Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

1.733 Murid dari 22 SD Waduk Jatigede, Sekolah Pengganti Belum Disiapkan

28 Agustus 2015   11:01 Diperbarui: 28 Agustus 2015   11:01 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sikap dan perlakuan Kabupaten Sumedang terhadap anak-anak didik, sebagaimana tercermin dari pernyataan Asep Tatang di atas, mengingatkan kita pada isi sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan[7], dalam seminar Penguatan Ekonomi Nasional Melalui Peningkatan Kualitas Manusia di Jakarta, pada Kamis (20/8/2015). "Pemerintah daerah, fasih dalam data jumlah sumber daya alam (SDA), tetapi tidak hafal data pendidikan, seperti jumlah sekolah, murid, dan guru," ujar Anies Baswedan di seminar tersebut.

Anies Baswedan barangkali tidak bermaksud menohok sikap dan perilaku pemerintah daerah. Tapi, sebagai pendidik, ia sesungguhnya hendak menggugah kita, pemerintah daerah dan masyarakat, bahwa kita tidak bisa bergantung pada SDA. Jumlah SDA yang tersedia dan yang masih tersisa, sangat sedikit bila dibagi dengan 250 juta penduduk Indonesia. Di samping itu, SDA tersebut tidak akan berarti apa-apa, bila tidak dikelola oleh manusia yang berkualitas. Dengan kata lain, aset terbesar bangsa Indonesia adalah manusia, manusia Indonesia, dari generasi ke generasi.

Karena itulah, kesadaran akan pendidikan, sudah seharusnya ditanamkan sejak awal kepada generasi penerus. Melalui pendidikan, anak-anak berproses mengasah rasa dan pikir serta menemukan berbagai potensi yang dimilikinya. Proses pendidikan tersebut sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas dirinya, tahap demi tahap. Memang, sekolah bukan satu-satunya cara untuk menjalani proses pendidikan. Tapi, sebagaimana kita tahu, sekolah adalah jalur pendidikan yang relatif terjangkau oleh sebagian besar masyarakat kita.

Ada poin lain yang digambarkan Anies Baswedan dalam seminar tersebut: dari 120 juta tenaga kerja di Indonesia, 78 juta berpendidikan SMP ke bawah. Padahal, kualitas SD dan SMP tidak merata dan belum memenuhi harapan. Semua itu merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, dalam konteks meningkatkan kualitas sumber daya manusia bangsa ini. Maka, alangkah kurang sensitifnya, sikap dan perlakuan Kabupaten Sumedang terhadap anak-anak didik yang terdampak pembangunan Waduk Jatigede tersebut.

Seperti inilah kawasan Waduk Jatigede yang akan digenangi. Sebagian warga pasrah, karena uang ganti rugi tak cukup untuk membeli tanah dan membangun rumah di tempat yang baru. Ali Rachmat, misalnya, warga Kecamatan Jatigede, yang perkampungannya bakal tergenang, menuturkan, dana ganti rugi untuk 3 hektar tanah milik keluarga, sekitar Rp 25 juta, sudah dibagikan kepada lima anggota keluarga besarnya. Foto: print.kompas.com

Sekolah Pengganti Tergantung Permintaan

Setelah ditelusuri lebih detail, ada sedikit rasa lega, seusai mencermati pernyataan H. Eem Hendrawan, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumedang, di Islamic Center Sumedang, pada Jumat (21/8/2015), yang kemudian dilansir pikiran-rakyat.com, pada hari yang sama, 21 Agustus 2015 l 17:45 WIB[8]. Rupanya, ada 1 SMP dan 21 SD di daerah genangan Waduk Jatigede. Murid-murid sekolah tersebut disebar ke berbagai sekolah di kawasan Sumedang. Contohnya, ada 43 siswa SMP di daerah genangan Waduk Jatigede, yang untuk sementara dipindahkan dan ditampung di SMP Negeri 1 Sumedang.

Begitu pula dengan para siswa SD, sebagian sudah ada yang pindah sementara dan disebar ke beberapa sekolah di luar genangan. Hingga Jumat (21/8/2015) tersebut, sebagaimana dikemukakan Eem Hendrawan, proses pemindahan, penyebaran, dan penampungan sementara anak-anak didik itu, masih terus berjalan. Jika di sekolah yang menjadi tampungan sementara itu jumlah siswanya melebihi kapasitas ruangan, menurut Eem Hendrawan, Dinas Dikbud akan membantunya dengan membangun ruang kelas baru (RKB). Jika ada aspirasi dari warga yang terdampak, yang ingin membangun sekolah baru di tempat relokasi yang baru, Dikbud akan mendirikan sekolah baru.

Upaya Dinas Dikbud tersebut, tentulah patut kita apresiasi, meski sesungguhnya pemindahan, penyebaran, dan penampungan sementara anak-anak didik itu, terasa janggal. Jika jauh-jauh hari sudah dilakukan pendataan yang sungguh-sungguh, tentu sudah akan diketahui, di sekolah mana saja yang perlu dibangunkan ruang kelas baru. Dengan demikian, jauh-jauh hari, ruang kelas baru yang dibutuhkan itu sudah siap, sebelum anak-anak didik dipindahkan. Bahkan mungkin tidak perlu kelas baru, karena pendataan yang sistematis dan komprehensif, akan membantu proses penyebaran.

Demikian pula halnya dengan penyediaan sekolah pengganti. Bukankah warga sudah mulai menerima pembayaran ganti rugi sejak tahun 1980-an, seiring dengan dimulainya pembangunan Waduk Jatigede? Bukankah sebelumnya semua bangunan sekolah di sana sudah dibebaskan oleh pemerintah pusat? Apakah pemerintah Sumedang tidak memiliki inisiatif untuk menata sarana dan prasarana pendidikan bagi mereka yang terdampak pembangunan waduk? Bagaimana sesungguhnya tata-kelola pendidikan di Sumedang?

Data berikut ini mungkin bisa menambah pemahaman kita tentang dunia pendidikan di Kabupaten Sumedang. Tahun 2014, misalnya, lulusan SD di Kabupaten Sumedang tercatat 19.423 orang, sedangkan yang melanjutkan ke SMP (negeri dan swasta) maupun ke MTs, tercatat 16.375 siswa. Ke mana 3.000 siswa lulusan SD tersebut?[9] Eem Hendrawan sampai memerintahkan kepala SMP yang masih kekurangan murid, untuk menyisir pemukiman penduduk, bekerja sama dengan kepala desa, Ketua RW dan RT, untuk mencari siswa lulusan SD, agar melanjutkan sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun