Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama featured

Berebut Sekolah Favorit; Calo Berkeliaran dan Merusak Nilai-nilai Kejujuran

11 Juli 2015   04:35 Diperbarui: 16 Juli 2017   10:52 2554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diah Haerani, Kepala SMA Negeri 3 Depok, Jawa Barat, dan petikan berita dari print.kompas.com edisi Sabtu, 11 Juli 2015. Ketegasan Diah Haerani menegakkan mekanisme penerimaan murid baru di sekolah yang dipimpinnya, patut kita apresiasi. Sekolah adalah tempat persemaian bagi nilai-nilai kejujuran, sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Foto: sman3depok.sch.id dan print.kompas.com

Sekolah Negeri Favorit menjadi incaran banyak siswa. Juga, menjadi ladang bisnis mereka yang menamakan diri Program Indonesia Pintar, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Wartawan. Integritas Kepala Sekolah dipertaruhkan dan pengawasan publik harus digalakkan.

Foto: Kompas.id
Foto: Kompas.id
Diah Haerani, Kepala SMA Negeri 3 Depok, Jawa Barat, patut kita apresiasi. Ia menolak memasukkan calon siswa yang nilai mereka tidak memenuhi persyaratan. Ia juga menolak menerima mereka yang tidak terdaftar di dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru 2015. Meski ia berhadapan dengan sejumlah orang yang mengaku dari Program Indonesia Pintar dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)[1]. Meski sejumlah orang tersebut datang dengan membawa surat berkop Kemdikbud. Itu dikemukakan Diah Haerani ketika menerima kunjungan tim Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemdikbud di Depok, pada Kamis (9/7/2015).

Program Indonesia Pintar vs Ketidakjujuran

Ketegasan, juga keberanian, untuk menegakkan mekanisme yang sudah digariskan, memang seharusnya dimulai dari institusi pendidikan. Bukankah lembaga pendidikan merupakan tempat yang efektif untuk menyemaikan nilai-nilai kejujuran? Secara kelembagaan, Program Indonesia Pintar dan Kemdikbud, sudah sepatutnya melakukan penelusuran secara sungguh-sungguh akan hal ini. Apakah sejumlah orang itu adalah orang-orang resmi kelembagaan atau para begundal yang memanfaatkan penerimaan murid baru sebagai ladang bisnis percaloan?

Penelusuran tersebut bukan hanya dalam konteks menjaga kredibilitas lembaga tapi sekaligus menjadi upaya untuk membersihkan institusi pendidikan dari praktik ketidakjujuran. Apa yang sudah ditegakkan Diah Haerani, setidaknya menjadi penguat bagi kepala sekolah yang lain, agar tak mudah menyerah menghadapi berbagai pihak yang membawa-bawa nama Kemdikbud untuk merusak kejujuran di dunia pendidikan. Di era transparansi sekarang, bukan zamannya lagi menggunakan suatu institusi seperti kementerian untuk menekan institusi lain yang berada di bawahnya.

Memang, dunia pendidikan kita belum sepenuhnya bersih dari praktik ketidakjujuran[2]. Ridwan Kamil, Walikota Bandung, Jawa Barat, mencatat, setidaknya ada tiga masalah pendidikan yang masih terjadi di wilayahnya, yang harus diselesaikan tahun ini. Di Balai Kota Bandung, pada Senin (6/7/2015), Ridwan Kamil menyebutkan satu per satu: penyalahgunaan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), jual beli nilai bimbingan belajar, dan penyalahgunaan domisili tempat tinggal.

Ia menduga, ada warga yang tiba-tiba pindah Kartu Keluarga (KK) ketika musim penerimaan murid baru tiba. Mereka sengaja pindah ke lokasi sekolah-sekolah favorit. Ini terkait dengan rayonisasi[3]. Semua itu adalah beberapa contoh praktik ketidakjujuran yang melingkupi institusi pendidikan. Bila kepala sekolah dan guru-guru tidak memiliki ketegasan serta keberanian seperti yang sudah ditunjukkan Diah Haerani, tentulah praktik ketidakjujuran tersebut akan terus berlangsung, dari tahun ke tahun.

LSM dan Wartawan vs Ketidakjujuran

Sri Eningsih, Kepala SMA Negeri 1 Bogor, Jawa Barat, juga mengalami hal yang hampir serupa dengan Diah Haerani. Bedanya, Sri Eningsih berhadapan dengan orang-orang yang mengaku pegiat lembaga swadaya masyarakat dan wartawan. Mereka meminta Sri Eningsih untuk menerima sejumlah anak sebagai siswa baru di sekolah tersebut. Apabila menolak, mereka akan menuntut sekolah, karena dinilai telah mengabaikan hak anak untuk mendapat pendidikan.

Pihak yang berwenang atas lembaga swadaya masyarakat dan wartawan, tentulah patut menelusuri peristiwa tersebut. Sebagaimana halnya dengan Kemdikbud, pihak-pihak yang berwenang sudah seharusnya turun-tangan secara aktif. Tidak pada tempatnya untuk berkilah dengan mengatakan, kami belum menerima laporan. Atau, kami masih menunggu laporan. Pernyataan-pernyataan kuno macam itu, sudah waktunya ditinggalkan.

Di sisi lain, para siswa juga sudah saatnya aktif memerangi berbagai bentuk ketidakjujuran di lingkungan sekolah masing-masing[4]. Misalnya, adakah siswa yang tidak terdaftar dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru, tiba-tiba nongol sebagai murid baru? Bila hal itu terjadi, unggah saja di media sosial. Ini kan bentuk pengawasan publik, sebagai bagian dari upaya membersihkan sekolah dari berbagai praktik ketidakjujuran.

Dengan demikian, orangtua yang memaksakan diri memasukkan anak mereka ke sekolah favorit, padahal tak memenuhi syarat, bisa diminimalkan. Pemaksaan ini kerap memicu permasalahan pada penerimaan murid baru[5]. Kepala sekolah dan guru-guru yang hendak bermain di air keruh pun, bisa dicegah. Artinya, ruang gerak para perusak citra pendidikan tersebut, harus dibatasi, supaya secara bertahap, akan lahir perilaku yang jujur dari berbagai institusi pendidikan.

Foto: print.kompas.com
Foto: print.kompas.com
 Mutasi Murid vs Ketidakjujuran  

Selain pada musim penerimaan murid baru, perilaku ketidakjujuran yang juga kerap terjadi di lingkup sekolah adalah yang terkait dengan mutasi murid, sebagaimana yang terjadi di SMA Negeri 15 Surabaya, Jawa Timur, pada Jumat (2/1/2015). Siddiq, orangtua E. Abrar Dharmawan, berencana memindahkan anaknya dari SMA Negeri 66 Jakarta Selatan ke SMA Negeri 15 Surabaya. Karena, Siddiq pindah dinas dari Jakarta ke Surabaya.

Siddiq melaporkan, SMA Negeri 15 Surabaya mematok tarif bervariasi. Mutasi siswa dalam kota ditarif Rp 30 juta, sedangkan dari luar daerah dan luar pulau dibanderol Rp 30-40 juta. Wakil kepala sekolah tersebut, berinisial NA, akhirnya tertangkap tangan dan berurusan dengan pihak berwajib. Praktik ketidakjujuran yang demikian bisa terungkap, karena orangtua murid yang bersangkutan aktif melaporkan tindakan yang tidak terpuji itu.

Apa yang terjadi di SMA Negeri 3 Depok, SMA Negeri 1 Bogor, SMA Negeri 15 Surabaya, dan di Bandung, hanyalah beberapa contoh perilaku yang menggerogoti dunia pendidikan kita. Dari sana kita tahu, ada banyak pihak yang bermain dan memainkan peranan. Artinya, meskipun berbagai sistem pendidikan dibenahi, bila pihak-pihak yang berada dalam pusaran pendidikan masih terus mencederainya, tentulah upaya untuk pembenahan akan makin sulit dicapai.

Sudah waktunya anak-anak didik tersebut belajar dan mendapatkan contoh, betapa pentingnya memelihara nilai-nilai kejujuran[6]. Kita sudah sama-sama menyaksikan, betapa negeri ini terus-menerus terpuruk, baik dalam konteks ilmu pengetahuan maupun di bidang ekonomi. Tanpa dibentengi dengan nilai-nilai yang positif, akan sulit bagi mereka untuk menghadapi gempuran pengaruh asing, di tengah dunia yang makin tanpa sekat ini.

Jakarta, 11 Juli 2015

--------------------------

Pepatah lama: pengalaman adalah guru yang baik. Pepatah baru: guru yang baik adalah guru yang kompeten dan baik:

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/kompetensi-guru-mari-kita-belajar-bersama-agar-guru-hebat-dan-murid-pintar_559c60f7169373a905ef062a

--------------------------

[1] Diah Haerani, Kepala SMA Negeri 3 Depok, Jawa Barat, mengatakan, sekelompok orang datang dan mengaku dari tim penyiaran Kemdikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Mereka ingin melakukan shooting Program Indonesia Pintar di SMAN 3 Depok, dengan syarat kami harus menerima anak-anak yang mereka bawa. Selengkapnya, silakan baca Upaya Kecurangan Masih Marak, Itjen Kemdikbud Telusuri Penerimaan Siswa di Sekolah Negeri, yang dilansir print.kompas.com, pada Jumat (10/7/2015).

[2] Dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2014, Ombudsman Republik Indonesia mendapati setidaknya 242 temuan maladministrasi di 33 provinsi pada periode Juni-Agustus 2014. Dari angka itu, praktik kutip-mengutip uang secara tidak resmi atau biasa disebut pungutan liar (pungli), menjadi temuan nomor wahid.

[3] Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mewajibkan 55 persen dari total peserta didik baru, harus dari rayon yang sama dengan sekolah tujuan. Hal tersebut menambah kesempatan anak untuk bisa diterima di sekolah yang berada di rayonnya. Menurut Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Arie Budhiman, sebelum ada kuota lokal, sekolah favorit diperebutkan oleh banyak orang dari berbagai wilayah, tidak hanya di Jakarta, tetapi juga dari daerah-daerah lain. Akibat perebutan tempat tersebut, terjadi saling menginjak. Dampaknya, anak-anak yang berasal dari satu rayon dengan sekolah favorit tersebut tidak bisa bersekolah di sana, karena jatah mereka sudah diambil oleh anak-anak dari daerah lain.

[4] Salah satu contohnya adalah ketika Tsaqif Wismadi bersama empat rekannya Dzar Bela Hanifa, Inria Astari Zahra, Khalid Umar, dan Daffa Abhista dari SMA Negeri 3 Yogyakarta mendapat bocoran soal Ujian Nasional 2015 dari internet. Mereka memilih melaporkan hal itu ke Universitas Gajah Mada via email, selain juga melaporkan ke sekolah mereka. M. Khoirul Huda, Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah, mengapresiasi keberanian murid SMA Negeri 3 Yogyakarta tersebut, yang telah menyuarakan kebenaran. Padahal, mereka memiliki kesempatan untuk memanfaatkan bocoran tapi mereka memilih jujur dengan melaporkan. Ini tindakan hebat.

[5] Walikota Bandung, Ridwan Kamil, diprotes orangtua murid soal penerimaan siswa baru. Di hadapan puluhan orangtua siswa di Auditorium Balai Kota Bandung, pada Senin (6/7/2015), ia mengemukakan, peta masyarakat dalam dunia pendidikan terbagi empat, yakni miskin tetapi pintar, otak pas-pasan enggak punya duit, lalu mapan dan pintar, serta mampu tetapi kurang pintar. Mana dulu yang akan saya bantu? Tentunya yang miskin. Karena itulah, kuota untuk orang tidak mampu, tidak dibatasi.

[6] Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Rochmat Wahab, mengimbau agar pihak guru tidak memberikan contoh perilaku yang tidak jujur kepada siswa peserta ujian nasional (UN). Siswa harus dipahamkan, agar mengerjakan soal secara mandiri dan menurut kemampuan pribadi, sebagai bagian dari pendidikan kejujuran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun