Presiden Joko Widodo saat membuka Rapat Terbatas di Istana Bogor, Jawa Barat, pada Senin (24/8/2015). Rapat yang dihadiri oleh Wakil Presiden, Jusuf Kalla, Dirut BUMN, pengusaha nasional, serta sejumlah menteri kabinet kerja itu, membahas kondisi terkini perekonomian Indonesia. "Kalau pengusaha diundang diskusi, pulangnya akan ada rasa tanggung jawab. Namun, kalau hanya untuk mendengarkan dan basa-basi, pulangnya akan bersungut-sungut," ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Hariyadi Sukamdani. Foto: print.kompas.com Â
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Bahasa Indonesia diterjemahkan ke bahasa Madura. Itu terjadi Kamis (27/8/2015) siang, di ruang sidang, di lantai satu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Sidang perkara korupsi itu pun riuh dengan gelak tawa. Asli, Ngakak! Pak Hakim Ikut-ikutan Pakai Bahasa Madura, tulis jpnn.com, pada Jumat l 28 Agustus 2015 l 05:51 WIB.
jpnn.com, sebagai bagian dari kelompok media Jawa Pos, yang bermarkas di Surabaya, Jawa Timur, tentulah paham dengan keriuhan yang penuh dengan gelak tawa tersebut. Peristiwa itu baru pertama kali terjadi di sana. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), I Wayan Riana, yang menangani kasus korupsi dengan terdakwa Fuad Amin, mantan Bupati sekaligus Ketua DPRD Bangkalan, Madura, Jawa Timur, tersebut, juga tidak tahan untuk tidak tertawa. Baginya, ini pengalaman pertama bersidang, yang harus mendatangkan seorang penerjemah, karena saksi yang diperiksa tidak memahami bahasa Indonesia[1]. Penerjemahan itu dilakukan untuk mengatasi kendala bahasa[2], meminimalkan kesalahpahaman, sebagai bagian dari upaya untuk meraih keadilan.
Dilema Bahasa Kekuasaan
Dalam konteks salah paham dan kesalahpahaman, kendala bahasa memang bukan satu-satunya faktor yang menjadi penyebab. Pada bulan-bulan belakangan ini, misalnya, kita menyaksikan demikian banyak kesalahpahaman yang tercipta antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, meski kedua pihak sama-sama berkomunikasi dalam bahasa yang sama, yakni bahasa Indonesia. Bila sungguh-sungguh mencermati, kita akan tahu, ternyata pemerintah pusat lebih sering menggunakan pendekatan kekuasaan dalam berkomunikasi dengan pemerintah daerah.
Pusat lebih sering menggunakan kata instruksi, perintah, bahkan ancaman kepada daerah. Sebaliknya, daerah lebih kerap menggunakan kata permohonan, pengajuan, keinginan, dan harapan kepada pusat. Dari sini kita melihat, kedudukan pusat yang lebih tinggi, membuat pejabat pusat cenderung sewenang-wenang terhadap pejabat daerah, setidaknya dalam konteks berkomunikasi. Selain itu, Pusat juga cenderung memosisikan diri sebagai pihak yang selalu benar. Misalnya, bila instruksi tidak berjalan sebagaimana maunya pejabat pusat, maka yang dituding salah adalah pejabat daerah.
Benarkah pusat selalu benar? Model komunikasi one way yang diterapkan pusat terhadap daerah selama ini, terbukti tidak mampu membangun kesepahaman antara pusat dan daerah. Keruwetan penyaluran Dana Desa adalah contoh kongkrit yang menggambarkan kondisi tersebut. Tjahjo Kumolo[3] sampai tidak mampu menahan kegeramannya pada Kamis (27/8/2015), karena penyaluran dana pembangunan desa, baru 20 persen. Geram kepada siapa? Kepada bupati dan walikota, tentunya.
Toh, kegeraman Menteri Dalam Negeri tersebut, tidak serta-merta mempercepat bergulirnya dana desa yang dimaksud. Luhut Binsar Pandjaitan[4], misalnya, ketika menjadi Kepala Staf Kepresidenan, juga dengan sadar mengancam pemerintah daerah, dalam kaitan penyerapan anggaran. Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo[5], pada awal Agustus 2015, mengatakan, kementeriannya telah mengirimkan surat edaran peringatan soal serapan anggaran pemerintah daerah. Pemerintah juga menyiapkan sejumlah sanksi bagi pemerintah daerah yang serapan anggarannya rendah.
Pemda Bukan Anak Buah Pusat