Petani Ngada pada mulanya, mengenal budidaya kopi dari para petani kopi di Manggarai Raya. Kawasan yang disebut Manggarai Raya ini meliputi 3 kabupaten di NTT: Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur. Sebagai catatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur terdiri dari 1 Kotamadya dan 21 Kabupaten, termasuk Daerah Otonom Baru, Malaka. Meski mengenal tanaman kopi dari Manggarai Raya, wilayah tetangga yang berdekatan, tapi petani, tokoh masyarakat, dan kalangan pemerintahan Ngada, tidak mengadopsi cara bertani mereka dengan sepenuhnya. Â
Masyarakat Ngada mengembangkan kreativitas, berupaya untuk berkreasi. Berbagai informasi tentang tanaman kopi, baik secara lisan maupun melalui buku-buku, mereka serap dengan seksama. Akhirnya, mereka sepakat untuk menanam kopi dengan menggunakan pupuk organik. Tanpa pupuk kimia dan non-pestisida. Area tanam pun sudah mereka pilih: Kecamatan Golewa dan Kecamatan Bajawa. Kedua wilayah tersebut berada pada ketinggian 1.000-1.550 meter di atas permukaan laut (mdpl), yang tanahnya merupakan tanah vulkanik jenis andosol, yang bersumber dari Gunung Inerie dan Gunung Ebulobo. Kedua wilayah kecamatan tersebut berada di kaki Gunung Aimere.
Ada pengetahuan, ada pengalaman, dan ada motivasi untuk berkreasi. Inilah setidaknya yang melandasi masyarakat Ngada untuk meraih peluang melalui komoditas kopi. Kini, total luasan areal perkebunan kopi mereka sudah mencapai sekitar 75.000 hektar. Para petani kopi Ngada didukung oleh 10 Unit Pengolahan Hasil (UPH). Lembaga itu berperan mengarahkan petani kopi, terutama dalam hal pengolahan hasil panen, agar berorientesi ekspor. UPH kopi tersebut dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung, seperti mesin pengupas kulit dan pemasak kopi. Ini adalah bagian yang tak kalah pentingnya untuk menjaga kualitas kopi, agar memenuhi kualifikasi ekspor.
Kita tahu, pasar ekspor memiliki standar tersendiri, terkait dengan komoditas yang bersangkutan. Perusahaan importir kopi Amerika Serikat sampai datang secara khusus ke Bajawa, untuk melihat langsung kopi arabika Ngada, mulai dari proses penanaman sampai dengan hasil akhir. Mereka juga memberi sejumlah masukan, demi peningkatan mutu kopi. Produksi kopi arabika Ngada menggunakan merek Arabica Flores Bajawa (AFB). Pesanan importir dari Amerika Serikat, Jepang, dan sejumlah negara Eropa yang mencapai 1.000 ton, belum sanggup mereka penuhi. Dari 10 UPH di Ngada, mereka baru menyanggupi 700 ton. Kopi arabika organik dari Ngada sampai mendunia, tidak bisa dilepaskan dari sosok Vinsensius Loki[7].
Sungguh-sungguh Pertahankan Mutu
Dengan volume ekspor 700 ton per tahun, dengan kisaran harga Rp 11.750 per liter, kita tentu bisa berhitung, berapa uang yang berputar di kalangan mata rantai pertanian kopi organik di Kecamatan Golewa dan Kecamatan Bajawa. Sejak awal tahun 2010, ekspor kopi Ngada ke beberapa negara, dilakukan oleh PT Indocom Persada Sidoarjo, Jawa Timur. Harga Rp 11.750 per liter tersebut, sesuai kesepakatan Indocom dengan 10 UPH di Ngada. Sebelumnya, para petani mengandalkan tengkulak sebagai pembeli. Bandingkan jika kopi tersebut dijual langsung kepada tengkulak, yang hanya mematok harga Rp 5.000 per liter.
Sekali lagi, ada pengetahuan, ada pengalaman, dan ada motivasi untuk berkreasi. Inilah setidaknya yang melandasi masyarakat Ngada untuk meraih peluang melalui komoditas kopi. Ini pula yang membuat masyarakat Ngada sadar sepenuhnya untuk sungguh-sungguh mempertahankan mutu. Dari waktu ke waktu, mereka terus berupaya untuk meningkatkan kualitas. Untuk itu, UPH kopi di Ngada bekerja sama dengan pusat penelitian kopi dan kakao di Jember[8], Jawa Timur. Tenaga khusus dari Jember melakukan pelatihan dan pendampingan terhadap UPH di Ngada.
Kita tahu, komoditas pertanian relatif rentan dengan kualitas, karena banyak faktor alam yang melingkupinya, yang tidak selalu mudah untuk diprediksi. Perubahan iklim, perubahan suhu, kondisi tanah, dan ketelatenan perawatan adalah beberapa di antara faktor tersebut. Kesadaran untuk mengedepankan kualitas adalah salah satu kunci utama, supaya usaha pertanian on track sebagai aktivitas ekonomi yang berkelanjutan. Apalagi ini menyangkut pertanian organik, yang menyasar pasar ekspor. Secara kasat mata saja, jelas sekali bahwa lapisan masyarakat yang dituju adalah mereka yang berada di kelas premium.
Mereka yang ada di level sosial atas tersebut, cenderung lebih sensitif pada rasa, dibanding harga. Dengan kata lain, masyarakat kelas sosial atas, akan memilih membayar lebih, untuk menikmati apa yang mereka inginkan. Perilaku para peminum kopi, para penikmat kopi, adalah sesuatu yang unik dan terasa sangat personal. Bahkan, sampai dibuat film Filosofi Kopi[9], yang diadaptasi dari cerpen Dewi "Dee" Lestari. Film ini juga mengajak penonton untuk mengetahui seluk-beluk kopi dengan gaya ringan. Ada suasana lelang biji kopi yang didatangi para pedagang dari berbagai belahan dunia. Ada juga pengetahuan tentang cara menentukan kualitas rasa kopi, yaitu dengan menyeruputnya. Itulah pentingnya kualitas. Dan, para petani kopi di Kecamatan Golewa dan Kecamatan Bajawa, senantiasa menjaganya.
Jakarta, 7 Agustus 2015