Sebagaimana diketahui, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran sarjana atau lulusan universitas pada Februari 2013 mencapai 360 ribu orang atau 5,04% dari total pengangguran yang mencapai 7,17 juta orang. Sementara, jumlah partisipasi kasar penduduk yang mengenyam pendidikan strata 1, baru 20 persen, sekitar 6 juta orang. Hal itu dikemukakan Triyogi Yuwono, Rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya, periode 2011-2015, dalam Refleksi Tiga Tahun Pelaksanaan MP3EI, Jumat (5/9/2014). MP3EI adalah Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia.
Dalam konteks tidak dilanjutkannya suatu program untuk desa, bila program tersebut adalah program pemerintah, ini adalah bagian dari mekanisme politik pergantian kekuasaan. Dengan demikian, di masa mendatang, para sarjana haruslah lebih cermat memperhatikan kontrak kerja dalam program yang diikuti, termasuk tentang kelanjutan program ketika terjadi pergantian kekuasaan. Jika ada pelanggaran kontrak, tentu bisa ditempuh jalur hukum untuk penyelesaiannya.
Program Desa dengan Agenda Politik
Apa yang dialami pengelola program Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan di Perdesaan (PSP-3) dan pengelola Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MPd), hendaknya menjadi pembelajaran bagi kita semua, khususnya mereka yang terkait dengan program tersebut. Karena, bukan tidak mungkin, sejumlah program yang menyasar desa, sesungguhnya merupakan agenda politik penguasa pada saat berkuasa.
Dengan kata lain, program untuk desa sengaja diciptakan sebagai bagian dari penggalangan dukungan massa di desa, untuk melanggengkan kekuasaan, tapi dengan packagingmemberdayakan masyarakat desa. Para politisi tentulah sudah terbiasa memainkan pola bantuan desa ini. Intinya sih sama, meski namanya diganti sesuai kehendak penguasa yang sedang berkuasa. Meskipun ada modifikasi di sana-sini agar nampak berbeda tapi tetap saja sarat dengan kepentingan dan agenda politik.
Demikian pula halnya dengan aliran dana desa yang kini sedang berlangsung. Mekanisme pengucuran dananya pun diolah sedemikian rupa, agar durasinya cukup panjang. Ini bisa dicermati, misalnya, dari pernyataan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Marwan Jafar, bahwa pencairan dana desa sebesar Rp 1,4 miliar per desa dijadwalkan bertahap hingga tahun 2018. Hal itu ia ungkapkan usai sarasehan dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD), camat, dan kepala desa di aula Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara, Jawa Tengah, pada Kamis (9/4/2015).
Kenapa hingga tahun 2018? Setting periode pencairan dana desa tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari agenda politik penguasa yang sedang berkuasa. Harap diingat, Pemilu dan Pilpres mendatang, rencananya dilaksanakan serentak tahun 2019. Bisa jadi, aliran dana desa tahap akhir tersebut akan dieksekusi penguasa, menjelang atau bertepatan dengan masa kampanye. Hahaha makin kentara deh agenda politik yang dibungkus dengan kemasan dana desa ini.