Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gratis, Biaya Sekolah Menengah Tingkat Atas yang Berstatus Negeri di DKI Jakarta

30 Juni 2015   04:54 Diperbarui: 30 Juni 2015   04:54 5834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto kiri, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, berfoto bersama siswa SMK Negeri 27, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Senin (13/4/2015). Mereka berfoto bersama sebelum melaksanakan Ujian Nasional (UN). Foto kanan, puluhan siswa mengikuti proses belajar komputer di laboratorium komputer yang berjumlah 40 unit di SMA Negeri 34, Pondok Labu, Jakarta Selatan, Jumat (6/3/2015). Foto: print.kompas.com dan kompas.com

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Pemda DKI Jakarta, mulai tahun ajaran Juni 2015 ini, menggratiskan biaya pendidikan[1]. Ini berlaku untuk semua murid di seluruh sekolah menengah tingkat atas yang berstatus negeri di wilayah DKI Jakarta. Tiap bulan, Pemda DKI menanggung biaya operasional Rp 400.000 per siswa.

Kebijakan Pemda DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama ini, patut diapresiasi. Suwarna, Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat SMA Negeri 78, Kemanggisan, Jakarta Barat, memberikan rincian biaya yang ditanggung Pemda DKI Jakarta tersebut: siswa dibebaskan dari berbagai kutipan, seperti uang pembangunan, uang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), uang buku, uang praktik, dan biaya operasional lain. Artinya, yang ditanggung orangtua murid hanya biaya personal siswa, seperti seragam dan alat tulis yang digunakan sehari-hari.

Prestasi, Sinergi Orangtua dengan Anak

Apa yang dilakukan Pemda DKI Jakarta ini adalah bagian dari upaya untuk meringankan beban orangtua siswa. Kita tahu, beban yang harus ditanggung orangtua untuk membiayai hidup di Jakarta, tidaklah ringan. Karena itu, para orangtua berusaha keras agar anak mereka bisa masuk ke sekolah negeri, yang biayanya relatif lebih rendah dibanding sekolah swasta. Dengan pembebasan biaya sekolah tersebut, tentu sekolah negeri makin terjangkau oleh banyak warga.

Dengan sendirinya, persaingan siswa untuk masuk sekolah negeri pun kian ketat. Mereka yang diterima, hanya yang memiliki nilai ujian akhir tinggi, sesuai dengan standar yang sudah ditentukan pihak sekolah. Dalam konteks ini, daya tampung sekolah merupakan faktor yang dominan. Di sisi lain, proses seleksi tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari implementasi hakekat pendidikan itu sendiri, yaitu memacu siswa agar sungguh-sungguh belajar, agar lulus dengan nilai yang baik.

Kesungguhan dalam belajar, menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan siswa. Dalam hal ini, peran orangtua tentulah sangat memengaruhi. Orangtua yang sungguh-sungguh mendampingi anak mereka dalam belajar, besar kemungkinan akan mendorong sang anak untuk berprestasi. Nah, dengan prestasi itu, sang anak akan leluasa memilih serta memasuki sekolah negeri, yang dengan sendirinya juga akan mengurangi beban biaya yang harus ditanggung orangtua.

Dengan demikian, korelasi antara biaya pendidikan dengan beban biaya yang harus ditanggung orangtua, sangat erat kaitannya dengan bagaimana orangtua membangun sinergi dengan anak mereka. Anak yang nilainya bagus, tentulah akan memiliki banyak peluang untuk menggapai cita-citanya. Dalam hal ini terkait dengan memilih sekolah yang diinginkan. Bukankah pendidikan sang anak merupakan tanggung jawab orangtua? Inilah hakekat pendidikan yang kerap digaungkan para ahli.

Untuk meningkatkan kesungguhan anak belajar, selain pendampingan dari orangtua, juga akan lebih baik bila disertai partisipasi warga. Warga RW 05, Kelurahan Koja, Jakarta Utara, misalnya, sudah menerapkan sistem jam wajib belajar kepada warganya, sejak tahun 2012, yang dikenal dengan istilah Kampung Cerdas. Ketua Karang Taruna Kelurahan Koja, Erick Panjaitan, mengungkapkan, penerapan jam wajib belajar dulunya hanya diterapkan di RT 08 dan 09, tapi kemudian meluas, karena warga merasakan manfaat positifnya. Foto: kompas.com

Daya Tampung, Tidak Terbatas

Di DKI Jakarta, setidaknya terdapat 116 Sekolah Menengah Atas Negeri dan 60 Sekolah Menengah Kejuruan Negeri, yang dikelola oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta, sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001. Kadarwati, Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pendidikan, Dinas Pendidikan DKI Jakarta, menilai bahwa kapasitas seluruh sekolah menengah atas tersebut, sesungguhnya mampu menampung seluruh lulusan sekolah menengah pertama dari DKI Jakarta.

Kadarwati menegaskan, tidak ada kekurangan daya tampung bagi siswa yang ingin mendaftar ke sekolah negeri. “Nggak terbatas daya tampungnya. Ada beberapa orang tua calon murid yang menolak anak mereka bersekolah siang atau sekolah petang,” tutur Kadarwati[2], menjelaskan beberapa alasan orangtua yang memilih tidak memasukkan anak mereka ke sekolah negeri. Ini artinya, warga yang bersangkutan memilih untuk tidak memanfaatkan fasilitas gratis, yang telah disediakan oleh Pemda DKI Jakarta.

Dalam hal ini, warga memang memiliki keleluasaan untuk memilih sekolah yang sesuai untuk anak mereka. Selain karena alasan sekolah siang atau sekolah petang, ada juga sebagian warga yang memilih memasukkan anak mereka ke sekolah swasta, meski harus membayar lebih mahal. Ini terutama karena sebagian warga menganggap bahwa mutu sekolah negeri yang bisa dimasuki anak mereka, lebih rendah dari mutu sekolah swasta yang hendak mereka masuki.

Perdebatan tentang kesenjangan mutu pendidikan di sekolah negeri dan di sekolah swasta, memang telah menjadi perdebatan dari tahun ke tahun, dan nampaknya tak ada habis-habisnya. Bukan hanya di DKI Jakarta, tapi juga dalam konteks pendidikan secara nasional. Pada Senin (21/3/2011), Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh[3], memaparkan, hanya 10,15 persen sekolah yang memenuhi standar nasional pendidikan.

Motivasi untuk belajar perlu dibangun dengan suka-cita, karena belajar sesungguhnya adalah kebutuhan, bukan beban. Ini salah satu momen suka-cita, saat Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, ber-selfie bersama para siswa SMA Negeri 2, Taman Sari, Jakarta Barat, ketika Basuki meninjau pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di sekolah tersebut, pada Selasa (14/4/2015). Foto: liputan6.com

Tidak Ada Lagi yang Putus Sekolah

Terlepas dari pilihan warga, terkait mutu sekolah negeri dan mutu sekolah swasta, kebijakan Pemda DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama ini, tetap patut diapresiasi. Setidaknya, ini merupakan solusi untuk mengatasi angka putus sekolah di DKI Jakarta. Basuki Tjahaja Purnama[4] menegaskan, tidak akan ada lagi anak yang tidak sekolah maupun putus sekolah di DKI Jakarta. Saat Basuki masuk ke Pemprov DKI menjadi Wakil Gubernur DKI, survei membuktikan 40 persen anak usia 16-18 tahun tidak sekolah karena tidak memiliki biaya.

Mengacu kepada apa yang diungkapkan Kadarwati di atas, bahwa tidak ada kekurangan daya tampung bagi siswa yang ingin mendaftar ke sekolah negeri, kemudian dikorelasikan dengan pernyataan Basuki Tjahaja Purnama tersebut, jelas sekali bahwa titik tekan pembebasan biaya sekolah ini adalah untuk mengatasi 40 persen anak usia 16-18 tahun di DKI Jakarta yang tidak sekolah karena tidak memiliki biaya. Bagaimanapun juga, anak-anak yang tidak atau putus sekolah, tentulah akan menjadi beban Pemda DKI Jakarta.

Sebagai kota besar, sebagai ibukota negara, mereka yang tidak bersekolah tersebut tentulah akan menimbulkan masalah sosial, yang tidak kecil dampaknya. Baik dalam wujud tindak kriminalitas, maupun terkait dengan keresahan sosial. Kita tahu, mereka yang tidak bersekolah tersebut akan tersisih atau tersingkirkan dari persaingan perebutan sumber-sumber kehidupan. Di sektor formal, mereka tersingkir karena tidak memiliki formalitas berupa ijazah. Di sektor informal, mereka tersisih karena tidak memiliki skill yang memadai serta tidak punya kecupukan modal untuk berwirausaha.

Sementara, tingkat persaingan makin sengit. Badan Pusat Statistik[5] (BPS) mencatat, pada Agustus 2014, di Indonesia ada 9,5 persen penganggur, sekitar 688.660 orang, yang merupakan alumni perguruan tinggi. Mereka memiliki ijazah diploma tiga atau ijazah strata satu alias bergelar sarjana. Dari jumlah itu, jumlah penganggur paling tinggi, 495.143 orang, merupakan lulusan universitas yang bergelar sarjana. Bukan tidak mungkin, sebagian besar dari penganggur terdidik tersebut berada di DKI Jakarta, yang dianggap menyediakan lapangan kerja lebih banyak dibanding di wilayah lain.

Artinya, kebijakan Pemda DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama ini, hendaklah dilihat sebagai rangkaian upaya untuk mencerdaskan warga kota. Warga yang kurang mampu, dapat kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan yang layak. Dalam konteks yang lebih luas, ini juga merupakan langkah positif untuk menekan pertumbuhan angka putus sekolah secara nasional yang terus meningkat, di tengah perlambatan ekonomi serta rendahnya pertumbuhan ekonomi secara nasional.

Jakarta, 30 Juni 2015

----------------------------------------

Tentang kesiapan infrastruktur teknologi informasi di sekolah menengah tingkat atas di DKI Jakarta, bisa dibaca selengkapnya di

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/un-online-hanya-3-dari-542-sma-di-jakarta-yang-siap_55290dbef17e61a42e8b4664

------------------------------------------

[1] Pembebasan biaya sekolah ini dianggap sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam menjamin hak pendidikan warganya. Selengkapnya bisa dibaca Gratis, Biaya Sekolah di DKI Jakarta, yang dilansir print.kompas.com pada Senin, 29 Juni 2015.

[2] Penjelasan Kadarwati tersebut selengkapnya bisa dibaca di Daya Tampung Terbatas, Sekolah Negeri Jadi Rebutan, yang dilansir sinarharapan.co, pada Kamis, 11 Juni 2015 l 19:00 WIB.

[3] Mohammad Nuh memaparkan, berdasarkan data yang ada, 40,31 persen dari 201.557 sekolah di Indonesia berada di bawah standar pelayanan minimal (SPM), sekitar 48,89 persen pada posisi SPM. Hanya 10,15 persen sekolah yang memenuhi standar nasional pendidikan. Hal tersebut terungkap dalam rapat kerja Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh, dan Komisi X DPR di Jakarta, pada Senin (21/3/2011) malam.

[4] Basuki Tjahaja Purnama mengemukakan hal tersebut, seusai meninjau pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di SMA Santa Ursula, Jakarta Pusat, pada Senin (13/4/2015).

[5] Penjelasan Badan Pusat Statistik tersebut selengkapnya bisa dibaca di Ijazah Saja Kini Tak Cukup Lagi, yang dilansir kompas.com pada Rabu, 4 Februari 2015 | 12:59 WIB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun