Soekarno menekuni bidang studi teknik, khususnya teknik sipil. Namun, ia tak membiarkan dirinya hanya terpaku pada bidang tersebut. Ia juga mengembangkan minatnya pada bidang seni. Bukan hanya menjadi kolektor lukisan semata, Soekarno bahkan juga melukis dalam artian yang sesungguhnya. Soekarno juga menulis naskah seni pertunjukan[4]. Demikian pula halnya dengan seni patung. Hampir semua ide monumen besar di Jakarta, berasal dari gagasan Bung Karno. Mulai dari Monumen Nasional, Tugu Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, dan beberapa lainnya.
Secara jelas dan nyata, Soekarno telah memberi contoh kepada kita, bahwa kita memang sudah seharusnya mengeksplorasi potensi diri kita dengan sungguh-sungguh. Tak hanya berkutat dengan bidang studi yang dipelajari. Minat serta talenta yang ada, senantiasa diasah, dikelola, serta disalurkan secara positif[5]. Proses belajar adalah proses pengembangan diri, baik secara akal-pikiran, maupun secara emosional. Bila proses belajar tak kenal kata berhenti, proses pengembangan potensi diri pun demikian. Artinya, proses kreatif, ide kreatif, bahkan konsep ekonomi kreatif yang belakangan dengan gencar dikumandangkan, sebenarnya sudah sejak bertahun-tahun yang lalu telah diimplementasikan oleh Soekarno.
Muhammad Hatta pun demikian. Secara formal, ia memang menekuni bidang ekonomi. Tapi, secara kreatif, ia meramu ilmu ekonomi tersebut, agar berpijak di bumi negeri ini. Ia mengolah ilmu ekonomi itu, hingga tidak menjadi sesuatu yang asing bagi masyakat. Tradisi masyarakat kita yang hidup dalam semangat kebersamaan, saling tolong-menolong, dan senantiasa bergotong-royong, adalah salah satu landasan bagi Hatta, hingga ia sampai pada rumusan bahwa Koperasi[6] adalah bangunan ekonomi yang relevan untuk masyarakat kita. Dalam kenyataannya, hingga Hari Proklamasi ke-70 ini, keberadaan Koperasi masih jauh dari apa yang dicita-citakan Hatta.
Kekuatan modal dari orang per orang atau kelompok-kelompok tertentu, telah menjadikan mereka sebagai pengendali ekonomi di negeri ini. Terutama, mereka yang menjadi bagian dari lingkaran dalam kekuasaan. Kondisi seperti inilah yang sejak awal diantisipasi oleh Hatta dengan menegakkan Koperasi. Tapi, para pemodal terlalu tangguh. Meski demikian, gerakan ekonomi kerakyatan yang terus dihembuskan, adalah salah satu indikator bahwa gagasan Hatta tentang Koperasi sesungguhnya disadari serta dibutuhkan banyak pihak, walau perjuangan untuk itu nampaknya sangatlah tidak mudah.
Menjadi Cermin Kepribadian
Soekarno-Hatta adalah cermin kegigihan perjuangan. Mereka memiliki mental petarung. Perlakuan kaum kolonial yang tiada henti memenjarakan serta membuang mereka, toh sama sekali tidak menyurutkan darah perjuangan mereka untuk memerdekan negeri ini. Kepribadian mereka adalah kepribadian yang sudah teruji dan memang sudah sepatutnya diteladani. Bahkan, setelah Proklamasi Kemerdekaan, mereka tetap mampu menjaga jati diri. Hatta, misalnya, meski telah menjadi Wakil Presiden, tetap saja sosok yang sederhana, sebagaimana Hatta sebelumnya. Kekuasaan, pangkat, jabatan, dan gelar tidak sampai menjajah kepribadiannya.
Di tengah kondisi bangsa yang diterpa badai ekonomi kini, sudah seharusnya kita mengacu kepada dua Bapak Bangsa kita, yang tak pernah surut menghadapi ujian demi ujian. Kita tahu, ada sejumlah orang yang sangat haus dengan kekuasaan, hingga mengabaikan sendi-sendi bernegara. Kita juga tahu, ada sejumlah orang yang sangat tamak, yang tiada henti menguras milik bangsa ini, demi kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok. Sejauh kita mampu, sesuai dengan kapasitas kita masing-masing, kita harus terus berupaya mencegahnya.
Kepada Hatta kita bercermin, bahwa kekuasaan baginya bukanlah jalan untuk menghimpun kebendaan. Di puncak kekuasaan, ia tetap senantiasa menjaga kemuliaan kepribadian. Bahkan, ketika ia memutuskan untuk melepas kekuasaan sebagai Wakil Presiden, pada 1 Desember 1956, ia tetap menjadi sosok dengan kepribadian yang mengagumkan. Ia tidak menjadi oposisi bagi Soekarno. Ia juga tidak menggalang kekuataan, katakanlah membentuk kelompok, untuk membangun negara tandingan. Sikapnya dan kepribadiannya menunjukkan bahwa ia tetap menjaga jalannya pemerintahan, meski ia secara organik sudah berada di luar pemerintahan.
Dengan ilmu yang mereka miliki, dengan pengalaman yang telah mereka jalani, Soekarno-Hatta menunjukkan kesantunan berpolitik tingkat tinggi. Berbeda pandangan, tidak lantas membuat mereka bersengketa di depan publik. Ketidakcocokan, juga tidak menjadikan mereka sebagai biang kegaduhan politik. Hatta membesuk Soekarno ketika sakit, demikian pula sebaliknya. Tatkala Soekarno diruntuhkan Orde Baru dan menjadi tahanan rumah, Hatta dengan tulus-ikhlas menjadi wali nikah bagi putra Soekarno, Guntur, pada tahun 1970.
Meski demikian, kita paham bahwa Soekarno-Hatta sesungguhnya adalah juga manusia biasa, bukan perlambang kesempurnaan. Di antara ketidaksempurnaan mereka, Soekarno-Hatta telah menjadikan kita berdiri tegak penuh takjub, di tengah kibaran sangsaka Merah Putih. Hiduplah Indonesia Raya ....