Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money

700 Ton Kopi Arabika Organik, dari Golewa dan Bajawa, Menuju Amerika dan Jepang

7 Agustus 2015   17:12 Diperbarui: 7 Agustus 2015   17:12 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Uji cita rasa (cupping) kopi spesial Indonesia dengan latar belakang peta Indonesia pada The Nordic World of Coffee di Gothenburg, Swedia, pada 16-18 Juni 2015. Ini bagian dari upaya Indonesia mempromosikan kopi tanah air ke dunia internasional. Pada kesempatan tersebut, Indonesia berhasil menunjukkan kekayaan cita rasa kopi premium spesial Indonesia, dengan menyuguhkan 9 jenis kopi arabika indikasi geografis (IG) kepada buyers dan visitors serta mendisplai 45 jenis kopi spesial premiun hasil beauty contest kopi dari seluruh wilayah Indonesia. Foto: kompas.com dan kopiarabikabajawa.files.wordpress.com  

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Presiden Joko Widodo[1], pada Senin (3/8/2015), mengajak pengusaha menyikapi pelemahan rupiah, sebagai peluang untuk memperlebar pasar ekspor komoditas. Sikap Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur[2], mungkin bisa jadi salah satu contoh, yang tahun ini mampu mengekspor 700 ton kopi arabika organik.

Sikap positif Kabupaten Ngada ini, juga sejalan dengan apa yang diungkapkan Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel[3], "Berkreasilah, demi peningkatan ekspor. Daerah-daerah di Indonesia, jangan hanya menunggu arahan pusat. Tangkap setiap peluang yang ada, agar lebih berdaya saing, di tengah perlambatan ekonomi ini." Berkreasi dan menangkap peluang, itulah yang ditunjukkan Kabupaten Ngada, sebagai bagian dari apa yang disebut kearifan lokal. Para petani kopi yang tersebar di beberapa titik di Kecamatan Golewa dan Kecamatan Bajawa[4] itu, berkreasi untuk menangkap peluang, dengan menanam kopi secara organik[5]. Mereka sama sekali tidak menggunakan pupuk kimia. Mereka mengembangkan pertanian non-pestisida. Karena, mereka sadar bahwa alam perlu dirawat dengan pendekatan yang alami.

Bermula dari 4 Kilogram Bibit

Capaian Kabupaten Ngada, yang tahun ini mampu mengekspor 700 ton kopi arabika organik, tentulah tidak datang dengan sendirinya. Semua itu membutuhkan ketelatenan dan kesungguhan. Apalagi terkait dengan tanaman kopi. Kopi robusta, misalnya, baru bisa berproduksi dan bisa dipanen pada usia 2,5 tahun, setelah ditanam. Sementara, kopi arabika lebih lama dari itu. Kopi ini baru mulai berbuah sekitar usia 3 tahun, setelah ditanam. Rentang usia siap panen tersebut, sangat bergantung pada iklim, ketinggian area tanam, dan ketelatenan perawatan.

Secara umum, tanaman kopi yang ditanam di daerah dataran rendah, lebih cepat berbuah dibanding tanaman kopi yang ditanam di dataran tinggi. Pada awalnya, kopi arabika di Ngada, mulai dibudidayakan tahun 1977, setelah Pemprov Nusa Tenggara Timur (NTT) membeli 4 kilogram bibit kopi arabika dan 4 kilogram bibit kopi propelegitim dari Jember, Jawa Timur. Propelegitim disemaikan di halaman kantor Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Ngada. Sementara, bibit kopi arabika disemaikan di perkebunan misi Katolik Malanuza, Boawae, 30 kilometer arah timur Ngada.

Kemudian, dari sejumlah penelitian diketahui, sebagai kopi yang berasal dari hutan pegunungan di Ethiopia, Afrika, kopi arabika[6] akan tumbuh dan menghasilkan secara optimal, bila ditanam di dataran tinggi. Karena itulah, pada masa pemerintahan Bupati Matheus John Bey (1978-1988), kopi arabika dikembangkan di Kecamatan Golewa dan Kecamatan Bajawa. Secara geografis, dua kecamatan tersebut berada di atas 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kawasan itu dinilai cocok dengan sifat dan karakter kopi arabika.

Apa yang dilakukan petani, tokoh masyarakat, dan kalangan pemerintahan Ngada tersebut, memperlihatkan bahwa ada proses untuk memahami kearifan lokal. Alam memang menjanjikan banyak hal, tapi kreativitas serta kesungguhan kita, adalah komponen yang tak kalah pentingnya, untuk meraih capaian yang maksimal. Dorongan untuk berkreasi, sebagaimana yang diungkapkan Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel, di atas, rupanya jauh sebelumnya, sudah tertanam dalam diri masyarakat Ngada.

Panen kopi dilakukan pagi sampai siang hari, secara manual. Pemetikan dengan tangan dan selektif, hanya buah-buah masak sempurna saja yang dipetik. Kerja keras semua Unit Pengolahan Hasil (UPH) kopi di Kabupaten Ngada sudah menunjukkan hasilnya. Proses pengolahan kopi arabika organik telah teruji, sehingga kopi arabika Bajawa menjadi kopi berkualitas dan layak masuk ke kancah perdagangan kopi dunia. Foto: 3.bp.blogspot.com

Berkreasi dengan Kopi Organik

Petani Ngada pada mulanya, mengenal budidaya kopi dari para petani kopi di Manggarai Raya. Kawasan yang disebut Manggarai Raya ini meliputi 3 kabupaten di NTT: Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur. Sebagai catatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur terdiri dari 1 Kotamadya dan 21 Kabupaten, termasuk Daerah Otonom Baru, Malaka. Meski mengenal tanaman kopi dari Manggarai Raya, wilayah tetangga yang berdekatan, tapi petani, tokoh masyarakat, dan kalangan pemerintahan Ngada, tidak mengadopsi cara bertani mereka dengan sepenuhnya.  

Masyarakat Ngada mengembangkan kreativitas, berupaya untuk berkreasi. Berbagai informasi tentang tanaman kopi, baik secara lisan maupun melalui buku-buku, mereka serap dengan seksama. Akhirnya, mereka sepakat untuk menanam kopi dengan menggunakan pupuk organik. Tanpa pupuk kimia dan non-pestisida. Area tanam pun sudah mereka pilih: Kecamatan Golewa dan Kecamatan Bajawa. Kedua wilayah tersebut berada pada ketinggian 1.000-1.550 meter di atas permukaan laut (mdpl), yang tanahnya merupakan tanah vulkanik jenis andosol, yang bersumber dari Gunung Inerie dan Gunung Ebulobo. Kedua wilayah kecamatan tersebut berada di kaki Gunung Aimere.

Ada pengetahuan, ada pengalaman, dan ada motivasi untuk berkreasi. Inilah setidaknya yang melandasi masyarakat Ngada untuk meraih peluang melalui komoditas kopi. Kini, total luasan areal perkebunan kopi mereka sudah mencapai sekitar 75.000 hektar. Para petani kopi Ngada didukung oleh 10 Unit Pengolahan Hasil (UPH). Lembaga itu berperan mengarahkan petani kopi, terutama dalam hal pengolahan hasil panen, agar berorientesi ekspor. UPH kopi tersebut dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung, seperti mesin pengupas kulit dan pemasak kopi. Ini adalah bagian yang tak kalah pentingnya untuk menjaga kualitas kopi, agar memenuhi kualifikasi ekspor.

Kita tahu, pasar ekspor memiliki standar tersendiri, terkait dengan komoditas yang bersangkutan. Perusahaan importir kopi Amerika Serikat sampai datang secara khusus ke Bajawa, untuk melihat langsung kopi arabika Ngada, mulai dari proses penanaman sampai dengan hasil akhir. Mereka juga memberi sejumlah masukan, demi peningkatan mutu kopi. Produksi kopi arabika Ngada menggunakan merek Arabica Flores Bajawa (AFB). Pesanan importir dari Amerika Serikat, Jepang, dan sejumlah negara Eropa yang mencapai 1.000 ton, belum sanggup mereka penuhi. Dari 10 UPH di Ngada, mereka baru menyanggupi 700 ton. Kopi arabika organik dari Ngada sampai mendunia, tidak bisa dilepaskan dari sosok Vinsensius Loki[7].

Menurut Penasihat Unit Pengolahan Hasil (UPH) Famasa Bajawa, Vinsensius Loki, sejak awal 2010, ekspor kopi ke beberapa negara dilakukan PT Indocom Persada Sidoarjo, Jawa Timur. Volume kopi yang diekspor pun terus meningkat, mengikuti permintaan pasar. Ekspor awal hanya 32 ton, meningkat pada 2011 menjadi 65 ton, dan 2014 mencapai 600 ton. Bahkan, tahun 2015 ini, ekspor kopi meningkat menjadi 700 ton. Foto: 1.bp.blogspot.com

Sungguh-sungguh Pertahankan Mutu

Dengan volume ekspor 700 ton per tahun, dengan kisaran harga Rp 11.750 per liter, kita tentu bisa berhitung, berapa uang yang berputar di kalangan mata rantai pertanian kopi organik di Kecamatan Golewa dan Kecamatan Bajawa. Sejak awal tahun 2010, ekspor kopi Ngada ke beberapa negara, dilakukan oleh PT Indocom Persada Sidoarjo, Jawa Timur. Harga Rp 11.750 per liter tersebut, sesuai kesepakatan Indocom dengan 10 UPH di Ngada. Sebelumnya, para petani mengandalkan tengkulak sebagai pembeli. Bandingkan jika kopi tersebut dijual langsung kepada tengkulak, yang hanya mematok harga Rp 5.000 per liter.

Sekali lagi, ada pengetahuan, ada pengalaman, dan ada motivasi untuk berkreasi. Inilah setidaknya yang melandasi masyarakat Ngada untuk meraih peluang melalui komoditas kopi. Ini pula yang membuat masyarakat Ngada sadar sepenuhnya untuk sungguh-sungguh mempertahankan mutu. Dari waktu ke waktu, mereka terus berupaya untuk meningkatkan kualitas. Untuk itu, UPH kopi di Ngada bekerja sama dengan pusat penelitian kopi dan kakao di Jember[8], Jawa Timur. Tenaga khusus dari Jember melakukan pelatihan dan pendampingan terhadap UPH di Ngada.

Kita tahu, komoditas pertanian relatif rentan dengan kualitas, karena banyak faktor alam yang melingkupinya, yang tidak selalu mudah untuk diprediksi. Perubahan iklim, perubahan suhu, kondisi tanah, dan ketelatenan perawatan adalah beberapa di antara faktor tersebut. Kesadaran untuk mengedepankan kualitas adalah salah satu kunci utama, supaya usaha pertanian on track sebagai aktivitas ekonomi yang berkelanjutan. Apalagi ini menyangkut pertanian organik, yang menyasar pasar ekspor. Secara kasat mata saja, jelas sekali bahwa lapisan masyarakat yang dituju adalah mereka yang berada di kelas premium.

Mereka yang ada di level sosial atas tersebut, cenderung lebih sensitif pada rasa, dibanding harga. Dengan kata lain, masyarakat kelas sosial atas, akan memilih membayar lebih, untuk menikmati apa yang mereka inginkan. Perilaku para peminum kopi, para penikmat kopi, adalah sesuatu yang unik dan terasa sangat personal. Bahkan, sampai dibuat film Filosofi Kopi[9], yang diadaptasi dari cerpen Dewi "Dee" Lestari. Film ini juga mengajak penonton untuk mengetahui seluk-beluk kopi dengan gaya ringan. Ada suasana lelang biji kopi yang didatangi para pedagang dari berbagai belahan dunia. Ada juga pengetahuan tentang cara menentukan kualitas rasa kopi, yaitu dengan menyeruputnya. Itulah pentingnya kualitas. Dan, para petani kopi di Kecamatan Golewa dan Kecamatan Bajawa, senantiasa menjaganya.

Jakarta, 7 Agustus 2015

--------------------------

Kini, di Bali ada 479 sentra peternakan sapi dan kambing, yang dikembangkan dengan sistem pertanian terintegrasi (simantri), yang menghasilkan puluhan ton pupuk organik per hari.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/inspirasi-dari-bali-organic-strategi-pangan-sekaligus-wisata-pertanian_54f37d6b7455139e2b6c7765

Di tangan petani kopi Kintamani, kopi bukan hanya sebatas rasa. Komoditas pertanian itu tak lagi berdiri sendiri, tapi mereka secara kreatif menyatukan kopi dalam nilai kekerabatan Bali.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/inspirasi-dari-kintamani-aroma-kopi-dalam-nilai-kekerabatan-bali_552a1fb46ea8348a0c552d07

--------------------------

[1] Hal itu disampaikan Presiden Joko Widodo, saat meresmikan pelepasan ekspor sejumlah komoditas unggulan Provinsi Sulawesi Selatan, di Pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar, pada Senin (3/8/2015). Jokowi optimistis bahwa di balik pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika, ada manfaat yang bisa mendatangkan keuntungan lebih. Kata Jokowi, pemerintah daerah tidak perlu khawatir, asalkan bisa memanfaatkan potensi daerah masing-masing.

[2] Kabupaten Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur, berada di ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kabupaten ini menyuguhkan pesona alam nan asri, dengan hamparan tanaman kopi arabika organik, di kaki Gunung Inerie, 2.245 mdpl. Bajawa adalah ibu kota kabupaten ini. Kota Bajawa dibangun pada tahun 1958, sebagai onder afdeling Ngada, bersamaan dengan pembentukan Provinsi Nusa Tenggara Timur.

[3] Hal itu diungkapkan Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel, saat mendampingi Presiden Joko Widodo di Makassar, Sulawesi Selatan, pada Senin (3/8/2015). Rachmat Gobel mengingatkan, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), sebagai pasar tunggal ASEAN, segera diimplementasikan awal tahun 2016 mendatang. Untuk itu, pemerintah provinsi diminta untuk menggali komoditas ekspor potensial daerahnya, demi meningkatkan ekspor nasional.

[4] Bajawa adalah ibu kota Kabupaten Ngada. Ba atau Bha artinya lembah, kuali, dan jawa artinya sejahtera. Bajawa atau Bhajawa berarti lembah kesejahteraan. Bajawa berada di lembah, diapit gunung dan bukit.

[5] Kekhawatiran akan bahaya pestisida dalam bahan makanan, membuat banyak orang beralih mengonsumsi produk pertanian yang ditanam secara organik, menggunakan pupuk alami. Ketua Gabungan Kelompok Tani Simpatik, Tasikmalaya, Jawa Barat, Hendra Affandi, dalam diskusi Praktik Terbaik Adaptasi Perubahan Iklim, di Jakarta, pada Jumat (19/6/2015), mengatakan, dengan memakai pupuk organik, kemampuan tanah mengikat air, tinggi. Artinya, pertanian organik, hemat air. Jika pakai pupuk kimia, kemampuan tanah mengikat air, rendah.

[6] Studi tentang kopi dan iklim yang dilansir siaran pers International Center for Tropical Agriculture (CIAT), pada Kamis (30/4/2015), di Jakarta, menyebutkan, di Afrika, terutama di Ethiopia atau Kenya, kopi arabika ditanam di 2.400 meter di atas permukaan laut (mdpl). Studi itu juga menjelaskan, kopi arabika terbaik, ditanam di ketinggian 600-1.900 mdpl.

[7] Sosok inilah yang pada tahun 1999 nekat mengembangkan kopi arabika organik di kampung halamannya, Desa Beiwali, Kecamatan Bajawa, Ngada. Vinsensius melakukan pendekatan kepada sejumlah warga, hingga terkumpul 25 orang yang mau bergabung dengannya. Mereka membentuk Kelompok Tani Penghijauan dan Rehabilitasi Lahan, dengan program kerja lima tahun. Dalam kelompok itu, dia menjadi ketuanya. Program awal mereka membudidayakan 1.000 pohon kopi per anggota yang dilakukan secara swadaya. Mereka juga mengembangkan pakan ternak seluas 1.000 meter per segi per anggota, dan menanam tanaman kayu lokal. Mereka bertekad mengembangkan kopi organik, anggota didorong memelihara ternak, seperti sapi, agar kotorannya bisa menjadi pupuk untuk tanaman kopi.

[8] Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (disingkat Puslitkoka) adalah salah satu dari lembaga penelitian di Indonesia, yang berada bawah naungan Lembaga Riset Perkebunan Indonesia – Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia (LRPI – APPI), yang mendapat mandat untuk melakukan penelitian aspek agribisnis untuk komoditas kopi dan kakao, mulai dari bahan tanam, budidaya, perlakuan pascapanen, sampai dengan pengolahan produk. Sejak berdiri pada tahun 1911, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia berkantor di Jl. PB. Sudirman No. 90 Jember. Dan, mulai tahun 1987, seluruh kegiatan/operasional dipindahkan ke kantor baru, berlokasi di Desa Nogosari, Kecamatan Rambipuji, Jember, berjarak sekitar 20 kilometer arah Barat Daya dari Kota Jember, Jawa Timur.

[9] Dewi "Dee" Lestari menulis cerpen tersebut pada tahun 2006. Film karya sutradara Angga Dwimas Sasongko ini, naskahnya ditulis oleh Jenny Jusuf, dan diproduseri Visinema Pictures. Film ini berhasil menembus Box Office Indonesia dalam 12 hari penayangan. Berdasarkan data filmindonesia.or.id, per Senin (20/4/2015), Filosofi Kopi berada di posisi keempat box office Indonesia, dengan jumlah penonton mencapai 158.517 orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun