Salah satu Sekolah Dasar di area genangan Waduk Jatigede. Beberapa murid dan guru menikmati hari-hari terakhir menempati bangunan tersebut. Foto kanan, meski berusaha tegar, Dedeh Kurniasih (38), warga Desa Cipaku, Darmaraja, Kabupaten Sumedang, tetap tak mampu menahan tangis, saat menuturkan kegelisahan warga menjelang penggenangan Waduk Jatigede. Ia menuturkan kegelisahan tersebut kepada publik di Hutan Kota Babakan Siliwangi, Bandung, Jawa Barat, pada Selasa (25/8/2015). Foto: print.kompas.com
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
31 Agustus 2015 ini, Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, akan digenangi. Selain rumah warga dan bangunan lain, ada 22 Sekolah Dasar (SD) yang akan ikut tenggelam. Sekolah pengganti belum disiapkan[1]. Di mana 1.733 anak bangsa itu akan belajar?[2]
Kita tahu, Waduk Jatigede itu penting untuk pengairan, demi ketahanan pangan[3]. Tapi, kita juga menyadari bahwa pendidikan adalah juga hal yang tak kalah pentingnya, demi ketahanan bangsa, dalam konteks kualitas sumber daya manusia. Agak aneh kedengarannya, bila sekolah pengganti belum disiapkan, padahal tinggal beberapa hari lagi waduk tersebut digenangi. Barangkali, pihak berwenang alpa, bahwa setelah waduk digenangi air, ada 1.733 anak-anak kita, yang masih duduk di bangku SD, yang membutuhkan ruang kelas untuk belajar. Apakah 22 bangunan SD di sana, tidak menjadi bagian yang diperhitungkan dalam perencanaan waduk tersebut?
Masuk Sekolah Saja Dulu
Ada rasa risau, setelah mencermati pernyataan Kepala Bagian Humas dan Protokol Pemerintah Kabupaten Sumedang, Asep Tatang, di print.kompas.com, pada Kamis, 27 Agustus 2015[4]. Ia sama sekali tidak menyebutkan adanya sekolah pengganti untuk 22 SD yang bakal ditenggelamkan tersebut. Ia juga tidak menyebutkan adanya panitia yang akan mengoordinir anak-anak kita itu, agar proses belajar mereka tidak terganggu. Ini setidaknya merupakan indikasi bahwa urusan sekolah dan urusan pendidikan, memang bukan bagian yang diperhitungkan dalam pembangunan waduk tersebut.
”Warga terdampak yang ingin menyekolahkan anak mereka di wilayah Sumedang silakan saja, dan sebaiknya masuk sekolah saja dulu, lalu baru diatur lebih lanjut," ujar Asep Tatang, sebagaimana dikutip print.kompas.com tersebut. Alangkah entengnya Asep Tatang bicara. Sebagai Kepala Bagian Humas dan Protokol Pemerintah Kabupaten Sumedang, pernyataan tersebut tentulah kurang elok untuk didengar. Apalagi bila mengingat, di Kabupaten Sumedang, tepatnya di Jatinangor, berdiri kokoh kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)[5], lembaga pendidikan yang mengajarkan tata-kelola pemerintahan.
Di saat berbagai kota dan kabupaten di tanah air berlomba-lomba memberi perhatian lebih pada sektor pendidikan, kenapa Kabupaten Sumedang justru terkesan membiarkan anak-anak terdampak Waduk Jatigede? Bukankah sepatutnya jauh-jauh hari sebelumnya, murid-murid di sana didata dengan seksama, untuk kemudian, misalnya, disalurkan ke sekolah-sekolah terdekat? Lagi pula, kenapa ya Kabupaten Sumedang tidak memperjuangkan adanya sekolah pengganti, untuk anak-anak bangsa tersebut?
Memperjuangkan? Mungkin terasa berlebihan, sebuah kabupaten memperjuangkan sesuatu pada proyek nasional sekelas Waduk Jatigede. Tapi, demi kepentingan pendidikan, demi anak-anak bangsa bisa belajar sebagaimana mestinya, kenapa tidak? Kita tahu, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco) mencatat, tiap tahun, ada 1,8 juta anak-anak kita yang putus sekolah. Bila dirinci lebih detail, tiap menit, ada 4 pelajar putus sekolah[6]. Apakah kita akan menambah panjang deretan angka putus sekolah tersebut?
Tidak Hafal Data Pendidikan
Sikap dan perlakuan Kabupaten Sumedang terhadap anak-anak didik, sebagaimana tercermin dari pernyataan Asep Tatang di atas, mengingatkan kita pada isi sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan[7], dalam seminar Penguatan Ekonomi Nasional Melalui Peningkatan Kualitas Manusia di Jakarta, pada Kamis (20/8/2015). "Pemerintah daerah, fasih dalam data jumlah sumber daya alam (SDA), tetapi tidak hafal data pendidikan, seperti jumlah sekolah, murid, dan guru," ujar Anies Baswedan di seminar tersebut.
Anies Baswedan barangkali tidak bermaksud menohok sikap dan perilaku pemerintah daerah. Tapi, sebagai pendidik, ia sesungguhnya hendak menggugah kita, pemerintah daerah dan masyarakat, bahwa kita tidak bisa bergantung pada SDA. Jumlah SDA yang tersedia dan yang masih tersisa, sangat sedikit bila dibagi dengan 250 juta penduduk Indonesia. Di samping itu, SDA tersebut tidak akan berarti apa-apa, bila tidak dikelola oleh manusia yang berkualitas. Dengan kata lain, aset terbesar bangsa Indonesia adalah manusia, manusia Indonesia, dari generasi ke generasi.
Karena itulah, kesadaran akan pendidikan, sudah seharusnya ditanamkan sejak awal kepada generasi penerus. Melalui pendidikan, anak-anak berproses mengasah rasa dan pikir serta menemukan berbagai potensi yang dimilikinya. Proses pendidikan tersebut sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas dirinya, tahap demi tahap. Memang, sekolah bukan satu-satunya cara untuk menjalani proses pendidikan. Tapi, sebagaimana kita tahu, sekolah adalah jalur pendidikan yang relatif terjangkau oleh sebagian besar masyarakat kita.
Ada poin lain yang digambarkan Anies Baswedan dalam seminar tersebut: dari 120 juta tenaga kerja di Indonesia, 78 juta berpendidikan SMP ke bawah. Padahal, kualitas SD dan SMP tidak merata dan belum memenuhi harapan. Semua itu merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, dalam konteks meningkatkan kualitas sumber daya manusia bangsa ini. Maka, alangkah kurang sensitifnya, sikap dan perlakuan Kabupaten Sumedang terhadap anak-anak didik yang terdampak pembangunan Waduk Jatigede tersebut.
Sekolah Pengganti Tergantung Permintaan
Setelah ditelusuri lebih detail, ada sedikit rasa lega, seusai mencermati pernyataan H. Eem Hendrawan, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumedang, di Islamic Center Sumedang, pada Jumat (21/8/2015), yang kemudian dilansir pikiran-rakyat.com, pada hari yang sama, 21 Agustus 2015 l 17:45 WIB[8]. Rupanya, ada 1 SMP dan 21 SD di daerah genangan Waduk Jatigede. Murid-murid sekolah tersebut disebar ke berbagai sekolah di kawasan Sumedang. Contohnya, ada 43 siswa SMP di daerah genangan Waduk Jatigede, yang untuk sementara dipindahkan dan ditampung di SMP Negeri 1 Sumedang.
Begitu pula dengan para siswa SD, sebagian sudah ada yang pindah sementara dan disebar ke beberapa sekolah di luar genangan. Hingga Jumat (21/8/2015) tersebut, sebagaimana dikemukakan Eem Hendrawan, proses pemindahan, penyebaran, dan penampungan sementara anak-anak didik itu, masih terus berjalan. Jika di sekolah yang menjadi tampungan sementara itu jumlah siswanya melebihi kapasitas ruangan, menurut Eem Hendrawan, Dinas Dikbud akan membantunya dengan membangun ruang kelas baru (RKB). Jika ada aspirasi dari warga yang terdampak, yang ingin membangun sekolah baru di tempat relokasi yang baru, Dikbud akan mendirikan sekolah baru.
Upaya Dinas Dikbud tersebut, tentulah patut kita apresiasi, meski sesungguhnya pemindahan, penyebaran, dan penampungan sementara anak-anak didik itu, terasa janggal. Jika jauh-jauh hari sudah dilakukan pendataan yang sungguh-sungguh, tentu sudah akan diketahui, di sekolah mana saja yang perlu dibangunkan ruang kelas baru. Dengan demikian, jauh-jauh hari, ruang kelas baru yang dibutuhkan itu sudah siap, sebelum anak-anak didik dipindahkan. Bahkan mungkin tidak perlu kelas baru, karena pendataan yang sistematis dan komprehensif, akan membantu proses penyebaran.
Demikian pula halnya dengan penyediaan sekolah pengganti. Bukankah warga sudah mulai menerima pembayaran ganti rugi sejak tahun 1980-an, seiring dengan dimulainya pembangunan Waduk Jatigede? Bukankah sebelumnya semua bangunan sekolah di sana sudah dibebaskan oleh pemerintah pusat? Apakah pemerintah Sumedang tidak memiliki inisiatif untuk menata sarana dan prasarana pendidikan bagi mereka yang terdampak pembangunan waduk? Bagaimana sesungguhnya tata-kelola pendidikan di Sumedang?
Data berikut ini mungkin bisa menambah pemahaman kita tentang dunia pendidikan di Kabupaten Sumedang. Tahun 2014, misalnya, lulusan SD di Kabupaten Sumedang tercatat 19.423 orang, sedangkan yang melanjutkan ke SMP (negeri dan swasta) maupun ke MTs, tercatat 16.375 siswa. Ke mana 3.000 siswa lulusan SD tersebut?[9] Eem Hendrawan sampai memerintahkan kepala SMP yang masih kekurangan murid, untuk menyisir pemukiman penduduk, bekerja sama dengan kepala desa, Ketua RW dan RT, untuk mencari siswa lulusan SD, agar melanjutkan sekolah.
Kabupaten Sumedang barangkali hanya salah satu contoh, yang menggambarkan tingkat kesadaran pendidikan masyarakat kita. Juga, menjadi contoh gambaran sikap serta perilaku pihak berwenang di daerah dalam menangani bidang pendidikan. Kondisi ini tentulah membuat kita prihatin, apalagi bila dikorelasikan dengan gambaran yang dikemukakan Anies Baswedan di atas: dari 120 juta tenaga kerja di Indonesia, 78 juta berpendidikan SMP ke bawah.
Jakarta, 28 Agustus 2015
----------------------------
Dua Proklamator kita, Soekarno-Hatta, sejak awal sudah menanamkan nilai-nilai tentang pentingnya pendidikan. Mereka juga telah menanam fondasi tentang kesadaran pendidikan bagi bangsa ini.
Petani memahami tanah sebagai sumber kehidupan. Mereka adalah pekerja yang ulet, yang mengenal betul apa artinya pergantian musim. Mereka sepenuhnya belajar dari alam.
--------------------------
[1] Pemerintah Tak Siapkan Sekolah Pengganti bagi 1.733 Siswa SD di Waduk Jatigede. Komisi Perlindungan Anak Indonesia menelusuri dugaan adanya pelanggaran hak asasi manusia dalam penanganan dampak sosial penggenangan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Ini terkait anak-anak atau pelajar yang terancam tidak mendapatkan akses pendidikan pasca penggenangan. Selengkapnya, silakan baca Pelanggaran HAM Ditelusuri, yang dilansir print.kompas.com, pada Kamis | 27 Agustus 2015.
[2] Cipaku merupakan salah satu desa yang akan diprioritaskan pertama untuk digenangi di Waduk Jatigede, yang direncanakan pada 31 Agustus 2015. Di desa tersebut terdapat dua sekolah dasar, yakni SD Negeri Sadang dan SDN Cipaku, dengan jumlah siswa sekitar 200 anak. "Namun, warga di sini sampai sekarang masih bingung, anak-anak mereka nanti mau sekolah di mana, karena pemerintah tidak menyediakan sekolah pengganti," kata Kepala Desa Cipaku, Didi Nurhadi, pada Rabu (26/8/2015), di Sumedang. Selengkapnya, silakan baca Terdampak Penggenangan Waduk Jatigede, Pelajar di Desa Cipaku Diharapkan Tidak Putus Sekolah, yang dilansir print.kompas.com, pada Rabu Siang | 26 Agustus 2015 l 14:24 WIB.
[3] Waduk Jatigede berada di lahan seluas 5 hektar, di lima kecamatan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Waduk itu diproyeksikan untuk mengairi 90.000 hektar sawah produktif di kawasan pantura dan mampu menampung 980 juta meter kubik air.
[4] Selengkapnya, silakan baca Pelanggaran HAM Ditelusuri, yang dilansir print.kompas.com, pada Kamis | 27 Agustus 2015.
[5] Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) adalah salah satu Lembaga Pendidikan Tinggi Kedinasan dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, yang bertujuan mempersiapkan kader pemerintah, baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Pada 10 Oktober 2007, dalam sebuah sidang kabinet, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan untuk menggabungkan STPDN dengan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) menjadi IPDN.
[6] Setiap tahun sekira 1,8 juta anak Indonesia putus sekolah. Amanat UUD 1945 belum sepenuhnya dilakukan pemerintah, meski sudah 70 tahun negara ini merdeka. Selengkapnya, silakan baca 1,8 Juta Anak Putus Sekolah Setiap Tahun, yang dilansir okezone.com, pada Sabtu l 2 Mei 2015 l 14:03 WIB.
[7] Permasalahan terbesar dalam pembangunan manusia Indonesia adalah rendahnya kesadaran pendidikan. Itu merupakan inti pokok seminar tersebut. Yang menjadi pembicara adalah Rektor Universitas Paramadina, Firmanzah, Direktur Freedom Institute, Nirwan Arsuka, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat, dan arkeolog Universitas Indonesia, Ali Akbar. Selengkapnya, silakan baca Manusia Indonesia Belum Dianggap sebagai Aset, yang dilansir print.kompas.com, pada Kamis Siang | 20 Agustus 2015 l 16:41 WIB.
[8] Pemindahan para siswa SD dan SMP di daerah genangan pembangunan Waduk Jatigede, disesuaikan dengan arah dan minat. Selengkapnya, silakan baca Pemindahan Sekolah di Jatigede Disesuaikan dengan Minat Masyarakat, yang dilansir pikiran-rakyat.com, pada Jumat l 21 Agustus 2015 l 17:45 WIB.
[9] Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Sumedang akan melakukan penyisiran ke desa-desa, supaya semua lulusan SD melanjutkan sekolah. Ini terkait dengan wajib belajar di Sumedang, yang sudah ingin melangkah ke wajar dikdas (wajib belajar pendidikan dasar) 12 tahun. Selengkapnya, silakan baca Ribuan Siswa SD Tidak Melanjutkan Sekolah, yang dilansir kabarsumedang.com, pada Kamis 3 Juli 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H