Statistik Perbankan Indonesia April 2015, yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menunjukkan, kredit bermasalah (NPL) sektor UMKM sudah mencapai 4,4 persen dari kredit yang disalurkan ke UMKM, per April 2015 mencapai Rp 688,297 triliun. Bila tidak ditangani dengan baik, ini bisa mengancam kehidupan 98 juta pekerja rakyat, yang menggantungkan hidup mereka pada sektor UMKM. Foto: print.kompas.com
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Lemahnya daya beli masyarakat, sudah berimbas pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Data Statistik Perbankan Indonesia mencatat, kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) sektor UMKM pada Maret 2015 sudah 4,3 persen, pada April 2015 meningkat jadi 4,4 persen, sebagaimana dilansir print.kompas.com, pada Selasa (14/7/2015)[1].
Ini tentu bukan kabar baik untuk Joko Widodo yang diagung-agungkan sebagai Presiden Rakyat. Juga, kabar tak sedap untuk partai pendukungnya, PDI Perjuangan, yang meng-klaim sebagai partai wong cilik. Karena, berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah usaha mikro dan kecil di Indonesia, ada 55,162 juta unit usaha atau 99,91 persen dari total unit usaha di Indonesia. Usaha mikro dan kecil di Indonesia menyerap 98,877 juta pekerja atau 94,52 persen dari total pekerja di Indonesia. Dengan kata lain, sektor UMKM adalah tempat bertumpu hidup 98 juta pekerja rakyat. Dengan terus meningkatnya kredit bermasalah di UMKM, itu salah satu indikator bahwa usaha rakyat itu sudah mulai limbung. Realitas ini berpotensi mengancam kehidupan 98 juta pekerja rakyat, yang menggantungkan hidup mereka pada sektor UMKM. Juga, berpotensi mengganggu keuangan secara nasional[2].
Pengangguran yang Luar Biasa
Apa yang dikemukakan Syafii Maarif pada Senin (29/6/2015) lalu, setelah bertemu 40 menit dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, mungkin mengagetkan banyak pihak. Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut secara blak-blakan mengatakan, perekonomian Indonesia melambat, produk domestik menurun, harga sejumlah komoditas juga turun. Kondisi itu telah memicu pengangguran yang luar biasa.
Penekanan melambatnya ekonomi Indonesia sebagai faktor yang telah memicu pengangguran yang luar biasa, barangkali saat itu terasa berlebihan. Namun, bila dikorelasikan dengan Data Statistik Perbankan Indonesia April 2015, yang diterbitkan Deputi Direktur Publikasi dan Administrasi Bank Indonesia pada Kamis (18/6/2015), kemudian dilansir print.kompas.com, pada Selasa (14/7/2015), maka realitas memburuknya ekonomi Indonesia pada pemerintahan Joko Widodo, makin jelas dan terang-benderang.   Â
Dua data dari dua asosiasi ini, mungkin bisa melengkapi pemahaman kita akan pernyataan Syafii Maarif tersebut. Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) mencatat, sejak Januari 2015, pelaku usaha di lingkup mereka, telah mem-PHK 11.000 pekerja. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) juga mencatat bahwa para pelaku usaha di lingkup mereka telah mem-PHK sekitar 400.000-500.000 pekerja. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di tanah air terus bertambah. Bahkan, di bulan Februari 2015, menjadi puncak angka pengangguran tertinggi di Indonesia sejak Agustus 2012[3].
Seakan merespon Data Statistik Perbankan Indonesia April 2015 tersebut, Bank Dunia mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 5,2 persen menjadi 4,7 persen. Bank Pembangunan Asia (ADB) mengoreksi dari 5,5 persen menjadi 5 persen. Adapun Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga mengoreksi proyeksi pertumbuhan dari 5,3 persen menjadi 5 persen. Hal yang sama juga dilakukan Bank Indonesia, yang merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 5,4-5,8 persen menjadi 5,0-5,4 persen dengan kecenderungan batas bawah. Pemerintah Joko Widodo juga merivisi target dari 5,8 persen menjadi 5,4 persen, lalu merevisi lagi menjadi 5,2 persen.
Suku Bunga KUR Diturunkan