Pada Sabtu (23/5/2015), Presiden Joko Widodo[5] menyatakan, jika ada yang meragukan (ekonomi Indonesia) tidak akan tumbuh, itu keliru besar. Sebentar lagi dapat dilihat, bulan depan akan mulai, dan bulan berikutnya akan maju. Itu dinyatakan Joko Widodo, saat meresmikan dimulainya pembangunan menara kembar Indonesia 1, di Jakarta. Menara Indonesia 1 adalah usaha patungan PT China Sonangol Land dari Tiongkok dengan Media Group yang dimiliki pengusaha dan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh.
Beberapa hari sebelumnya, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Tirta Segara[6], pada Selasa (5/5/2015) di Jakarta, juga menyatakan BI memprediksi pertumbuhan ekonomi akan mulai kembali meningkat pada triwulan II-2015. Tapi, realitas ekonomi, seperti yang diungkapkan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2015 hanya 4,67 persen, lebih rendah dari kuartal I-2015 yang berada di angka 4,72 persen. Prediksi Presiden Joko Widodo dan prediksi Bank Indonesia, ternyata justru membuat rakyat sesak napas akibat tambahan beban.
Beban rakyat yang terus bertambah tersebut, yang ditandai dengan melambungnya harga kebutuhan pokok dan jasa, tentulah tidak bisa dilepaskan dari sejumlah kebijakan yang digelontorkan pemerintah. Terus melemahnya daya beli masyarakat, juga akibat kebijakan pemerintah. Secara akal sehat, timpangnya prediksi ekonomi Presiden Joko Widodo dan prediksi Bank Indonesia dengan realitas yang dikemukakan Kepala Badan Pusat Statistik di atas, menunjukkan rendahnya kapasitas pemerintah. Kemampuan pemerintah memprediksi tatanan ekonomi, salah satunya tercermin dari pertumbuhan ekonomi tersebut.
Sikap pemerintah yang terus-menerus berkilah, dengan menyalahkan kondisi ekonomi global, justru makin menunjukkan rendahnya kapasitas pemerintah dalam mengambil berbagai kebijakan ekonomi. Optimisme yang kebablasan, prediksi yang serampangan, bukan hanya menambah beban rakyat tapi juga merusak akal sehat rakyat yang sudah menaruh harapan pada pemerintah. Itu tercermin dari dominasi ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi. Khususnya, terkait tiga aspek: pengendalian harga barang dan jasa, pengendalian nilai tukar rupiah, serta penyediaan lapangan kerja. Hasil survei periodik Litbang Kompas[7], pada 25 Juni hingga 7 Juli 2015, dengam gamblang menunjukkan realitas tersebut.
Swasembada Daging Jadi Terhambat
Pemerintahan Joko Widodo jauh-jauh hari sudah mencanangkan untuk swasembada daging[8], dalam hal ini daging sapi. Rakyat dihimbau untuk tidak menyembelih sapi betina, agar proses kelahiran anak sapi di tingkat peternak rakyat, bisa berlangsung terus-menerus. Himbauan tersebut sudah direspon peternak rakyat dengan positif. Itu, antara lain, bisa dilihat di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Kepala Dinas Peternakan setempat, Adiyoto, menyadari sepenuhnya bahwa populasi sapi dalam negeri dengan kebutuhan daging sapi, masih jomplang.
Adiyoto[9] mencatat, tahun 2015 ini, populasi sapi nasional sekitar 14 juta ekor, padahal idealnya jumlah sapi nasional mencapai 100 juta ekor. Di Kabupaten tersebut, populasi sapi potong saat ini sekitar 5.000 ekor, relatif masih cukup untuk memenuhi kebutuhan per hari sekitar 60-70 ekor sapi. Di sana, keberadaan sapi perah saat ini juga cukup melimpah, untuk produksi susu sapi perahan. Kondisi di Kabupaten Bandung Barat tersebut menunjukkan bahwa para peternak setempat telah merespon secara positif himbauan Joko Widodo, dengan tetap menjaga populasi sapi potong dan sapi perah.
Bagaimana dengan kabupaten lain? Berapa banyak kabupaten yang mampu mengendalikan populasi sapi di wilayah mereka? Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah bagian dari indikator untuk mencapai swasembada daging sapi yang dicanangkan Joko Widodo. Sebaliknya, gangguan pada tata niaga daging sapi seperti yang terjadi saat ini, adalah juga indikator yang akan menjadi penghambat tercapainya swasembada tersebut. Kenapa? Karena, harga daging sapi yang melambung tinggi, juga diikuti dengan melonjaknya harga jual sapi. Hal itu menggiurkan peternak untuk menjual sapi mereka.
Bukan hanya sapi betina yang ikutan dijual, bahkan sapi perah penghasil susu pun mereka lego. Itu terjadi beberapa waktu lalu di Kabupaten Bandung, juga di Jawa Barat. Akibatnya, produksi susu sapi di sana, turun dari 140 ton menjadi 80 ton per hari. Betapa tajamnya penurunan populasi sapi. Saat ini, peternak sapi perah di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, telah mulai menjual hewan ternak mereka demi mendapatkan keuntungan berlipat, dengan cepat. Soewarto WS, Ketua Kelompok Sapi Perah Margo Mulyo Baturraden, Banyumas[10], mengatakan, penjualan sapi perah untuk dipotong selalu terjadi, setiap kali harga daging sapi melonjak. Artinya, makin panjang pula perjalanan kita mencapai swasembada daging, dalam hal ini daging sapi.
Jakarta, 10 Agustus 2015