Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Reshuffle, Kabinet Profesional Tak Mampu Dongkrak Kepercayaan Pasar

5 Juli 2015   05:19 Diperbarui: 5 Juli 2015   07:38 1793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benarkah kabinet akan dirombak? Presiden tidak menjawab dengan tegas: benar atau tidak. Kapan kabinet akan dirombak? Presiden juga tidak menjawab. Maka, desas-desus perombakan kabinet memenuhi atmosfir politik negeri ini. Bergulir dari mulut ke mulut, merebak dari media ke media, dan akhirnya bermuara pada ketidakpastian. Foto: print.kompas.com  

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Bung Karno hanya butuh 20 menit di lorong Istana Bogor untuk mengganti dua menteri di kabinetnya[1]. Ia tahu apa yang ia mau dan ia paham mau dibawa ke mana negeri ini. Kita tidak butuh janji Presiden. Yang kita butuhkan adalah Presiden yang taat janji, yang pantas kita teladani.

Reshuffle alias perombakan kabinet, bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Yang melempar bola panas itu adalah Wakil Presiden, Jusuf Kalla, yang menyatakan bahwa perombakan susunan Kabinet Kerja atau reshuffle, akan dilakukan oleh Presiden Joko Widodo pada waktunya nanti. "Nantilah itu, pada waktunya. Nanti," kata Wapres Jusuf Kalla, seusai menghadiri acara buka puasa di DPP Partai Nasdem, pada Sabtu (20/6/2015). Acara buka puasa bersama tersebut digelar di halaman Kantor DPP Partai Nasdem, Jl. RP Soeroso, Gondangdia, Jakarta Pusat. Sejumlah pejabat, mulai dari petinggi partai politik, akademisi, hingga kepala lembaga tinggi negara, tampak hadir. Berdasarkan jadwal, acara itu bakal dimulai pada pukul 17.00 WIB, tapi para tamu undangan telah berdatangan sejak pukul 16.00 WIB.

Gaduh Dalam Lingkaran Istana

Itulah pertama kali wacana reshuffle muncul ke permukaan. Wacara itu menguat setelah Presiden Jokowi meminta para pembantunya untuk mengumpulkan laporan kerja evaluasi selama 6 bulan terakhir. Menurut Jokowi, rapor kinerja menteri yang dimintanya, tak akan dibuka ke publik. "Rapor menteri hanya Presiden yang tahu," kata Jokowi, seusai acara buka puasa bersama di kediaman Ketua DPR Setya Novanto, di Jl. Widya Chandra, Jakarta Selatan, pada Selasa (23/6/2015).

Besoknya, pada Rabu (24/6/2015), Wapres Jusuf Kalla meminta masyarakat untuk sabar menunggu, apakah nantinya Presiden melakukan perombakan kabinet atau tidak. "Tunggu saja, kepingin amat dengan reshuffle? Belumlah, sabar-sabar saja," ucap Jusuf Kalla[2]. Lemparan bola panas serta kalimat bersayap Wapres Jusuf Kalla tersebut, tentu saja meruyak ke mana-mana serta menimbulkan banyak pertanyaan dari masyarakat.

Tak hanya sampai di situ. Empat hari kemudian, pada Minggu (28/6/2015), Mendagri Tjahjo Kumolo menaikkan suhu wacana tersebut. "Kalau sampai ada menteri yang sudah dipilih dan dilantik, masih melakukan hal-hal yang tidak mendukung kebijakan Presiden secara terbuka, apalagi mengecilkan arti Presiden, saya yakin Bapak Presiden sudah dapatkan data-data siapa menteri yang tak loyal,” tutur Mendagri Tjahjo Kumolo usai buka puasa di kediaman Menko PMK, Puan Maharani, Jl. Denpasar Raya, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Minggu (28/6/2015).

Dalam sekejap, sosok yang disebut Tjahjo Kumolo sebagai menteri yang mengecilkan arti Presiden tersebut beredar di ranah maya. Rini Soemarno disebut sebagai sosok menteri yang dimaksud. Gayung bersambut. Dua hari kemudian, pada Selasa (30/6/2015), Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno, mengaku pasrah jika Presiden Joko Widodo benar-benar mencopot ia dari jabatannya. "Saya di sini kan ditunjuk Bapak Presiden Joko Widodo, saya mendapatkan kepercayaan dari Beliau untuk memimpin kementerian BUMN," kata Rini Soemarno di Gedung DPR, Jakarta, pada Selasa (30/6/2015).

Sehari sebelumnya, pada Senin (29/6/2015), Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Syafii Maarif, bertemu dengan Jokowi di Istana Presiden. Seusai pertemuan tersebut, Syafii Maarif mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo mengisyaratkan akan melakukan perombakan kabinet atau reshuffle. Menurut Syafii Maarif, reshuffle kabinet memang menjadi suatu keharusan. Alasannya, sekitar delapan bulan berjalannya pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, belum tampak perubahan signifikan, khususnya di bidang ekonomi.

Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syafii Maarif, mengadakan pertemuan sekitar 40 menit dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin (29/6/2015). Menurut Syafii Maarif, perekonomian Indonesia melambat, produk domestik menurun, harga sejumlah komoditas juga turun. Kondisi itu memicu pengangguran yang luar biasa. Foto: print.kompas.com

Gaduh Istana = Gaduh Partai Politik

Dari rentetan pernyataan Jusuf Kalla, Tjahjo Kumolo, Rini Soemarno, dan Syafii Maarif, kita bisa merasakan bahwa ada gaduh di lingkaran dalam Istana, juga di barisan Kabinet Kerja. Kegaduhan itulah yang kemudian terkuak melalui media. Dalam konteks komunikasi, di tengah terpuruknya nilai tukar rupiah, melambatnya gerak perekonomian, serta menurunnya tingkat kepercayaan investor, kegaduhan tersebut tak semestinya dibiarkan berlama-lama menjadi santapan publik.

Soliditas Istana dengan barisan Kabinet Kerja adalah sesuatu yang sudah sepatutnya dijaga serta dikelola dengan baik. Kegaduhan di atas dengan jelas menunjukkan bahwa semua itu bukan dalam konteks beda pendapat dan adu argumen, tapi lebih mencerminkan friksi di kalangan para petinggi negeri ini. Dan, itu sangat jauh maknanya dari apa yang disebut profesional. Kalau kita mau berpikir jernih, kegaduhan di Istana dan di barisan Kabinet Kerja, nyaris sama dan sebangun dengan kegaduhan yang terjadi di tengah elit Partai Politik.

Padahal, mereka yang berada di Istana dan di barisan Kabinet Kerja adalah mereka yang diklaim Presiden Joko Widodo sebagai sosok-sosok yang profesional. Mereka dipilih sebagai pembantu Presiden karena keprofesionalan mereka. Apakah Presiden salah pilih? Apakah para profesional tersebut berubah pikiran setelah menduduki jabatan? Publik tentu bisa menilai, siapa yang sesungguhnya bertindak secara profesional demi kepentingan bangsa dan siapa yang berbuat sebagai Petugas Partai semata.

Dalam sekitar delapan bulan berjalannya pemerintahan ini, semestinya sudah cukup waktu untuk menggalang para profesional tersebut menuju arah yang hendak dicapai oleh Presiden. Namun, kegaduhan demi kegaduhan di Istana dan di barisan Kabinet Kerja, menunjukkan lemahnya fungsi koordinasi dalam pemerintahan secara keseluruhan. Karena rendahnya tingkat soliditas di Istana dan di barisan Kabinet Kerja, dengan sendirinya tercipta gorong-gorong, yang memungkinkan banyak pihak melakukan intervensi.

Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas, membahas soal penyerapan anggaran tahun 2015 di Kantor Presiden, pada Kamis (2/7/2015). Presiden meminta agar para menteri tak pesimistis dalam menghadapi ekonomi yang kini sedang melemah. Menurut Jokowi, kondisi ekonomi sekarang ini memang pada kondisi yang melesu, tapi kita tidak perlu pesimistis. Foto: kompas.com

Dari Wacana Menjadi Nyata

Pertemuan Presiden Jokowi dengan 11 ekonom dan kalangan pelaku usaha di Istana Negara, Jakarta, pada Senin (29/6/2015), sesungguhnya sebuah sinyal kuat yang menandakan bahwa ada kebuntuan ekonomi yang hendak didobrak. Ada upaya untuk meraih kepercayaan pasar. Berbagai kegaduhan di Istana dan di barisan Kabinet Kerja, telah menimbulkan persepsi negatif di pasar. Kegaduhan tersebut dimaknai para investor sebagai realitas bahwa konsolidasi politik belum sepenuhnya tuntas.

Ekonom Senior Bank Mandiri, Destry Damayanti, yang hadir dalam pertemuan tersebut, menyatakan, Jokowi secara tersirat menyatakan sangat kecewa dengan kinerja para menterinya, terutama di bidang ekonomi. Dasarnya, pertumbuhan ekonomi nasional pada semester pertama melambat. Apakah Presiden salah pilih? Apakah para profesional tersebut berubah pikiran setelah menduduki jabatan? Ekonom Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetyantono, yang juga hadir dalam pertemuan tersebut, menilai, lemahnya kepercayaan pasar kepada tim ekonomi pemerintah yang menyebabkan perekonomian Indonesia terus melemah.

Dengan kata lain, perombakan Kabinet Kerja benar-benar sudah tinggal di depan mata. Bukan lagi sekadar wacana. Ini merupakan pertaruhan penting bagi kredibilitas Presiden Jokowi untuk benar-benar secara independen menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat. Karena, dalam kenyataannya, menteri yang pintar dan didukung banyak pihak, ternyata bisa lumpuh karena tidak memiliki kemampuan untuk menggerakkan birokrasi.

Itu terbukti dengan rendahnya serapan anggaran di tiap kementerian. Artinya, program yang bagus, rencana yang cemerlang, hanya bertahan sampai di tingkat proposal, tapi tak kunjung dieksekusi di lapangan. Serapan anggaran yang rendah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya daya beli masyarakat. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro[3] mencatat, per 25 Juni 2015, penyerapan APBN-P 2015 masih sekitar 35 persen dari seluruh anggaran yang ada. Ini sekaligus juga mencerminkan rendahnya performa para profesional di barisan Kabinet Kerja.  

Jakarta, 5 Juli 2015

--------------------------------------

Wakil Presiden, Jusuf Kalla, mengakui bahwa ekonomi Indonesia memang bermasalah

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/kalla-akui-ekonomi-indonesia-bermasalah-pemerintah-genjot-investasi_55790082a623bdeb67175736

----------------------------------------

[1] Sesuai pasal 17 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945, reshuffle adalah hak prerogatif presiden. Sukarno diangkat menjadi presiden pada 18 Agustus 1945 kemudian melantik kabinetnya pada 2 September 1945. Kabinet Presidensial pertama itu terdiri atas 12 orang menteri departemen ditambah oleh 5 orang menteri negara yang tidak memimpin suatu departemen, dan 2 orang menteri muda. Hanya 2 bulan 12 hari kemudian, Menteri Keamanan Rakyat yang dijabat oleh Supriyadi digantikan oleh Sulyadi Kusumo. Menteri Keuangan yang sebelumnya dijabat Dr Samsi digantikan oleh Mr AA Maramis, yang sebelumnya menjabat Menteri Negara. Kabinet ini jatuh karena ada perubahan sistem pemerintahan dari sistem Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer.

[2] Selengkapnya bisa dibaca JK: Menteri Dikritik Boleh asal Jangan Diganggu, yang dilansir kompas.com, pada Rabu, 24 Juni 2015 | 14:06 WIB.

[3] Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, mengungkapkan, per 25 Juni 2015, serapan anggaran baru 35 persen dari total belanja untuk kementerian/lembaga yang berjumlah Rp 640 triliun. Tingkat penyerapan terendah yakni Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang berubah nomenklaturnya. Hal itu diungkapkan Bambang seusai sidang kabinet paripurna di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Kamis (2/7/2015).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun