Kritik Masyarakat untuk Perbaikan
Kesadaran Joko Widodo untuk memahami bahwa suara kritis masyarakat harus didengarkan untuk perbaikan, adalah sesuatu yang patut kita cermati. Karena, sesungguhnya, yang perlu perbaikan, bukan hanya tatanan pemerintahan, tapi juga tatanan masyarakat secara keseluruhan. Dari silaturahmi Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa[6], pada hari ke-16 setelah dilantik sebagai menteri, ke kediaman keluarga pahlawan nasional, John Lie, di Kelurahan Pondok Labu, Jakarta Selatan, kita sebagai rakyat bisa mencermati hal itu sebagai bagian untuk membenahi diri.
John Lie, lengkapnya John Lie Tjeng Tjoan, lebih dikenal dengan nama Jahja Daniel Dharma. Ia adalah salah satu tokoh militer di Indonesia. Dia lahir dari pasangan keturunan Tionghoa di Manado, Sulawesi Utara, pada 9 Maret 1911 dan meninggal di Jakarta, pada 27 Agustus 1988. Semasa hidupnya, John Lie aktif dalam penumpasan Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku. Ia mengakhiri pengabdiannya di TNI Angkatan Laut pada Desember 1966, dengan pangkat terakhir Laksamana Muda. John Lie memperoleh tanda jasa Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden Suharto pada 10 November 1995, serta gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 November 2009.
Di hari-hari menjelang peringatan Proklamasi Kemerdekaan ini, keberadaan John Lie Tjeng Tjoan, sudah sepatutnya menyadarkan kita semua bahwa negeri ini adalah tanah air yang majemuk. Ada keberagaman agama. Ada keberagaman suku. Seluruh lapisan dari beragam agama dan beragam suku, turut berkontribusi pada tegaknya kemerdekaan negeri ini. Maka, sesungguhnya, sama sekali tidak ada alasan bagi kita kini untuk menempatkan agama dan suku sebagai ajang perseteruan. Karena, di tanah air yang satu ini, bukankah para leluhur kita sama-sama berjuang untuk kemerdekaan?
Mereka telah berkorban untuk perdamaian. Tugas kita kini adalah mengisi kemerdekaan dalam perdamaian. Saling mendengarkan, juga saling menopang kemajuan. Dalam Perayaan Natal Nasional[7] di Jayapura, pada 27 Desember 2014, Presiden Joko Widodo mengatakan, rakyat Papua juga butuh didengarkan, diajak bicara. Mereka tidak hanya membutuhkan layanan kesehatan, layanan pendidikan, dan pembangunan jalan, jembatan, dan pelabuhan saja. Secara substansi, hal itulah yang disuarakan kembali oleh Pater Neles Tebay, Koordinator Jaringan Damai Papua dan Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura.
Pada Februari 2015, di Jakarta, Pater Neles bertemu dengan Wakil Presiden, Jusuf Kalla. "Pak JK punya banyak pengalaman jadi juru damai di wilayah-wilayah konflik. Tentang Papua, beliau lebih banyak bicara pembangunan ekonomi," kata Neles waktu itu. Pada Minggu, 19 Juli 2015, Wolas Krenak, mantan wartawan istana yang kini anggota Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB), dengan tegas menyatakan, untuk membangun manusia Papua, yang harus diselesaikan adalah masalah hak asasi manusia (HAM). "Soal ekonomi itu nomor dua," ujar Wolas[8].
Menyingkronkan Kebijakan, Membenahi Perbuatan
Bila disingkronkan pernyataan Joko Widodo bahwa rakyat Papua juga butuh didengarkan, diajak bicara, dengan apa yang dikemukakan Pater Neles Tebay dan Wolas Krenak di atas, kita tahu bahwa ada sejumlah hal yang membutuhkan pembenahan. Ketidaksingkronan pernyataan dan perbuatan, ketidakselarasan kebijakan di kalangan pemerintahan, dengan sangat mudah diketahui publik melalui Google. Bagi mereka yang hendak memecah-belah kita, apa yang diketahui tersebut dijelmakan menjadi senjata. Sebaliknya, bagi mereka yang hendak menjaga keutuhan bangsa, semua itu dijadikan amunisi untuk melakukan instrospeksi.
Di tanah air yang sangat majemuk ini, tentulah tidak mungkin sebuah agenda kebijakan, digeneralisir untuk semua lapisan dan untuk semua wilayah. Tak bisa kita ingkari, ada sejumlah kesenjangan yang terpampang di depan mata kita. Baik kesenjangan pendidikan, maupun kesenjangan ekonomi. Kedua faktor kesenjangan tersebut tentulah memengaruhi penerimaan masyarakat terhadap agenda pemerintahan. Di antara pendekatan secara nasional, tetap dibutuhkan pendekatan sektoral. Barangkali, inilah yang disebut sebagai kearifan lokal.
Kita membutuhkan para pemimpin yang mampu memahami kebutuhan lokal, untuk kemudian dirumuskan menjadi kebijakan pemerintahan. Kalangan intelektual tentulah paham bahwa mekanisme top down, kerapkali justru menimbulkan friksi. Sebaliknya, di tengah syahwat kekuasaan, apa yang sesungguhnya kebutuhan lokal, seringkali dimanipulasi melalui birokrasi. Hal tersebut tentulah bukan cara-cara yang dikehendaki oleh para pejuang bangsa ini. Meniadakan kearifan lokal, sesungguhnya sama saja dengan mengkhianati sejarah persatuan bangsa sendiri.