Uji kompetensi guru mencakup para guru di TK, SD, SMP, sekolah luar biasa, SMA, dan SMK. Dari ujian ini, hanya 192 guru, sebagian besar guru SMP, yang mencapai nilai 90-100. Sementara hampir 130.000 guru lainnya hanya mencapai nilai antara 0 dan 30. Uji kompetensi guru mengukur empat kompetensi, yakni kompetensi akademik, pedagogi, sosial, dan kepribadian. Banyak guru yang justru tidak menguasai materi ajarnya. Foto: lpmpriau.go.id dan 1.bp.blogspot.com
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Dari sekitar 1,6 juta guru yang mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG), hanya 200.000 guru yang meraih nilai di atas 60. Yang meraih nilai 0-30 ada sekitar 130.000 guru. Selebihnya meraih nilai di bawah 50, dari rentang nilai 0-100 yang diacu UKG.
Itulah yang dikemukakan Sumarna Surapranata[1], Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) di Jakarta, pada Selasa (7/7/2015). Apa yang dikemukakan Sumarna Surapranata tersebut, tentu saja dengan cepat menjadi ajang perdebatan, sebagaimana halnya reaksi publik terhadap sejumlah temuan yang terkait dengan kompetensi guru dan mutu guru. Dan, sebagaimana biasanya, perdebatan itu menggelinding menjadi perdebatan tentang kesejahteraan guru, fasilitas sekolah, yang ujung-ujungnya konteks kompetensi guru dan mutu guru tidak lagi menjadi poin utama dari perdebatan tersebut.
Memacu Diri untuk Update Ilmu
Hasil UKG yang dipaparkan Sumarna Surapranata tersebut, tentulah mencemaskan banyak pihak. Para guru cemas, karena sebagian besar dari 1,6 juta guru yang mengikuti UKG tersebut, ternyata sebagian besar hanya mampu meraih nilai di bawah 50. Para orangtua murid juga cemas, apa jadinya anak-anak mereka bila dididik oleh para guru yang under kompetensi tersebut? Pemerintah, khususnya yang membidangi pendidikan, mestinya juga cemas.
Bagaimana bangsa ini mampu bersaing dengan level kualitas sumber daya manusia yang demikian? "Yang utama, guru harus memacu diri untuk update dengan perkembangan ilmu di bidangnya dan ilmu kependidikan," ujar Sumarna Surapranata. Bila guru diposisikan sebagai profesi, maka sudah menjadi kewajiban guru untuk meningkatkan kualitas dirinya, sesuai dengan profesinya.
Silvana Erlina[2], Koordinator USAID PRIORITAS Jawa Timur, menjabarkan, seorang guru berkualitas harus memiliki beberapa kriteria, yakni kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Bagaimana guru bisa meningkatkan kualitas dirinya, jika kesejahteraan guru tidak mencukupi? Bagaimana guru bisa membeli buku terbaru tentang ilmu yang diajarkannya, jika untuk biaya hidup sehari-hari saja, gaji guru tidak mencukupi? Sebagaimana dikemukakan di atas, perdebatan tentang kompetensi guru dan mutu guru, selalu bermuara pada aspek kesejahteraan guru dan fasilitas sekolah.
Ini bukan perdebatan baru. Ini sudah bertahun-tahun diperdebatkan dan belum ada solusi yang memadai. Beragamnya gradasi tingkat kesejahteraan guru di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan ke berbagai pedalaman tanah air, membuat perdebatan ini makin lama dan panjang. Ini sama juga halnya dengan perdebatan tentang bidang penelitian, dunia riset di tanah air, yang perkembangannya tak kunjung signifikan. Konteks riset dikaitkan dengan kompetensi guru dan mutu guru, karena sama-sama mengacu pada penguasaan ilmu serta pendalaman ilmu.
Pada tahun 2011, tepatnya Senin (24/10/2011), Prof. Dr. Ir. Jan Sopaheluwakan[3], MSc, pakar ilmu kebumian yang sudah bekerja sekitar 30 tahun di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bercerita bahwa gaji pokok seorang profesor riset golongan IV/E di LIPI pada tahun itu, Rp 3,6 juta per bulan. Gaji ini ditambah tunjangan peneliti Rp 1,6 juta per bulan. ”Jadi, total gaji yang saya terima Rp 5,2 juta per bulan,” kata sang profesor memberikan rincian.