Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kota Mukomuko, Spirit Desa Cerdas Menuju Kota Cerdas

18 Mei 2015   11:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:52 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Muhammad Zabur (berdiri) petani dan petugas irigasi Desa Aur Cina, Kecamatan Selagan Raya, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, ikhlas menjual kebun sawitnya untuk mendirikan sekolah full gratis, Madrasah Tsanawiyah (MTs) Syuhada, tahun 2012. Ia ingin mencerdaskan warga desanya yang minim akses pendidikan dan lemah secara ekonomi. Tahun 2015 ini, 10 murid madrasah tersebut untuk pertama kali mengikuti Ujian Nasional. Foto: 4.bp.blogspot.com

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Kota Mukomuko mungkin terasa asing, tapi dari sana kita bisa belajar tentang makna belajar yang sesungguhnya. Ada petani, yang atas inisiatif sendiri, mendirikan sekolah gratis. Ada perempuan dengan titel sarjana, juga atas kemauan sendiri, mengabdi sebagai guru, tanpa pernah meminta honor.

Inilah hidup yang bermartabat, yang dimulai dengan niat, kemudian berbuat. Dan, buah dari perbuatan itu sudah dinikmati orang banyak, sudah bermanfaat bagi khalayak. Sekali waktu, datang dan lihatlah ke sana, ke Desa Aur Cina, Kecamatan Selagan Raya, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu. Kota Mukomuko adalah ibukota Kabupaten Mukomuko, yang menjadi pusat pemerintahan. Kabupaten ini, 1 dari 9 kabupaten yang ada di wilayah Provinsi Bengkulu.

Aur Cina, Spirit Cerdas

Desa Aur Cina barangkali kelak akan tercatat sebagai desa yang menjadi sumber inspirasi bagi gerakan Kota Mukomuko menuju Kota Cerdas. Meski, saat ini, di desa itu hanya ada satu sekolah setingkat sekolah menengah pertama, yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTs) Syuhada. Meski, tahun ini, baru merupakan tahun pertama bagi murid sekolah itu mengikuti Ujian Nasional (UN).

MTs Syuhada adalah sekolah swasta yang baru pertama kali memiliki pelajar tingkat akhir, karena itu sekolah ini belum bisa melaksanakan UN secara mandiri di sekolahnya sendiri. Untuk mengikuti UN 2015, yang berlangsung secara nasional selama empat hari, sejak Senin (04/5/2015) hingga Kamis (07/5/2015), sekolah tersebut menginduk ke MTs Negeri terdekat, yakni di Desa Lubuk Mukti, yang berjarak lebih dari 30 kilometer dari Aur Cina. UN 2015 tingkat SMP/MTs di Provinsi Bengkulu, diikuti 32.818 murid.

UN 2015 ini menjadi salah satu penanda, betapa spirit cerdas telah tumbuh dengan sangat kuat di Desa Aur Cina. Orang tua, guru, pengelola sekolah, dan 10 murid yang ikut UN tahun ini, secara bersama-sama mencari serta menemukan solusi dari segenap keterbatasan yang mereka miliki. Mereka tidak pasrah pada keadaan. Mereka tidak menyerah pada minimnya fasilitas pendidikan. Dalam diri mereka telah bersemi spirit cerdas, need for achievement yang kuat.

Sebagaimana dituturkan Nasiun, Kepala Sekolah MTs Syuhada, keberangkatan para siswa tersebut diiringi doa dan zikir bersama, yang digelar Minggu (3/5/2015), sehari sebelum pelaksanaan UN. Di Desa Lubuk Mukti, mereka menyewa rumah sebagai tempat tinggal sementara, selama UN. Biaya transportasi pulang-pergi 10 siswa sebesar Rp 400 ribu, biaya makan dan sewa rumah Rp 60 ribu per hari untuk satu orang murid. Seluruh biaya tersebut ditanggung oleh pihak sekolah.

[caption id="attachment_366375" align="aligncenter" width="558" caption="Susita (berdiri) adalah salah seorang dari 14 orang guru di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Syuhada. Ia sarjana lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Geografi, di Universitas Hazairin, Bengkulu. Semua guru di madrasah ini adalah sarjana. Ia bersama para guru bertekad mencerdaskan warga desanya. Minimnya fasilitas pendidikan, jauhnya lokasi madrasah di pedalaman, itu bukan halangan bagi mereka untuk berbuat, demi mencerdaskan anak-anak bangsa. Foto: tempo.co"]

14319231572037123456
14319231572037123456
[/caption]


Mengayomi Sepenuh Hati

Selama mengikuti UN 2015 ini, guru dari mata pelajaran yang diujikan, secara bergantian mendampingi murid di rumah sewa tersebut. Misalnya, besok yang diujikan mata pelajaran Bahasa Indonesia, maka malam ini guru mata pelajaran Bahasa Indonesia akan mendampingi murid belajar di sana. Demikian juga dengan mata pelajaran yang lain. Melalui pendampingan ini, murid dengan leluasa mendalami mata pelajaran yang bersangkutan secara intensif.

Persiapan yang sungguh-sungguh ini mereka tempuh untuk mencapai hasil yang maksimal. Murid berjuang, guru memperjuangkan murid, orang tua memotivasi anak, dan pengelola sekolah mengayomi seluruh proses tersebut dengan sepenuh hati. Muhammad Zabur, pemilik MTs Syuhada, bukan hanya mengayomi, tapi ia telah dan akan terus mengerahkan seluruh jiwa-raga serta sebagian hartanya untuk kebangkitan sekolah ini.

Muhammad Zabur, 51 tahun, sesungguhnya adalah seorang petani, warga Desa Aur Cina. Ia mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Syuhada ini karena prihatin melihat tingginya angka putus sekolah di desanya. Sebagian besar warga desanya tidak mampu menyekolahkan anak mereka ke jenjang sekolah menengah, karena alasan ekonomi. Sekolah menengah adanya di lain desa, hingga membutuhkan biaya yang mahal untuk transportasi dan kebutuhan sekolah lainnya.

Karena itulah Muhammad Zabur menguatkan niatnya untuk mendirikan Madrasah Tsanawiyah di desanya, agar anak-anak warga desa bisa mengenyam pendidikan sekolah menengah. Muhammad Zabur bertekad sejak awal, Madrasah Tsanawiyah yang akan ia dirikan, tidak memungut biaya apa pun kepada murid alias full gratis. Ia ingat pesan dari kedua orangtuanya, agar ia bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi masyarakat, di bidang kemanusiaan.

[caption id="attachment_366376" align="aligncenter" width="681" caption="Foto kiri: Suasana proses belajar-mengajar di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Syuhada pada tahun 2014. Foto kanan: ruang kelas dan meja belajar tahun 2015 sudah dicat untuk menambah kenyamanan dalam menuntut ilmu. Pendidikan adalah proses yang tiada henti, sebagaimana proses kehidupan itu sendiri. Foto: 3.bp.blogspot.com dan tempo.co"]

1431923264734827366
1431923264734827366
[/caption]


Memang Gila untuk Edukasi

Muhammad Zabur akhirnya secara nyata mewujudkan berdirinya sekolah menengah di desanya, yang kemudian ia beri nama Madrasah Tsanawiyah (MTs) Syuhada, setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), pada 30 Maret 2012. Sekolah ini berada di Jl. Depati 6, Desa Aur Cina, dan benar-benar tidak memungut biaya apa pun kepada murid alias full gratis. Tahun 2015 ini, untuk pertama kalinya, ada 10 murid sekolahnya yang mengikuti Ujian Nasional.

"Sekolah ini modal awalnya dari saya dan istri saya. Kami bersepakat menjual kebun sawit, lalu hasil penjualannya, saya sisipkan beberapa gram emas untuk istri. Selebihnya, uang itu kami belikan tanah seluas seperempat hektar untuk mendirikan sekolah," ujar Muhammad Zabur, sebagaimana ditulis kompas.com pada Senin, 21 April 2014 | 19:19 WIB, Dirikan Sekolah Gratis di Bengkulu, Petani Ini Sempat Dianggap Gila.

Sesungguhnya, apa yang dilakukan Muhammad Zabur benar-benar gila, gila pada edukasi. Kegilaan untuk mencerdaskan warga desanya inilah yang barangkali kelak akan mencatat Desa Aur Cina sebagai desa yang menjadi sumber inspirasi bagi gerakan Kota Mukomuko menuju Kota Cerdas. Prof. Toshio Obi, pakar pengembangan kota cerdas atau smart city dari Waseda University, Tokyo, dalam pertemuan Kota Cerdas Asia Afrika atau Africa Smart City Summit (AASCS) di Trans Luxury Hotel, Bandung, Rabu (22/4/2015), mengatakan, pengembangan kota cerdas di kawasan Asia Afrika kerap terkendala oleh beberapa hal, antara lain, pendanaan, pengembangan sumber daya manusia (SDM), pemerintahan, dan tata kelola.

Merunut kepada apa yang dikemukakan Toshio Obi tersebut, setidaknya Muhammad Zabur sudah melangkahkan kakinya untuk konteks pengembangan sumber daya manusia (SDM), melalui jalur pendidikan. Dan, sebagaimana kita paham, pendidikan adalah salah satu jalan untuk meningkatkan kualitas SDM. Sadar akan pentingnya kualitas SDM, meski merupakan sekolah full gratis, Muhammad Zabur merekrut para sarjana untuk menjadi guru di sana. Semua guru di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Syuhada adalah sarjana.

[caption id="attachment_366377" align="aligncenter" width="780" caption="Para pelajar Madrasah Tsanawiyah (MTs) Syuhada sedang latihan baris-berbaris untuk upacara bendera. Latar belakang nampak kondisi bangunan sekolah. Ini situasi-kondisi tahun 2014. Meski sempat dianggap gila, tapi sang pendiri, Muhammad Zabur, tetap teguh niat serta tekadnya, demi untuk mencerdaskan warga desanya. Foto: kompas.com"]

1431923370260819358
1431923370260819358
[/caption]


Satu Niat, Satu Tekad

Perbuatan baik, seringkali berjodoh pula dengan perilaku baik. Niat baik kerap pula dipertemukan dengan yang baik. Itulah yang bisa kita saksikan di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Syuhada. Niat baik Muhammad Zabur bertemu dengan orang baik bernama Susita, yang juga warga Desa Aur Cina. Perempuan cantik berusia 23 tahun ini adalah salah seorang dari 14 orang guru di madrasah tersebut. Ia sarjana lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Geografi, di Universitas Hazairin, Bengkulu.

Tiga kali sepekan, dengan total jam mengajar 10 jam per pekan, Susita menjadi bagian dari proses belajar-mengajar untuk mencerdaskan anak-anak petani di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Syuhada. Dari rumahnya, Susita menggunakan kendaraan bermotor untuk pergi mengajar. Ia cukup tangkas mengendarai sepeda motornya, melalui jalan-jalan desa yang licin dan becek, berzig-zag untuk melintasi jalan yang berlubang-lubang.

Semua itu bukan halangan bagi Susita, juga bukan hambatan bagi guru-guru yang lain. Karena, niat mereka sama dengan niat Muhammad Zabur: mencerdaskan warga desa. Gaji yang diterima para guru, boleh dibilang hanya untuk sekadar pengganti uang bensin. "Semua guru di sini sarjana dan mereka bekerja dengan ikhlas, bahkan tidak digaji. Kalaupun ada sumbangan dari beberapa donatur, barulah mereka gajian. Namun, selebihnya guru-guru kami tidak digaji, mereka bekerja secara swadaya dan ikhlas," kata Muhammad Zabur, yang sehari-hari bekerja sebagai seorang petani dan petugas irigasi di desa tersebut.

Keikhlasan serta kesungguhan Muhammad Zabur telah memotivasi mereka untuk turut berkontribusi, turut berpartisipasi sesuai kapasitas masing-masing. Demikian pula halnya dengan partisipasi warga desa dalam membangun sekolah ini secara gotong-royong tanpa upah. Partisipasi warga untuk memenuhi kebutuhan bersama adalah salah satu komponen penting dalam membangun Kota Cerdas. Itu sudah terjadi, sudah terwujud di Desa Aur Cina. Maka, tidak berlebihan rasanya bila Desa Aur Cina kelak akan tercatat sebagai desa yang menjadi sumber inspirasi bagi gerakan Kota Mukomuko menuju Kota Cerdas.

Jakarta, 18 Mei 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun