Bali mengekspor ikan tuna dalam bentuk segar dan beku senilai USD25,55 juta selama empat bulan, periode Januari-April 2015. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali mencatat, realisasi perdagangan luar negeri menunjukkan hasil perikanan tersebut mampu memberikan kontribusi sebanyak 15,71 persen dari total ekspor Bali secara keseluruhan yang mencapai USD162,70. Dalam konteks hilirisasi dan industrialisasi sektor perikanan, ekspor ikan segar tersebut tentu perlu ditangani dengan seksama. Foto: antaranews.com Â
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Kita harus masuk ke hilirisasi dan industrialisasi. Pesan Presiden Joko Widodo[1] pada Kamis (9/7/2015) itu, sangat jelas dan tegas. Tujuh hari kemudian, pada Rabu (15/7/2015), Kepala Riset Kelautan, Suhana[2], mengatakan, industri pengolahan ikan lesu, karena pasokan ikan turun drastis.
Hasil survei kegiatan dunia usaha yang dilakukan Bank Indonesia, menunjukkan, kapasitas terpakai industri pengolahan per triwulan II-2015 sebesar 67,93 persen, turun 12,71 persen dibandingkan triwulan I-2015. Inilah realitas di industri pengolahan ikan, di saat spirit maritim digelorakan, di kala cita-cita besar menjadi Poros Maritim tiada henti digaungkan. Demikianlah situasi yang dihadapi pengusaha pengolahan ikan di lapangan, yang membuat mereka kerap menyuarakan agar kebijakan demi kebijakan saling terintegrasi. Agar pemerintahan Joko Widodo, mencermati serta menganalisa secara komprehensif, sebelum menetapkan sebuah kebijakan.
Larangan Tanpa Solusi
Indonesia memang memiliki zona ekonomi maritim terbesar di dunia, 2/3 wilayah Indonesia adalah air. Tapi, bila kebijakan tidak dirumuskan secara komprehensif, tidak mempertimbangkan berbagai aspek yang relevan, maka zona ekonomi terbesar itu hanya sekadar menjadi catatan dalam peta bumi. Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Suhana, mencontohkan, larangan penggunaan alat tangkap cantrang[3] pada Februari 2015 seharusnya segera diikuti solusi penggunaan alat tangkap alternatif.
Alternatif tersebut diperlukan, agar jumlah produksi ikan tangkap tidak berkurang. Agar pasokan ikan ke industri pengolahan ikan, tetap terjaga. Nyatanya, pemerintah hanya melarang, tapi tidak disertai dengan opsi alternatif. Akibatnya, pasokan ikan tangkap menurun drastis, yang barangkali hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat sehari-hari. Kebutuhan ikan untuk industri tidak tercukupi. Suhana menyebutkan, jika tidak ada solusi, kapasitas industri pengolahan ikan dikhawatirkan kian terpuruk.
Solusi kebijakan dari larangan penggunaan alat tangkap cantrang tersebut, bukan hanya demi kepentingan industri, tapi juga demi menjaga keberlanjutan aktivitas nelayan, yang selama ini menggantungkan hidup mereka di laut. Pelarangan itu tentulah otomatis memerosotkan pendapatan mereka, karena pemerintah tidak memberikan solusi alternatifnya. Contoh di atas menunjukkan bahwa kebijakan pelarangan itu belum sepenuhnya dirumuskan dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang relevan.
Bila dikorelasikan dengan pesan Presiden Joko Widodo di atas, bahwa kita harus masuk ke hilirisasi dan industrialisasi, kebijakan pelarangan cantrang tanpa solusi alternatif tersebut, justru menunjukkan kebijakan pemerintah sesungguhnya kontra produktif dengan apa yang dipesankan Presiden. Dalam konteks ini, bukan pada tempatnya salah-menyalahkan berbagai pihak yang berwenang. Para pengambil keputusan sudah sepatutnya mengevaluasi, merumuskan solusi, agar industri pengolahan ikan bisa tumbuh untuk menjadi bagian dari spirit maritim yang terus dikumandangkan.
Sebaran Unit Pengolahan Ikan