Pabrik CPO Pertama Milik Petani
Dari sekitar 20 pabrik pengolahan kelapa sawit di Kalimantan Selatan, pabrik ini adalah yang pertama dan satu-satunya yang dimiliki petani di provinsi tersebut. Ya, pabrik ini sepenuhnya milik 2.800 petani sawit di Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Kotabaru. Mereka merupakan anggota koperasi petani sawit setempat. Sungguh tidak mudah mewujudkan pabrik ini, karena secara finansial, kemampuan mereka terbatas. Mereka adalah petani perseorangan, yang luas kebun masing-masing sangat beragam.
Mengingat keterbatasan dana tersebut, mereka berusaha mendekati pihak perbankan, untuk membantu pembiayaan. Mereka kemudian merancang skema pembiayaan: sebesar 60 persen dari perbankan dan 40 persen dari petani. Di tengah gelora ekonomi kerakyatan yang digembar-gemborkan penguasa, di tengah keberpihakan pada petani yang tiada henti dihembuskan penguasa, para anggota koperasi sawit tersebut tentu saja optimis. Mereka yakin bahwa kalangan perbankan akan memberikan dukungan dana, demi terwujudnya pabrik milik petani tersebut.
Ternyata eh ternyata, tidak satu pun bank yang mau mengucurkan dana. Beragam alasan serta beragam analisa mereka kemukakan untuk menjelaskan ketidakmauan mereka. Perhitungan kalangan perbankan tersebut, tentulah terlalu canggih untuk bisa dicerna para petani perseorangan itu. Apa hendak dikata, petani sawit perseorangan yang tergabung dalam koperasi petani sawit tersebut, tentu saja tak berdaya menghadapi institusi keuangan sekelas bank yang mentereng.
Apakah para petani anggota koperasi itu menyerah? Tidak. Mereka paham, dana senilai Rp 130 miliar untuk mendirikan pabrik CPO itu memang bukan angka yang kecil. Bagi petani perseorangan seperti mereka, itu angka yang sangat besar. Tapi, tekad 2.800 petani sawit di Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Kotabaru itu sudah bulat: ingin memiliki pabrik CPO sendiri. Mereka ingin mengolah tandan buah segar dari kebun sawit mereka secara mandiri. Bukan untuk melawan konglomerasi sawit tapi karena ingin mandiri di tanah sendiri, dengan kebun sawit sendiri, serta mengolahnya di pabrik sendiri.
Urunan Petani, Pengusaha Lokal, dan Tokoh Masyarakat
Secara bertahap, para petani anggota koperasi itu urunan, sesuai kemampuan masing-masing. Melihat kesungguhan serta kebersamaan mereka, pengusaha lokal juga turut serta membantu pembiayaan. Bukan hanya itu. Tokoh masyarakat setempat pun tergerak untuk urunan. Sungguh, partisipasi yang menginspirasi. Ini tentu saja menggembirakan, karena inspirasi para petani tersebut telah menggugah kalangan yang berada di luar lingkaran petani.
Mekanisme urunan pendirian pabrik ini mengacu kepada mekanisme saham, dengan harga Rp 2,5 juta per lembar saham. Koperasi petani sawit tersebut, Perkebunan Sinar Kencana, beranggotakan 2.800 orang. Koperasi ini kemudian membentuk perusahaan, PT Batulicin Agro Sentosa, untuk mengelola operasional pengolahan kelapa sawit yang dimaksud. Menurut Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kalsel, Amin Nugroho, mayoritas investasi pendirian pabrik ini berasal dari anggota koperasi, yang sesungguhnya merupakan petani sawit.
Pabrik pengolahan kelapa sawit di Karang Bintang, sekitar 15 kilometer dari Batulicin, ibu kota Kabupaten Tanah Bumbu, tersebut, merupakan pabrik pengolahan kelapa sawit yang pertama di Indonesia, yang dibangun dan dioperasikan oleh petani sawit. Ini realitas yang menggembirakan, sekaligus sangat menyedihkan. Kenapa? Mengacu kepada data yang dikemukakan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, Hari Priyono, dalam Indonesian Palm Oil Conference and 2015 Price Outlook (IPOC) ke-10 di The Trans Luxury Hotel, Bandung, pada Kamis (27/11/2014), 4,4 juta hektar lahan sawit dimiliki oleh petani.
Hari Priyono mengungkapkan, total luas lahan kelapa sawit di Indonesia mencapai 10,5 juta hektar. Artinya, sebelum ini, para petani kelapa sawit tidak memiliki satu pun pabrik pengolahan kelapa sawit, meski petani memiliki 4,4 juta hektar lahan sawit. Ini sesungguhnya menunjukkan bahwa pemerintah belum hadir untuk para petani sawit. Pemerintah belum berpihak kepada petani sawit. Pemerintah membiarkan petani sawit semata-mata hanya menjadi obyek oleh para konglomerasi yang menguasai bisnis sawit, perdagangan sawit, serta pengolahan sawit berikut produk turunannya.