Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Nasib Industri Pengolahan Ikan di Tengah Spirit Maritim

17 Juli 2015   03:18 Diperbarui: 17 Juli 2015   10:29 2026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Realitas yang ada kini, unit industri pengolahan ikan masih terpusat di Indonesia bagian barat. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, dari total 60.163 unit pengolahan ikan (UPI), sebaran UPI di wilayah Maluku dan Papua hanya 6.198 unit atau hanya 10,3 persen. Padahal, Papua dan Maluku dikenal sebagai lumbung ikan nasional. Di dua wilayah itu memang ada UPI, 1.524 unit atau kurang dari 3 persen dari total jumlah UPI nasional.

Secara operasional, sebagian di antara UPI tersebut, hanya menjadi gudang penyimpanan, bukan industri pengolahan ikan. Mendorong industri pengolahan ikan untuk membangun atau memindahkan pabrik pengolahan ikan mereka ke dekat lumbung ikan, tentu bukan perkara gampang. Aspek investasi, tenaga kerja, market, logistik, dan waktu yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur pabrik adalah beberapa komponen yang mesti dikaji dengan cermat, supaya nilai ekonominya tetap positif.

Dalam hal kucuran dana untuk investasi, misalnya, kita bisa melihat, bank ekstra ketat menyalurkan kredit, di tengah perlambatan ekonomi nasional kini. Penyaluran kredit industri perbankan umum pada triwulan I-2015 melambat sekitar 11,1 persen, sejalan dengan pelambatan pertumbuhan ekonomi yang hanya 4,71 persen. Pelambatan penyaluran kredit tersebut terjadi pada kredit modal kerja yang berkorelasi dengan produksi[4].

Presiden Joko Widodo pun mengakui, bahwa, ”Untuk membangun pelabuhan, infrastruktur, pabrik, itu butuh waktu.”[5] Maka, yang logis saat ini, agar pabrik pengolahan ikan mendapatkan pasokan ikan yang memadai dan teratur adalah menemukan solusi alternatif setelah pelarangan cantrang. Ini tentu saja bila pemerintah benar-benar memiliki kesungguhan untuk mewujudkan pesan Presiden Joko Widodo, bahwa kita harus masuk ke hilirisasi dan industrialisasi. Karena, menggali komoditas mentah tidak lagi menguntungkan seperti masa lalu. Karena, dunia sudah berubah.

RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, masuk dalam rancangan program legislasi nasional (Prolegnas) 2015–2019. Selama ini, nelayan tradisional dan kecil di Indonesia memiliki risiko yang sangat besar saat melakukan aktivitas melaut. Bukan hanya karena alat tangkap dan perahu yang berukuran kecil, tapi juga aspek perlindungan yang lemah dari otoritas pemerintah terkait hasil tangkapan. Tingkat kesejahteraan dan pendidikan mereka relatif rendah. Foto: print.kompas.com

Evaluasi dan Validasi Tiap Kebijakan

Dorongan Presiden Joko Widodo agar kita masuk ke hilirisasi dan industrialisasi, dalam konteks industri pengolahan ikan, sebenarnya sudah disambut dengan sumringah oleh pelaku industri perikanan di tanah air. Ketua Harian Asosiasi Pengusaha Ikan Kaleng, Ady Surya, pada Sabtu (14/3/2015)[6] sudah menyatakan dukungannya akan hal itu. Ady Surya pada waktu itu mengungkapkan, untuk menumbuhkan industri pengolahan ikan di Indonesia, dibutuhkan kebijakan pemerintah terkait perikanan, yang benar-benar bisa memastikan ada kecukupan bahan baku ikan untuk industri.

Kita tahu, kebijakan moratorium izin kapal ikan buatan luar negeri, berlaku sejak November 2014. Adapun larangan penggunaan pukat tarik dan pukat hela, termasuk cantrang, diberlakukan sejak Februari 2015. Semua kebijakan tersebut jelas berpengaruh pada ketersediaan bahan baku ikan untuk industri. Dan, solusi alternatif dari sejumlah kebijakan tersebut, hingga kini belum memadai. Akibat dari sejumlah kebijakan tanpa solusi alternatif itulah yang dipaparkan Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Suhana, pada Rabu (15/7/2015): industri pengolahan ikan lesu, karena pasokan ikan turun drastis.

Realitas tersebut menunjukkan kepada kita bahwa kebijakan pemerintahan Joko Widodo, dalam konteks perikanan, belum sepenuhnya dikaji secara mendalam dan komprehensif. Masih banyak aspek yang belum dijadikan bahan pertimbangan. Padahal, sejak November 2014 dan Februari 2015, hingga kini Juli 2015, sudah berlangsung beberapa bulan kebijakan tersebut digulirkan dan belum nampak tanda-tanda opsi solusi alternatif. Karena itulah, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryo Bambang Sulisto, pada Jumat (10/7/2015) menyatakan, harus ada evaluasi dan validasi untuk setiap kebijakan yang dikeluarkan setiap menteri bidang ekonomi. Tujuannya, agar kebijakan ekonomi terintegrasi, tidak jalan sendiri-sendiri, dan tidak sektoral[7].

Dalam konteks minimnya pasokan ikan, sebanyak 8 dari 55 pabrik pengolahan ikan di Bitung, Sulawesi Utara, telah berhenti berproduksi, karena kekurangan pasokan ikan segar. Basmi Said, Ketua Asosiasi Unit Pengolahan Ikan Kota Bitung, mengatakan, pabrik-pabrik pengolahan ikan telah berhenti beroperasi, karena pasokan ikan yang ada tidak cukup memenuhi batas minimal yang dibutuhkan untuk mencapai titik impas operasional pabrik[8]. Bagaimana akal sehat kita memahami korelasi realitas itu dengan pesan Presiden Joko Widodo agar kita masuk ke hilirisasi dan industrialisasi, dalam konteks industri pengolahan ikan?

Jakarta, 17 Juli 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun