Buku ini ditulis secara keroyokan oleh 30 penulis, yang selama ini aktif menulis di Kompasiana. Thamrin Sonata merupakan inisiator sekaligus editor dari buku tersebut. Ini adalah buku ke-17 yang diterbitkan Kompasianer Peniti Community (KPC), yang sejak tahun 2013 mewadahi para Kompasianer yang hendak menerbitkan buku. Pepih Nugraha, selaku COO Kompasiana, men-support penerbitan buku ini, sebagai upaya memajukan dunia literasi Indonesia. Foto: koleksi thamrin sonata
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Selasa l 25 Agustus 2015 l 15.30 WIB. Buku Refleksi 70 Tahun Indonesia ini, akan dibedah rame-rame di Gedung Kompas Gramedia, Lantai 6, Ruang Studio, Jalan Palmerah Barat, Jakarta Barat. Acara ini free of charge, silakan konfirmasi kehadiran ke Thamrin Sonata[1] melalui e-mail thamrin_sonata@yahoo.com, bila berminat.
Thamrin Sonata merupakan inisiator, editor, sekaligus penerbit buku ini, dengan institusi Peniti Media[2], yang telah bermetamorphosis menjadi Kompasianer Peniti Community (KPC). Ini adalah penerbit independen yang dikelola oleh Pak TS, demikian sapaan akrab Thamrin Sonata. Dimulai dengan menerbitkan buku 36 Kompasianer Merajut Indonesia pada tahun 2013, Pak TS gencar menjadi provokator di Kompasiana. Ia mengajak, bahkan lebih sering mendorong, para Kompasianer untuk menerbitkan buku. Pepih Nugraha[3], selaku COO Kompasiana, juga senantiasa men-support, sebagai upaya memajukan dunia literasi Indonesia. Menjelang Kompasianival 2014 lalu, Pak TS sukses mencegat Tjiptadinata Effendi[4], dengan menerbitkan sejumlah tulisan Pak Tjip menjadi buku Beranda Rasa. Tiba di Jakarta dari Wollongong, kota terbesar ketiga di negara bagian New South Wales, Australia, Pak Tjip bukan hanya disalami, tapi langsung disuguhi buku tersebut.
Pak Tjip dan Pak TS Penuh Kejutan
Pak Tjip dan Pak TS memang selalu penuh kejutan. Misalnya, ketika pada Kamis l 20 Agustus 2015 l 08:21:11 WIB, Pak TS memposting tulisan Bedah Buku Baru Kompasianer, Yuk Daftar Jadi Pesertanya! di Kompasiana, Pak Tjip menulis di kolom komentar: Kompasiana beruntung memiliki life investment[5] seperti Pak Thamrin Sonata. Berkat motivasi Pak Thamrin, saya yang semula sama sekali tidak terpikir untuk menerbitkan buku, ternyata bisa memiliki buku Beranda Rasa. Istri saya, Roselina Tjiptadinata, juga sudah menerbitkan buku Penjaga Rasa. Semua itu berkat Pak Thamrin Sonata. Salam dari Malaysia.
Komentar Pak Tjip di atas, saya edit sebagian, untuk kebutuhan tulisan ini. Dari komentar Pak Tjip tersebut, juga dari demikian banyak tulisan Pak Tjip di Kompasiana, kita tahu bahwa sesungguhnya Pak Tjip dan Pak TS setali tiga uang: mereka berdua life investment. Kejutan yang mereka suguhkan kepada kita adalah kejutan yang penuh inspirasi, yang menggugah kita untuk terus dan terus berkarya. Pak Tjip, melalui tulisan jelajah dunia, bukan hanya mengajak kita ke berbagai tempat wisata yang menakjubkan, tapi Pak Tjip tiada henti memotivasi spirit of life kita.
Bagi kita, setidaknya bagi saya, Pak Tjip dan Pak TS adalah ruang yang lapang, tempat banyak orang bisa belajar dengan leluasa. Mereka juga mata air yang nyaris tak pernah kering, yang menyirami nurani kita dengan makna kehidupan yang sesungguhnya. Apa yang dilakukan Pak TS, dengan menerbitkan 36 Kompasianer Merajut Indonesia pada tahun 2013, 25 Kompasianer Perempuan: Merawat Indonesia tahun 2014, dan Pancasila: Rumah Kita Bersama tahun 2014, sesungguhnya adalah kerja lahir-batin, demi membangkitkan kesadaran kita dalam berbangsa dan bernegara.
Pak Tjip dan Pak TS bukan aparat pemerintah yang secara organik berada di lembaga negara. Mereka adalah Kompasianer, warga biasa. Tapi, mereka telah dengan sepenuh hati menggugah kita, memotivasi kita, melalui langkah-langkah yang sungguh inspiratif. Di tengah silang-sengketa, di antara berhamburannya intrik, juga sebaran praduga yang merajalela, Pak Tjip mewanti-wanti kita dengan Jangan Biarkan Pikiran Negatif Merampok Diri Kita, yang ia posting pada Rabu l 05 Agustus 2015 l 00:53:31 WIB. Itulah wanti-wanti ala Pak Tjip. Dengan kata lain, Pak Tjip dan Pak TS setali tiga uang: mereka berdua life investment.
Indonesia dari Pinggiran, dari Daerah
Pada Selasa l 25 Agustus 2015 l 15.30 WIB tersebut, selain membedah buku Refleksi 70 Tahun Indonesia, juga akan dibedah buku Catatan Kecil Perjalanan PNPM-MPd, yang merupakan karya perseorangan, Iskandar Zulkarnain[6], yang tentu saja juga seorang Kompasianer. Dalam konteks memperingati hari-hari Proklamasi Kemerdekaan ke-70 tahun, secara content, kedua buku tersebut sesungguhnya berkelindan, saling kait-mengait, saling melengkapi. Bukankah dalam kekinian, gerakan membangun Indonesia, dimulai dari daerah?
Mulai tahun 2016, Presiden Joko Widodo menjanjikan perubahan politik anggaran. Dana Desa menjadi Rp 47 triliun[7]. Dengan kata lain, pendulum anggaran negara, mulai bergeser dari pusat ke daerah. Artinya, pada tahun depan, anggaran negara akan lebih berorientasi ke daerah. Tidak saja berupa peningkatan alokasi dana transfer, tetapi strukturnya juga diubah. Hal itu ditujukan agar lebih mendorong pembangunan desa dan daerah. Dalam kata-kata Joko Widodo, membangun Indonesia dari pinggiran, dari daerah dan desa.
Maka, sejumlah tulisan Iskandar Zulkarnain dalam Catatan Kecil Perjalanan PNPM-MPd tersebut, menjadi bagian dari upaya kita untuk memahami berbagai realitas di daerah. Karena, ia terlibat langsung dengan masyarakat setempat. Ia mencerna segenap aspirasi masyarakat daerah. Kemudian, ia menuliskannya untuk kita. Sebagai orang lapangan, yang berkecimpung dengan aktivitas masyarakat di pedesaan, Iskandar Zulkarnain selama ini telah menjadi mata dan telinga Kompasiana dalam menyerap dinamika pedesaan yang sesungguhnya.
Kita tahu, ada 74.093 desa di seluruh Indonesia. Agar dana desa yang telah digulirkan pemerintah benar-benar bermanfaat bagi desa, pemerintah mengerahkan 12.000 orang sebagai pendamping dana desa. Mereka ini sebelumnya adalah pendamping Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, yang disingkat PNPM Mandiri[8]. Mereka inilah yang bertugas mendampingi penggunaan dana desa dan membantu menyusun pelaporan dana desa. Dari Iskandar Zulkarnain, melalui berbagai tulisannya, kita sesungguhnya sedang memahami Indonesia dari pinggiran, dari daerah dan desa.
Buku Keroyokan, Buku Perseorangan
Menerbitkan buku keroyokan dan buku perseorangan adalah bagian dari dedikasi Kompasianer Peniti Community (KPC) untuk mewadahi keragaman ekspresi para Kompasianer. Pada buku keroyokan Refleksi 70 Tahun Indonesia, misalnya. Karena penulisnya berasal dari berbagai disiplin ilmu, beragam profesi, dan malah sebagian bermukim di berbagai negara di dunia, maka pemaknaan mereka tentang 70 Tahun Indonesia, tentulah colour full. Melalui buku ini, mereka berupaya menginspirasi pembaca, sebagai bagian dari langkah untuk merawat rasa kebangsaan kita.
Pada buku perseorangan Catatan Kecil Perjalanan PNPM-MPd dari Iskandar Zulkarnain, misalnya, juga tidak kalah colour full. Tiap desa memiliki dinamikanya sendiri. Tiap aktivitas juga merefleksikan spirit keindonesiaan yang mengesankan. Dalam konteks perseorangan, keragaman serta kedalaman materi dari sejumlah tulisan Iskandar Zulkarnain, relatif memadai untuk disatukan menjadi sebuah buku. Ini salah satu dari buku perseorangan yang sudah diterbitkan Kompasianer Peniti Community (KPC), di samping buku Beranda Rasa Pak Tjip dan Penjaga Rasa Bu Tjip.
Dalam konteks penerbitan buku, keroyokan maupun perseorangan, memiliki dinamika tersendiri bagi Thamrin Sonata, yang mengelola KPC secara day to day. Dengan rasa humornya yang tinggi dan semangatnya untuk membangun kebersamaan yang meluap-luap, segala bentuk galau bisa ia sisihkan, hingga ia tetap leluasa mengedepankan kreativitas. Urusan pribadi, kesibukan berkomunitas, dan kelanggengan berkarya, masing-masing punya slot. Tidak bercampur-baur.
Okelah, kita tentu menyadari, masih banyak hal yang harus dibenahi di negeri ini. Bukan hanya oleh penyelenggara negara, tapi juga oleh kita sebagai warga negara. Inspirasi dari 30 penulis dalam buku tersebut, mungkin tidak cukup untuk merangkum, betapa luar biasa sesungguhnya tanah kelahiran kita. Demikian juga dengan catatan perseorangan Iskandar Zulkarnain. Meski semua itu belum sebanding dengan perjuangan dan pengorbanan para pendahulu, setidaknya mereka telah berupaya menggugah kita untuk merawat Indonesia, secara bersama-sama.
Jakarta, 24 Agustus 2015
----------------------------
Pak Tjip adalah kita dan Bu Tjip bagian dari kita. Thamrin Sonata menyatukan mereka dalam buku: Beranda Rasa dan Penjaga Rasa.
Bila kita sungguh-sungguh mencermati apa yang dituliskan Pak Tjip dari hari ke hari, kita paham life investment yang dimaksud Pak Tjip.
Pepih Nugraha, di Kompasiana Community Gathering, bilang, ”Jaman sekarang, jika tak bergabung dalam komunitas, ke laut aja deh.”
--------------------------
[1] Thamrin Sonata lahir di Pemalang, Jawa Tengah. Ia menjadi Kompasianer sejak 22 September 2012. Di lingkungan Kompas-Gramedia, ia bukanlah orang baru. Di rentang tahun 1980-1990, Thamrin Sonata malang-melintang menulis di Majalah Hai, Tabloid Nova, dan Tabloid Monitor. Selain sebagai wartawan, ia juga aktif menulis fiksi. Di media audio visual, ia juga menjadi bagian dari Kabar-Kabari, perintis program entertainment di televisi. Di urusan penerbitan buku, Thamrin Sonata termasuk kategori gerilyawan, bergerilya ke mana-mana. Salah satu bukunya, Tragedi Semanggi 1998, dengan Kata Pengantar oleh Amien Rais.
[2] Peniti Media adalah penerbit indie, yang dirintis Thamrin Sonata, sejak tahun 1998. Selain menerbitkan karyanya sendiri, penerbit ini juga menerbitkan karya orang lain. Bersamaan dengan dinamika di Kompasiana, pada Kompasianival 2014, Pepih Nugraha merekomendasikan Peniti Community sebagai salah satu komunitas untuk menempati stand di event tersebut. Kemudian, sebagai salah satu komunitas di Kompasiana, nama kerennya menjadi Kompasianer Peniti Community, yang disingkat KPC.
[3] Pepih Nugraha bergabung dengan Harian Kompas, sejak tahun 1990. Pada tahun 2008, ia ditugaskan untuk merintis Kompasiana, yang kemudian menjadi wadah bagi para penulis, para blogger. Nama Kompasiana dicetuskan oleh Budiarto Shambazy, wartawan senior Kompas. Nama Kompasiana pada awalnya merupakan rubrik di Harian Kompas, yang diisi oleh PK Ojong, pendiri Kompas. Saat ini, tercatat sekitar 300.000 penulis di Kompasiana. Sehari-hari Pepih Nugraha akrab disapa Kang Pepih. Para penulis di Kompasiana menamakan dan menyebut diri Kompasianer.
[4] Tjiptadinata Effendi aktif menulis di Kompasiana. Saking aktif dan produktifnya menulis, ia dinobatkan sebagai Kompasianer of The Year tahun 2014. Sebagian tulisannya sudah diterbitkan sebagai buku. Semasa kanak-kanak, namanya Kim Liong. Namun, dalam surat-surat resmi, termasuk Ijazah, Passport, dan Surat Izin Mengemudi (SIM), namanya Tjiptadinata Effendi. Ia berasal dari Padang, Sumatera Barat. Semasa remaja, ia sekolah di SMA Don Bosco, Padang, yang berdekatan dengan Museum Adityawarman dan tak berapa jauh dari Pusat Kesenian Padang (Taman Budaya Padang). Istrinya, Roselina Tjiptadinata, juga aktif menulis di Kompasiana. Sang istri adalah adik kelasnya di SMA Don Bosco. Kini, Tjiptadinata Effendi bermukim di Wollongong, kota terbesar ketiga di negara bagian New South Wales, Australia, setelah Sydney dan Newcastle. Wollongong berada sekitar 80 kilometer sebelah selatan Sydney.
[5] Life Investment sesungguhnya adalah dua suku kata yang bermakna sangat dalam. Secara bebas, kita bisa memahaminya sebagai investasi kehidupan atau menginvestasikan diri dalam kehidupan. Berbuat dalam konteks life investment, tidaklah mudah, di tengah kuatnya dominasi materi dan komersialisasi saat ini. Meski tidak mudah, tapi bukan tidak ada orang-orang di sekitar kita, yang dengan tulus-ikhlas telah berbuat untuk dan demi kepentingan orang banyak.
[6] Iskandar Zulkarnain adalah sosok dengan latar belakang pendidikan Teknik Sipil. Ia cukup lama terlibat di urusan pembangunan gedung-gedung bertingkat di berbagai kota di tanah air. Sejak awal tahun 80-an, ia mulai nyemplung ke dunia tulis-menulis. Pernah bekerja sebagai wartawan di Harian Terbit dan Harian Pelita, keduanya di Jakarta. Pernah pula aktif menulis kolom di Harian Waspada, yang terbit di Medan, Sumatera Utara. Bersamaan dengan itu, Iskandar Zulkarnain banyak terlibat di berbagai aktivitas sosial-kemasyarakatan, sebagai bagian dari panggilan jiwanya.
[7] Presiden Joko Widodo menyampaikan hal tersebut dalam pidato RAPBN 2016 dan nota keuangan, pada Sidang Paripurna DPR di Jakarta, Jumat (14/8/2015). Sidang paripurna itu dihadiri para menteri Kabinet Kerja. Selengkapnya, silakan baca Pendulum Anggaran Mulai ke Daerah, Dana Desa Rp 47 Triliun, yang dilansir print.kompas.com, pada Sabtu | 15 Agustus 2015.
[8] Satu orang pendamping desa, akan mendampingi 6-7 desa. Hal itu dikemukakan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Marwan Jafar, dalam acara peluncuran 12.000 pendamping desa, pada Kamis (2/7/2015), di Jakarta. Selengkapnya, silakan baca Sebanyak 12.000 Orang Akan Dampingi Desa, yang dilansir print.kompas.com, pada Jumat | 3 Juli 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H