BPJS Kesehatan memiliki prinsip gotong royong. Ketika kita sehat, kita gotong- royong membayar yang sakit. Begitu pula sebaliknya, ketika kita sakit, orang lain yang gotong-royong membayar biaya perawatan kita. Karena itulah, keteraturan membayar iuran tepat waktu adalah wujud dari kepedulian sesama peserta. Grafik di atas adalah rekapitulasi jajak pendapat Litbang Kompas pada 22-24 April 2015, yang melibatkan 592 responden di 12 kota di Indonesia. Foto: bpjs-kesehatan.go.id dan print.kompas.com
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak 1 Januari 2014[1]. Rasio klaim BPJS Kesehatan tahun 2014 lalu, mencapai 103,88 persen. Artinya, klaim yang harus dibayar pada program Jaminan Kesehatan Nasional, lebih besar dibandingkan dengan iuran yang diperoleh. Bagaimana mereka menyiasatinya?
Sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, lembaga ini sejak awal sudah menyadari kondisi tersebut. Bukannya siap rugi, tapi ini konsekuensi logis yang sudah diperhitungkan dari semula. Apalagi ada misi Jaminan Sosial dan Kesehatan, yang mereka emban dari pemerintah. Mereka paham bahwa untuk menjamin masyarakat secara sosial serta melayani kebutuhan masyarakat banyak di bidang kesehatan, apalagi dalam skala nasional, dibutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit. Karena itulah, pada tahun pertama dan kedua, 2014 dan 2015, mereka menetapkan sebagai tahun transisi. Dengan kata lain, di dua tahun tersebut, penyelenggara BPJS Kesehatan fokus menata manajemen secara internal dan mengedukasi masyarakat untuk lebih menyadari pentingnya kesehatan.
Eforia Disambut Gembira
Dalam konteks edukasi dan penyadaran akan pentingnya kesehatan itulah, makanya sejak awal iuran kepesertaan ditetapkan dengan nilai yang relatif terjangkau oleh masyarakat umum. Sekadar informasi, bila warga ingin dirawat di kelas I ketika sakit, maka ia wajib mengangsur Rp 59.500 per kepala per bulan. Untuk layanan kelas II, iuran Rp 42.500 per bulan dan untuk kelas III, cukup Rp 25.500 per bulan. Dari sisi jumlah yang harus dibayarkan peserta, misi sosial jelas tercermin dari angka-angka tersebut.
Apalagi, proses kepesertaan, sama sekali tidak melalui pemeriksaan awal kesehatan. Ketika peluncuran pertama, begitu peserta mendaftar, saat itu juga bisa langsung dimanfaatkan. Keterbukaan dan keleluasaan tersebut menjadi eforia bagi masyarakat, yang rame-rame mendaftar jadi peserta BPJS Kesehatan. Eforia masyarakat ini disambut gembira oleh penyelenggara BPJS Kesehatan, meski konsekuensinya, kesiapan fasilitas kesehatan menjadi taruhannya. Sebagaimana kita saksikan, terjadi antrean panjang di berbagai puskesmas, klinik, dan rumah sakit.
Kualitas layanan administrasi dan layanan medis pun, menjadi sangat beragam, karena pasien membludak di mana-mana. Sudah dapat diduga, keluhan, omelan, serta kritikan bermunculan bagai jamur di musim hujan. Hasil survey yang dilakukan Litbang Kompas[2] pada 22-24 April 2015, mencerminkan hal tersebut. Ada 592 responden di 12 kota yang dilibatkan, 53,5 persen di antara mereka telah menjadi peserta BPJS Kesehatan. Dari 317 responden yang menjadi peserta BPJS Kesehatan, hanya 39,1 persen yang menyatakan puas terhadap layanan BPJS. Sebanyak 42,9 persen responden pengguna layanan BPJS Kesehatan, menyatakan tidak puas.
Ini tentu masukan yang berharga untuk penyelenggara BPJS Kesehatan. Pembenahan langsung dilakukan di banyak sektor. Sistem database peserta, misalnya, ditata lebih cermat, karena terintegrasi dengan banyak fasilitas kesehatan. Kerjasama dengan klinik dan rumah sakit, juga terus ditingkatkan. Baik secara jumlah maupun secara kualitas pelayanan. Karena itulah, belakangan ditetapkan ada proses 14 hari setelah mendaftar, sebelum peserta BPJS Kesehatan memanfaatkan fasilitas yang tersedia.
Sadar Tapi Perlu Kesadaran