Tugu Proklamasi dan Teks Proklamasi. Soekarno-Hatta, Proklamator Kemerdekaan negeri kita, yang menunjukkan bahwa keberagaman agama dan suku adalah kekayaan, yang memperkuat keberadaan kita sebagai bangsa. Spirit kebersamaan mereka, sudah sepatutnya menjadi inspirasi kita, untuk tetap bersama-sama mengisi kemerdekaan ini. Foto: kompas.com dan indonesiaku.info
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Kita bisa mulai dengan Google. Meski mesin pencari ini bukan bagian dari 162 pejuang yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, tapi Google bisa membantu kita menyusuri jejak pahlawan. Setidaknya, untuk mengetahui, bagaimana pemerintah memperlakukan keluarga para pahlawan, yang telah gugur di medan perjuangan.
Kita, misalnya, jadi tahu, bahwa 15 hari setelah dilantik sebagai menteri, Khofifah Indar Parawansa, yang dikukuhkan sebagai Menteri Sosial[1], mengadakan ramah-tamah dengan keluarga pahlawan nasional. Di Gedung Konvensi Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan, pada Senin (10/11/2014), sang menteri memotong tumpeng, kemudian memberikan potongan tersebut kepada beberapa keluarga pahlawan. Di antaranya, kepada Sulistina Utomo, istri dari pahlawan nasional, Bung Tomo[2]. Kita tahu, Bung Tomo adalah sosok yang gemilang, yang mampu membangkitkan semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajah yang tergabung dalam pasukan NICA[3], pada Oktober-November 1945. Perang sengit pada 10 November 1945 di Surabaya itu, kemudian kita peringati sebagai Hari Pahlawan.
Spirit Pahlawan, Spirit Rakyat Â
Pahlawan, juga keluarga pahlawan yang ditinggalkan, sesungguhnya adalah inspirasi bagi kita untuk memahami makna pengorbanan. Di film animasi Battle of Surabaya[4], yang tayang di bioskop pada hari-hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 2015 ini, kita bisa mendengar, betapa pidato Bung Tomo sungguh menggelorakan. Itu memang pidato asli Bung Tomo, dari suara asli Bung Tomo, yang lengkapnya bernama Sutomo.
Kita tahu, anak-anak muda Surabaya, terbakar oleh pidato Bung Tomo, yang dipancarkan melalui radio. Salah satu puncak peristiwa yang jadi penyebab pecahnya Perang Surabaya, adalah ketika Belanda mengibarkan bendera Belanda di puncak Oranje Hotel, yang dikenal sebagai Hotel Yamato, yang kini jadi Hotel Majapahit, Surabaya, Jawa Timur. Anak muda Surabaya memanjat ke puncak hotel, menurunkan bendera Belanda yang terdiri dari tiga warna itu, kemudian merobek warna birunya, hingga jadilah Merah dan Putih. Bendera kebanggaan kita. Pekikan merdeka pun menggema.
Gema kemerdekaan itu menggetarkan seluruh penjuru, memenuhi langit nusantara. Kita tahu, Bung Tomo tidak sendiri. Ada begitu banyak rakyat, bukan hanya di Surabaya, juga di berbagai pelosok negeri, yang berjuang mempertaruhkan nyawa, demi kemerdekaan. Demikian pula halnya dengan naskah proklamasi, sebagaimana di-detect oleh Google. Ada yang merumuskannya, ada yang menyusunnya, dan ada yang mengetikkan naskah proklamasi tersebut. Semua itu menunjukkan kepada kita bahwa ada begitu banyak orang yang berkontribusi pada kemerdekaan, yang berjuang sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Dengan kata lain, kemerdekaan adalah milik bersama, milik rakyat. Bahwa ada sejumlah orang yang kemudian duduk di pemerintahan serta lembaga negara, itu bukan berarti mereka bisa semena-mena menjalankan pemerintahan ini. Artinya, rakyat perlu mendukung pemerintah agar pemerintahan bisa berjalan sebagaimana mestinya. Bersamaan dengan itu, rakyat juga harus kritis menyikapi pemerintah, supaya pemerintah tetap on track, sejalan dengan cita-cita para pahlawan, yang telah mengorbankan diri demi kemerdekaan.
Dalam konteks kritik masyarakat ini, Presiden Joko Widodo menegaskan pada Upacara Prasetya Perwira TNI dan Polri Tahun 2015 di Lapangan Bhayangkara Akademi Kepolisian, Semarang, Jawa Tengah, pada Kamis (30/7/2015). Saat itu, Joko Widodo menegaskan kepada para perwira[5], suara kritis masyarakat harus didengarkan untuk perbaikan. Karena, menurut Presiden, perkembangan dinamika masyarakat berlangsung cepat, bersamaan dengan tingginya tuntutan masyarakat. Di sisi lain, ada kekuatan media yang juga sangat dahsyat.