Dalam acara silaturahim Presiden dengan dunia usaha yang bertajuk Presiden Menjawab Tantangan Ekonomi, yang diselenggarakan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Jakarta Convention Center, pada Kamis (9/7/2015) tersebut, Jokowi mengatakan, ”Kalau saya, pahit, ya, saya bilang pahit. Kalau manis, ya, saya bilang manis. Kita sekarang menghadapi tantangan ekonomi yang fundamental. Namun, saya yakin pemerintah semakin siap menghadapi tantangan tersebut.”
Semakin siap? Benarkah semakin siap? Dari realitas di atas, yang nyata adalah bahwa justru kebijakan Jokowi kedodoran, salah satunya ditandai dengan penurunan target pertumbuhan ekonomi yang beruntun: dari 5,7 persen, diturunkan menjadi 5,4 persen, kemudian diturunkan lagi menjadi 5,2 persen. Kedodoran itu bukan hanya nyata pada tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi triwulan I-2015 dan diturunkannya target pertumbuhan ekonomi secara beruntun, tapi juga kedodoran dalam target pengumpulan pajak.
Sampai dengan awal pekan Juni 2015, penerimaan pajak baru Rp 431 triliun atau 33 persen dari target. Padahal, Jokowi menargetkan realisasi pada semester I-2015 adalah sebesar 40 persen. Ini setidaknya mencerminkan lemahnya fungsi koordinasi dalam pemerintahan Jokowi. Mulai dari mekanisme menetapkan target, menyusun berbagai aturan terkait, hingga eksekusi di lapangan. Para menteri yang kabarnya profesional, tentulah secara profesional pula melakukan semua itu.
Benarkah profesional? Benarkah siap? Sekadar menyebut contoh, Jokowi memerintahkan Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri, bersama Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn Masassya, pada Jumat (3/7/2015) merevisi atau mengubah bagian tertentu atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua. Padahal, PP itu ditandatangani Presiden, pada Kamis (30/6/2015). Hanya dalam tempo 4 hari, sudah direvisi. Bukan hanya kali ini saja Presiden mengubah peraturan atau keputusan yang ditetapkannya, dalam rentang waktu yang relatif singkat[5].
Kepercayaan Pasar, Konsistensi Kebijakan
Sekali lagi, publik dalam negeri dan dunia internasional tidak bodoh untuk mencermati realitas yang telah terjadi. Perilaku Presiden beserta barisan Kabinet Kerja adalah komponen untuk menciptakan kepercayaan pasar dan menumbuhkan keyakinan investor. Ini bagian dari upaya untuk menumbuhkan ekonomi nasional. Langkah Presiden mengundang sejumlah ekonom ke Istana Kepresidenan pada Senin (29/6/2015) adalah bagian dari upaya untuk menumbuhkan kepercayaan pasar yang terus melemah[6].
Acara silaturahim Presiden dengan dunia usaha yang bertajuk Presiden Menjawab Tantangan Ekonomi, yang diselenggarakan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Jakarta Convention Center, pada Kamis (9/7/2015) tersebut juga merupakan bagian dari upaya itu. Ekonom Senior Standard Chartered Bank Indonesia, Eric Alexander Sugandi, menilai pidato Presiden pada kesempatan itu hanya memberikan efek psikologis. ”Investor masih menunggu realisasi janji Presiden, bahwa kondisi perekonomian semester II akan lebih baik,” katanya.
Investor menunggu? Wah, yang dibutuhkan Indonesia adalah investor merealisasikan investasi mereka, agar perlambatan ekonomi ini tidak semakin lambat. Kenapa investor menunggu? Bukankah Presiden yakin dengan kebijakannya? Barangkali, inilah momentum untuk mencari titik-temu bersama, antara Presiden dan barisan Kabinet Kerja dengan para pengusaha. Dengan kebersamaan, mungkin akan lahir kebijakan yang terintergrasi antar sektor, hingga terbuka sejumlah peluang yang bisa menumbuhkan kepercayaan investor. Kebersamaan tersebut sangat dibutuhkan rakyat banyak.
Bahwa untuk mencapai titik-temu tersebut, Presiden dan barisan Kabinet Kerja harus melakukan evaluasi dan validasi terhadap tiap kebijakan yang dikeluarkan setiap menteri bidang ekonomi, itu adalah konsekuensi bersama. Demikian pula sebaliknya, kalangan pengusaha harus mengevaluasi kebijakan agar tak buru-buru menaikkan harga dan tak buru-buru pula melakukan pemutusan hubungan kerja. Singkronisasi dan harmonisasi kebijakan pemerintah dan kebijakan pengusaha adalah komponen penting bagi perbaikan bangsa ini.
Jakarta, 12 Juli 2015