1 Olimpiade Sains Biologi Tingkat SMP se-Riau di FKIP Universitas Riau. Padahal, SMP itu belum memiliki laboratorium IPA. Ini menunjukkan kepada kita bahwa inisiatif dan integritas kepala sekolah serta guru, berperan penting bagi kemajuan proses belajar-mengajar di sekolah.