Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Kompetensi Guru: Mari Kita Belajar Bersama, Agar Guru Hebat dan Murid Pintar

8 Juli 2015   06:29 Diperbarui: 8 Juli 2015   07:22 1552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Uji kompetensi guru mencakup para guru di TK, SD, SMP, sekolah luar biasa, SMA, dan SMK. Dari ujian ini, hanya 192 guru, sebagian besar guru SMP, yang mencapai nilai 90-100. Sementara hampir 130.000 guru lainnya hanya mencapai nilai antara 0 dan 30. Uji kompetensi guru mengukur empat kompetensi, yakni kompetensi akademik, pedagogi, sosial, dan kepribadian. Banyak guru yang justru tidak menguasai materi ajarnya. Foto: lpmpriau.go.id dan 1.bp.blogspot.com

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Dari sekitar 1,6 juta guru yang mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG), hanya 200.000 guru yang meraih nilai di atas 60. Yang meraih nilai 0-30 ada sekitar 130.000 guru. Selebihnya meraih nilai di bawah 50, dari rentang nilai 0-100 yang diacu UKG.

Itulah yang dikemukakan Sumarna Surapranata[1], Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) di Jakarta, pada Selasa (7/7/2015). Apa yang dikemukakan Sumarna Surapranata tersebut, tentu saja dengan cepat menjadi ajang perdebatan, sebagaimana halnya reaksi publik terhadap sejumlah temuan yang terkait dengan kompetensi guru dan mutu guru. Dan, sebagaimana biasanya, perdebatan itu menggelinding menjadi perdebatan tentang kesejahteraan guru, fasilitas sekolah, yang ujung-ujungnya konteks kompetensi guru dan mutu guru tidak lagi menjadi poin utama dari perdebatan tersebut.

Memacu Diri untuk Update Ilmu

Hasil UKG yang dipaparkan Sumarna Surapranata tersebut, tentulah mencemaskan banyak pihak. Para guru cemas, karena sebagian besar dari 1,6 juta guru yang mengikuti UKG tersebut, ternyata sebagian besar hanya mampu meraih nilai di bawah 50. Para orangtua murid juga cemas, apa jadinya anak-anak mereka bila dididik oleh para guru yang under kompetensi tersebut? Pemerintah, khususnya yang membidangi pendidikan, mestinya juga cemas.

Bagaimana bangsa ini mampu bersaing dengan level kualitas sumber daya manusia yang demikian? "Yang utama, guru harus memacu diri untuk update dengan perkembangan ilmu di bidangnya dan ilmu kependidikan," ujar Sumarna Surapranata. Bila guru diposisikan sebagai profesi, maka sudah menjadi kewajiban guru untuk meningkatkan kualitas dirinya, sesuai dengan profesinya.

Silvana Erlina[2], Koordinator USAID PRIORITAS Jawa Timur, menjabarkan, seorang guru berkualitas harus memiliki beberapa kriteria, yakni kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Bagaimana guru bisa meningkatkan kualitas dirinya, jika kesejahteraan guru tidak mencukupi? Bagaimana guru bisa membeli buku terbaru tentang ilmu yang diajarkannya, jika untuk biaya hidup sehari-hari saja, gaji guru tidak mencukupi? Sebagaimana dikemukakan di atas, perdebatan tentang kompetensi guru dan mutu guru, selalu bermuara pada aspek kesejahteraan guru dan fasilitas sekolah.

Ini bukan perdebatan baru. Ini sudah bertahun-tahun diperdebatkan dan belum ada solusi yang memadai. Beragamnya gradasi tingkat kesejahteraan guru di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan ke berbagai pedalaman tanah air, membuat perdebatan ini makin lama dan panjang. Ini sama juga halnya dengan perdebatan tentang bidang penelitian, dunia riset di tanah air, yang perkembangannya tak kunjung signifikan. Konteks riset dikaitkan dengan kompetensi guru dan mutu guru, karena sama-sama mengacu pada penguasaan ilmu serta pendalaman ilmu.

Pada tahun 2011, tepatnya Senin (24/10/2011), Prof. Dr. Ir. Jan Sopaheluwakan[3], MSc, pakar ilmu kebumian yang sudah bekerja sekitar 30 tahun di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bercerita bahwa gaji pokok seorang profesor riset golongan IV/E di LIPI pada tahun itu, Rp 3,6 juta per bulan. Gaji ini ditambah tunjangan peneliti Rp 1,6 juta per bulan. ”Jadi, total gaji yang saya terima Rp 5,2 juta per bulan,” kata sang profesor memberikan rincian.

Guru memulai dengan membaca buku. Kemudian, mengajak murid membaca buku bersama-sama. Artinya, guru belajar dan murid juga belajar. Guru paham akan buku yang sudah ia baca terlebih dahulu, agar bisa memberi pemahaman kepada murid. Ini bisa menjadi bagian dari upaya untuk meningkatkan pengetahuan murid sekaligus menaikkan kompetensi guru. Foto: prioritaspendidikan.org dan antaranews.com

Di Bawah 50, Nilai Sebagian Besar Guru di Jakarta

Mari kita bandingkan gaji Prof. Dr. Ir. Jan Sopaheluwakan, MSc dengan pendapatan guru Sekolah Dasar Negeri di Jakarta, juga pada tahun 2011. Selain mendapatkan gaji pokok Rp 2,3 juta dan tunjangan sertifikasi Rp 2,3 juta setiap bulan, mereka mendapatkan tunjangan kinerja daerah Rp 4 juta setiap bulan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. ”Lumayan, setiap bulan bisa memperoleh pendapatan di atas Rp 8,6 juta,” kata Karsono, Kepala SD Negeri Duri Pulo 1, Gambir, Jakarta Pusat, yang sudah mengajar 26 tahun dan berada di golongan IV/A.

Dengan pendapatan di atas Rp 8,6 juta per bulan pada tahun 2011, bahkan melebihi gaji seorang Prof. Dr. Ir. MSc. pada tahun yang sama, wajarkah jika kita berharap kompetensi guru dan mutu guru yang bersangkutan meningkat? Cukupkah pendapatan itu bagi sang guru untuk meningkatkan kualitas dirinya? Bisakah sebagian dari pendapatan itu disisihkan sang guru untuk membeli buku terbaru tentang ilmu yang diajarkannya? Misalnya, Rp 50.000 satu bulan untuk membeli sebuah buku yang relevan, kemudian membacanya?

Dalam konteks DKI Jakarta, kompetensi guru dan mutu guru pada tahun 2014 lalu, hasilnya sama dan sebangun dengan hasil yang dipaparkan Sumarna Surapranata pada Selasa (7/7/2015) di atas. “Pernah dites, hasilnya dua per tiga guru di DKI Jakarta, nilainya di bawah 50. Ini kan gawat,” kata Basuki Tjahaja Purnama[4] di Balai Kota DKI Jakarta, pada Jumat (2/5/2014). Tentu saja gawat, karena DKI Jakarta kerap dijadikan parameter pendidikan. Pada masa itu Ahok masih sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Melihat kualitas guru, mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang sangat buruk tersebut, Basuki Tjahaja Purnama mengancam akan memecat guru-guru yang berkualitas buruk itu. Untuk DKI Jakarta, dengan tingkat kesejahteraan guru yang cukup baik, barangkali perdebatan bisa lebih fokus pada kompetensi guru dan mutu guru. Sebagaimana dikemukakan Sumarna Surapranata di atas, "Yang utama, guru harus memacu diri untuk update dengan perkembangan ilmu di bidangnya dan ilmu kependidikan."

Foto kiri, suasana Uji Kompetensi Guru SMK Otomotif di Bengkel Otomotif Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta. Materi yang diujikan meliputi kemampuan guru dalam mengajar praktik dan kompetensi keteknikan di bidang otomotif. Foto kanan, kualifikasi pendidikan guru di lingkungan Kemdikbud. Foto: pendidikan-teknik-otomotif.ft.uny.ac.id dan print.kompas.com

Inisiatif Guru, Keteladanan Guru

Ada lagi celah untuk berkilah dari kompetensi guru dan mutu guru, yaitu pendidikan dan pelatihan guru. Apakah untuk meningkatkan kualitas diri sebagai guru, seorang guru hanya bergantung pada pendidikan dan pelatihan guru? Tidak mungkinkah guru meningkatkan kualitas dirinya secara mandiri? Salah satunya, dengan membaca buku yang relevan? Bukankah guru seharusnya merupakan sosok yang memiliki inisiatif untuk meningkatkan kualitas keguruannya? Dalam konteks pendidikan, bukankah guru hendaknya menjadi teladan bagi murid, dalam hal berinisiatif meraih ilmu?

Orangtua murid, karena menyadari bahwa para guru sebagian besar under kompetensi, telah berinisiatif dengan memberikan les tambahan kepada anak-anak mereka. Baik les bahasa asing, les matematika, dan les yang lain-lain. Padahal, andai saja kompetensi guru dan mutu guru di atas rata-rata, tentulah para orangtua murid tersebut tak perlu lagi mengeluarkan biaya les untuk anak mereka. Inisiatif tersebut mereka tempuh untuk menambal rendahnya kompetensi guru dan mutu guru.

Adakah para guru, khususnya di DKI Jakarta, menyadari hal tersebut? Mestinya, bila kesadaran itu ada, dua per tiga guru di DKI Jakarta yang nilainya di bawah 50 pada tahun 2014, sudah meningkatkan kualitas keguruannya. Hal tersebut bukan saja demi tanggung jawab guru kepada murid, tapi lebih pada tanggung jawab guru pada profesi yang mereka lakoni. Dalam hal minat baca, misalnya, Mendikbud Anies Baswedan mengingatkan bahwa proses membaca tersebut harus dimulai dari orang-orang yang terdekat dengan murid.

"Pertama itu guru, guru harus punya minat baca. Orang tua harus punya minat baca. Lalu, anak-anak diajak membaca,” kata Anies Baswedan di Kantor Wakil Presiden, Kompleks Istana, Jalan Veteran III, Jakarta Pusat, pada Jumat (19/12/2014). Dengan kata lain, bukan hanya murid yang harus tekun belajar, Bu Buru dan Pak Guru pun sudah sepatutnya menjadi contoh dalam hal ketekunan belajar, salah satunya dengan meningkatkan kompetensi dan mutu sebagai guru.

Jakarta, 8 Juli 2015

--------------------------

Semangat kalangan muda untuk menjadi guru, patut kita apresiasi, khususnya kesediaan mereka untuk mengajar di pedalaman:

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/1-481-sarjana-melamar-untuk-jadi-guru-di-daerah-tertinggal_54f366c8745513a22b6c73a8

--------------------------

[1] Sumarna Surapranata menggarisbawahi temuan tersebut, terlepas dari ada yang mempermasalahkan validitas atau alat ukur UKG, nyatanya memang kondisi guru kita masih berat. Karena itu, hasil UKG menjadi salah satu dasar penting untuk mendesain pendidikan dan pelatihan guru yang sesuai untuk tiap guru. Selengkapnya bisa dibaca Mutu Guru Belum Menggembirakan yang dilansir print.kompas.com pada Selasa, Siang | 7 Juli 2015 14:47 WIB.

[2] USAID PRIORITAS mengadakan program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) untuk guru di Malang pada 1-2 Juli 2015 untuk 10 kabupaten/kota, kemudian pada 6-7 Juli 2015 untuk sembilan kabupaten/kota. Untuk 10 kabupaten/kota diikuti 73 peserta dari Banyuwangi, Situbondo, Lumajang, Lamongan, Pasuruan, Sidoarjo, Pamekasan, Sampang, Bangkalan, dan Bojonegoro.

[3] Gaji berikut tunjangan seorang profesor riset yang berada dalam pangkat tertinggi golongan IV/E, masih lebih rendah daripada gaji guru Sekolah Dasar di Jakarta dan sekitarnya. Selengkapnya bisa dibaca Di Indonesia, Gaji Profesor Lebih Rendah dari Guru SD, yang dilansir kompas.com, pada Selasa, 25 Oktober 2011 | 06:12 WIB.

[4] Kualitas guru buruk itu terlihat dari tes kompetensi yang pernah dilakukan Pemprov DKI Jakarta terhadap guru di Jakarta. Hasilnya, dua per tiga dari guru di DKI Jakarta mendapatkan nilai di bawah 50. Selengkapnya bisa dibaca Tes Kompetensi, Mayoritas Guru DKI Dapat Nilai di Bawah 50, yang dilansir beritasatu.com, pada Jumat, 02 Mei 2014 | 15:07 WIB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun