Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Kompetensi Guru: Mari Kita Belajar Bersama, Agar Guru Hebat dan Murid Pintar

8 Juli 2015   06:29 Diperbarui: 8 Juli 2015   07:22 1552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Bawah 50, Nilai Sebagian Besar Guru di Jakarta

Mari kita bandingkan gaji Prof. Dr. Ir. Jan Sopaheluwakan, MSc dengan pendapatan guru Sekolah Dasar Negeri di Jakarta, juga pada tahun 2011. Selain mendapatkan gaji pokok Rp 2,3 juta dan tunjangan sertifikasi Rp 2,3 juta setiap bulan, mereka mendapatkan tunjangan kinerja daerah Rp 4 juta setiap bulan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. ”Lumayan, setiap bulan bisa memperoleh pendapatan di atas Rp 8,6 juta,” kata Karsono, Kepala SD Negeri Duri Pulo 1, Gambir, Jakarta Pusat, yang sudah mengajar 26 tahun dan berada di golongan IV/A.

Dengan pendapatan di atas Rp 8,6 juta per bulan pada tahun 2011, bahkan melebihi gaji seorang Prof. Dr. Ir. MSc. pada tahun yang sama, wajarkah jika kita berharap kompetensi guru dan mutu guru yang bersangkutan meningkat? Cukupkah pendapatan itu bagi sang guru untuk meningkatkan kualitas dirinya? Bisakah sebagian dari pendapatan itu disisihkan sang guru untuk membeli buku terbaru tentang ilmu yang diajarkannya? Misalnya, Rp 50.000 satu bulan untuk membeli sebuah buku yang relevan, kemudian membacanya?

Dalam konteks DKI Jakarta, kompetensi guru dan mutu guru pada tahun 2014 lalu, hasilnya sama dan sebangun dengan hasil yang dipaparkan Sumarna Surapranata pada Selasa (7/7/2015) di atas. “Pernah dites, hasilnya dua per tiga guru di DKI Jakarta, nilainya di bawah 50. Ini kan gawat,” kata Basuki Tjahaja Purnama[4] di Balai Kota DKI Jakarta, pada Jumat (2/5/2014). Tentu saja gawat, karena DKI Jakarta kerap dijadikan parameter pendidikan. Pada masa itu Ahok masih sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Melihat kualitas guru, mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang sangat buruk tersebut, Basuki Tjahaja Purnama mengancam akan memecat guru-guru yang berkualitas buruk itu. Untuk DKI Jakarta, dengan tingkat kesejahteraan guru yang cukup baik, barangkali perdebatan bisa lebih fokus pada kompetensi guru dan mutu guru. Sebagaimana dikemukakan Sumarna Surapranata di atas, "Yang utama, guru harus memacu diri untuk update dengan perkembangan ilmu di bidangnya dan ilmu kependidikan."

Foto kiri, suasana Uji Kompetensi Guru SMK Otomotif di Bengkel Otomotif Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta. Materi yang diujikan meliputi kemampuan guru dalam mengajar praktik dan kompetensi keteknikan di bidang otomotif. Foto kanan, kualifikasi pendidikan guru di lingkungan Kemdikbud. Foto: pendidikan-teknik-otomotif.ft.uny.ac.id dan print.kompas.com

Inisiatif Guru, Keteladanan Guru

Ada lagi celah untuk berkilah dari kompetensi guru dan mutu guru, yaitu pendidikan dan pelatihan guru. Apakah untuk meningkatkan kualitas diri sebagai guru, seorang guru hanya bergantung pada pendidikan dan pelatihan guru? Tidak mungkinkah guru meningkatkan kualitas dirinya secara mandiri? Salah satunya, dengan membaca buku yang relevan? Bukankah guru seharusnya merupakan sosok yang memiliki inisiatif untuk meningkatkan kualitas keguruannya? Dalam konteks pendidikan, bukankah guru hendaknya menjadi teladan bagi murid, dalam hal berinisiatif meraih ilmu?

Orangtua murid, karena menyadari bahwa para guru sebagian besar under kompetensi, telah berinisiatif dengan memberikan les tambahan kepada anak-anak mereka. Baik les bahasa asing, les matematika, dan les yang lain-lain. Padahal, andai saja kompetensi guru dan mutu guru di atas rata-rata, tentulah para orangtua murid tersebut tak perlu lagi mengeluarkan biaya les untuk anak mereka. Inisiatif tersebut mereka tempuh untuk menambal rendahnya kompetensi guru dan mutu guru.

Adakah para guru, khususnya di DKI Jakarta, menyadari hal tersebut? Mestinya, bila kesadaran itu ada, dua per tiga guru di DKI Jakarta yang nilainya di bawah 50 pada tahun 2014, sudah meningkatkan kualitas keguruannya. Hal tersebut bukan saja demi tanggung jawab guru kepada murid, tapi lebih pada tanggung jawab guru pada profesi yang mereka lakoni. Dalam hal minat baca, misalnya, Mendikbud Anies Baswedan mengingatkan bahwa proses membaca tersebut harus dimulai dari orang-orang yang terdekat dengan murid.

"Pertama itu guru, guru harus punya minat baca. Orang tua harus punya minat baca. Lalu, anak-anak diajak membaca,” kata Anies Baswedan di Kantor Wakil Presiden, Kompleks Istana, Jalan Veteran III, Jakarta Pusat, pada Jumat (19/12/2014). Dengan kata lain, bukan hanya murid yang harus tekun belajar, Bu Buru dan Pak Guru pun sudah sepatutnya menjadi contoh dalam hal ketekunan belajar, salah satunya dengan meningkatkan kompetensi dan mutu sebagai guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun