Tetap Optimis, Terus Tumbuh
”Saya datang ke sini ingin menunjukkan, investasi akan berjalan dan terus tumbuh. Jika ada yang meragukan (ekonomi Indonesia) tidak akan tumbuh, itu keliru besar. Sebentar lagi dapat dilihat, bulan depan akan mulai, dan bulan berikutnya akan maju,” kata Presiden saat meresmikan dimulainya pembangunan menara kembar ”Indonesia 1” milik Surya Paloh, di Jakarta, Sabtu (23/5/2015).[2]
Dengan optimisme yang demikian, setidaknya Presiden ingin menegaskan bahwa ketidaktercapaian pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2015 dan ketidaktercapaian pendapatan pajak pada semester I-2015 di atas, tidak bisa dengan gegabah disimpulkan sebagai ketidaktercapaian target secara tahunan. Sebagai kepala negara, memang sudah seharusnya Presiden senantiasa mengobarkan optimisme kepada publik. Karena, apa jadinya bangsa ini kalau dipimpin oleh Presiden yang pesimis. Iya, kan?
Bahwa berbagai pihak berargumen, sesuai dengan kapasitas dan agenda masing-masing, itu adalah bagian dari dinamika dari kebebasan berpendapat. Kepala Mandiri Institute, Destry Damayanti[3], misalnya, mengkritik kinerja para menteri yang dianggapnya tak mampu mendatangkan minat para investor. Para investor dihadapkan pada realita bahwa selama enam bulan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, penyerapan anggaran sangat rendah.
Hingga Juni 2015 ini, serapan anggaran kementerian baru 40 persen. Praktis, tidak ada pembangunan yang terlihat secara signifikan di Indonesia. Ini juga memperlambat pertumbuhan ekonomi, dalam konteks konsumsi, yang tercermin pada rendahnya daya beli masyarakat. Realitas ini dengan sendirinya juga menurunkan minat investor untuk merealisasikan investasi mereka. Para pemilik dana menunda untuk memutar uang mereka, memilih wait and see.
Salah satu indikatornya adalah meningkatnya jumlah nasabah di bank, dengan simpanan di atas Rp 2 miliar. Mereka inilah yang dikenal sebagai nasabah kaya. Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per April 2015 menunjukkan, jumlah rekening nasabah kaya 210.668 rekening dengan total simpanan mencapai Rp 2.351,56 triliun. Jumlah ini tumbuh 15,77 persen dibandingkan dengan April 2014. Bila pemilik dana menginvestasikannya dalam bentuk usaha, tentu lapangan kerja akan terbuka dan pertumbuhan ekonomi tidak selambat ini.
Motto: Kerja, Kerja, Kerja
Tidak butuh waktu lama, tagar #SudahlahJokowi bertengger di daftar topik tren jejaring mikroblog Twitter untuk pengguna di Indonesia. Tagar tersebut muncul sejak sekitar pukul 09.00 pada Selasa (30/6/2015) dan mencapai puncaknya pada tengah hari. Demonstrasi di Twitter ini berisi cuitan para netizen yang merundung Presiden Jokowi dan memintanya untuk menyerah. Menurut mereka, munculnya sejumlah permasalahan, seperti perombakan kabinet, kegagalan memperbaiki kondisi perekonomian bangsa, merupakan beberapa contoh yang seharusnya membuat Presiden bercermin pada kinerjanya dan bertanggung jawab.[4]
Presiden optimis, investor wait and see, daya beli melemah, dan ekonomi melambat. Ini tentulah momen yang ditunggu-tunggu para politisi untuk merangsek masuk dengan agenda politik mereka: reshuffle. Yang belum kebagian jabatan, berebut jabatan. Yang belum kebagian proyek, berebut proyek. Yang sudah kebagian jabatan dan proyek, masih berebut juga untuk meraup jabatan dan proyek sebanyak-banyaknya, seakan tak pernah cukup.
Rakus? Entahlah. Dari sejarah perjalanan bangsa ini, kita tentu sama-sama tahu, betapa banyak politisi kita yang gemar bermain di air keruh, memancing di tengah gemuruh. Politisi yang sudah mengemban suatu jabatan yang diamanahkan rakyat, dengan mudahnya meninggalkan amanah tersebut untuk melompat ke jabatan yang lebih tinggi. Politisi tidak punya komitmen untuk melaksanakan tugas atas jabatan yang mereka emban, hingga akhir masa jabatan. Apalagi bila ada kesempatan untuk melompat. Alasan yang umum digunakan politisi adalah karena merasa terpanggil untuk berjuang demi rakyat.