Dengan butir kesepakatan Menteri-menteri Ekonomi Association of South East Asian Nations (ASEAN) untuk fokus pada UKM, sesungguhnya ini kesempatan yang baik bagi kebangkitan ekonomi kerakyatan di Indonesia. Daya beli masyarakat bisa tumbuh, jumlah pengangguran bisa berkurang. Apalagi, menurut Ketua Dewan Pertimbangan Kadin DKI, Dhaniswara K. Harjono, pada Kamis (25/9/2014), jumlah UKM di Indonesia adalah yang paling banyak dibanding jumlah UKM di negara-negara lain[4].
Sayangnya, jumlah yang banyak tersebut, tidak dibarengi dengan kualitas yang sepadan. Ini salah satunya karena kualitas sumber daya manusia. Menurut pengamat ekonomi, Hendri Saparini, di Balai Kartini, Jakarta Selatan, pada Selasa (13/8/2014), sekitar 51 persen tenaga kerja di usaha kecil menengah, pendidikan mereka rata-rata Sekolah Dasar[5]. Faktor tersebut tentulah turut berpengaruh pada kesiapan mereka menghadapi perkembangan teknologi. Baik teknologi produksi maupun teknologi pemasaran.
Realitas yang serupa juga terungkap setahun kemudian, dalam acara Google Bisnis di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, pada Kamis (20/8/2015)[6]. Lebih dari 36 persen pelaku UKM, masih berbisnis secara offline saja. Sementara, 37 persen lainnya, hanya memiliki kemampuan online tingkat dasar. Hanya 18 persen pelaku UKM yang memanfaatkan akses online, seperti media sosial dan situs web. Dalam konteks ASEAN yang hendak fokus pada UKM, kendala sumber daya manusia di atas, merupakan komponen yang urgent untuk dibenahi.
Dengan kata lain, pembinaan, pelatihan, dan pendampingan terhadap pelaku UKM kita, sudah sepatutnya menjadi skala prioritas. Keterbatasan pengetahuan, sedikit-banyaknya, akan berpengaruh pada kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Baik inovasi untuk menciptakan produk baru, inovasi pada proses produksi, juga inovasi dalam hal menjangkau konsumen. Rangkaian inovasi tersebut, menjadi salah satu tolok ukur dalam hal daya saing. Artinya, pembinaan, pelatihan, dan pendampingan haruslah tepat sasaran serta terukur bagi peningkatan kualitas pelaku UKM yang bersangkutan.
Daya Saing, Realitas UKM
Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengemukakan, daya saing UKM Indonesia masih sangat rendah, hanya sekitar 3,5 dari skor 1-10, dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Itulah realitas yang tak terelakkan. Ini jelas merupakan tantangan yang tidak ringan menghadapi pelaku UKM dari berbagai negara ASEAN. Apalagi bila mengingat, semua negara ASEAN akan fokus mengelola pelaku UKM di negara masing-masing, menyambut pasar bebas regional.
Dalam Microfinance Forum 2015 di Jakarta, pada Rabu (11/3/2015), terungkap bahwa pelaku UKM dari Singapura, sudah melakukan penelusuran ke berbagai pelosok tanah air. Mereka mencermati berbagai situasi-kondisi di negeri kita untuk menemukan kemungkinan dan peluang bisnis. Staf Ahli Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Destry Damayanti[7], pada kesempatan tersebut, menuturkan, Singapura sudah bawa masuk 30 pengusaha kecil mereka, untuk stay di Nusa Tenggara Timur, dalam tempo beberapa bulan. Mereka mencari, peluang apa yang bisa dikembangkan.
Itu hanya salah satu contoh yang bisa kita deteksi. Barangkali, sudah banyak aktivitas yang dilakukan negara tetangga kita di sini, dalam konteks menyiapkan pelaku UKM mereka. Boleh jadi, mereka sudah pada tahap research & development, sementara kita masih berkutat membenahi kondisi sumber daya manusia yang ada. Kita memang sudah tertinggal, dibandingkan mereka. Itulah realitasnya. Namun, hal itu bukan alasan untuk menyurutkan langkah, menghadapi pasar bebas regional.
Karena, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan efektif berlaku mulai akhir tahun 2015 ini. Berbagai sektor industri, bukan hanya pelaku UKM, akan berhadapan dengan model kompetisi yang berbeda dibandingkan dengan saat ini. Sejumlah profesi, juga akan berhadapan dengan tantangan persaingan, yang tak kalah sengitnya. Dunia sudah berubah, jauh berubah. Mekanisme proteksi, sudah sangat terasa jadul.
Jakarta, 25 Agustus 2015