Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Inspirasi dari Petani: Mandiri Tanpa Pupuk Pestisida

1 Februari 2014   11:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:16 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_293250" align="aligncenter" width="546" caption="SD Negeri Kramat I Kota Magelang, Jawa Tengah, menerapkan budidaya tanaman organik di halaman sekolah. Selain menanam bunga, mereka juga menanam cabai, sawi, kubis, terong, hingga daun bawang. Foto: KOMPAS.com/Ika Fitriana"][/caption] Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Pupuk pestisida subsidi tak mencukupi kebutuhan petani. Pemerintah memilih impor komoditas pertanian daripada mengurus petani. Adakah jalan bagi petani untuk mandiri, tanpa pupuk pestisida?

Barangkali musisi legendaris Koes Plus dinilai berlebihan menggambarkan kemakmuran negeri ini: orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Tapi, memang demikianlah adanya. Meski, bertahun-tahun, urusan tanaman, urusan pertanian, tak kunjung jadi primadona di negeri ini. Komoditas pertanian tak pernah mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, bahkan seringkali layu sebelum berkembang karena dihajar komoditas pertanian impor.

Pertanian memang tak pernah jadi prioritas dalam agenda pemerintahan, dari presiden ke presiden. Dalam pengadaan pupuk saja, misalnya. Tahun ini, alokasi pupuk pestisida subsidi sebesar 7,7 juta ton, sementara kebutuhan diperkirakan mencapai 9 juta ton. Padahal, bertani adalah aktivitas nenek-moyang kita, tapi pemerintah dari presiden ke presiden tak pernah siap, tak pernah memprioritaskan bidang pertanian. Sebaliknya, pemerintah selalu berpihak pada pedagang, makanya komoditas pertanian impor membanjiri tanah air, hingga ke ujung-ujung gang.

Olah Pikir untuk Mandiri

Sosok Sutan Basa agaknya bisa menjadi gambaran tentang seorang petani yang tak mau bergantung pada pemerintah, setidaknya dalam hal pupuk pestisida bersubsidi. Ia adalah seorang petani biasa, yang secara fisik bisa kita temukan di mana saja, di area pertanian. Yang membedakannya dengan petani lain, barangkali karena ia memiliki spirit untuk mandiri dalam mengelola sawah-ladangnya. Ia tak mau bergantung pada pupuk pestisida, yang harganya, meski sudah disubsidi pemerintah, seringkali tak terjangkau oleh para petani.

Spirit kemandirian itu benar-benar ia mulai dari dirinya sendiri. Ia tak hanya melakoni urusan sawah-ladang sebagai urusan otot semata, tapi juga urusan otak. Di lahan pertaniannya, di Kabupaten Padang Panjang, Provinsi Sumatera Barat, Sutan Basa melakukan olah pikir. Suhu udara yang sejuk di kawasan itu, berada di ketinggian lebih dari 700 mdpl, telah menjadikannya sosok yang inspiratif. Apalagi ada tiga gunung yang mengitarinya yaitu Marapi, Singgalang, dan Tandikek, yang senantiasa menggugah kecintaannya pada alam.

Area sawah-ladangnya sekitar 3 hektar: 2 hektar ia tanami padi sebagai lahan persawahan dan 1 hektar ia tanami sawi putih serta bawang daun sebagai lahan perladangan. Pembagian lahan dan jenis tanaman tersebut dilakukan Sutan Basa untuk menyesuaikan dengan masa panen masing-masing jenis tanaman, hingga kebutuhannya secara finansial senantiasa terjaga.

Dengan cara itu, ia tak sampai terbelit hutang atau didikte para tengkulak. Artinya, kebutuhannya sekeluarga sehari-hari tercukupi hingga sebelum persediaan logistik habis, sudah ada tanaman yang bisa dipanen, yang kemudian menghasilkan uang. Waktu telah mengajarkan kepadanya bahwa segala sesuatunya memang harus diperhitungkan dengan cermat. Itu salah satu wujud hasil olah pikir yang ia lakukan.

Ia tinggal di sekitar sawah-ladangnya. Di belakang rumahnya, Sutan Basa memelihara 4 ekor sapi, yang boleh dibilang merupakan pabrik utama untuk menghasilkan pupuk kompos bagi kebutuhan lahan sawah-ladangnya. Kotoran keempat sapi itu, ia kelola dengan sungguh-sungguh, kemudian ia olah dengan dedaunan plus jerami untuk menghasilkan pupuk kompos yang berkualitas.

Anggarannya Rp 18 Triliun, Kok Pupuk Subsidi Langka?

Sumber: detik.com, Senin, 27 Januari 2014, 15:26 WIB

Hari ini, Komisi IV DPR memanggil Menteri Pertanian, Suswono, untuk meminta penjelasan soal kelangkaan pasokan pupuk subsidi di daerah. Petani di daerah kesulitan mendapatkan pupuk subsidi. "Kelangkaan pupuk subsidi tersebut mungkin karena serapan pupuk lebih tinggi pada Desember. Lalu, ada publikasi dari media karena alokasi pupuk lebih sedikit pada tahun 2013," ujar Suswono dalam Rapat Kerja Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (27/1/2014).

Suswono membantah distribusi pupuk dari Kementerian Pertanian tidak sampai ke para petani. Justru distribusi pupuk terganggu, karena belum terbitnya peraturan dari kepala daerah yaitu gubernur untuk alokasi masing-masing wilayahnya. "Pupuk subsidi sebenarnya sudah ada lini III, belum dapat disalurkan karena belum terbitnya aturan dari gubernur atau bupati untuk alokasi masing-masing wilayah. Karena gubernur/bupati yang memiliki wewenang untuk alokasi pupuk subsidi untuk alokasi masing-masing wilayah, jadi penyaluran pupuk sedikit terganggu pada awal januari," ujarnya.

Urea dari Urine Sapi

Dengan kotoran sapi sendiri, dengan mengolah pupuk kompos sendiri, Sutan Basa menjadi sosok petani yang tak pusing dengan kelangkaan pupuk subsidi pemerintah. Sebagai petani, ia menjalani secara mandiri aktivitasnya, di tengah hiruk-pikuk para politisi, baik di daerah maupun di pusat, yang sibuk mencari kambing hitam penyebab kelangkaan pupuk.

Setiap hari, bukan hanya kotoran sapi yang ia tampung dengan baik, tapi juga kencing alias urine sapi, yang setelah ditampung lalu disimpan beberapa hari di bak penampungan. Urine sapi ini ia manfaatkan sebagai pengganti pupuk urea. Untuk menjaga agar kotoran dan urine sapi bisa dikelola menjadi pupuk, Sutan Basa menata kandang keempat ekor sapinya sedemikian rupa. Itu adalah wujud berikutnya dari hasil olah pikir yang ia lakukan.

Di tengah alam yang sejuk serta penuh inspirasi itu, Sutan Basa tak hanya berhenti melakukan olah pikir pada pemanfaatan kotoran dan urine sapi. Ia juga melakukan eksplorasi terhadap berbagai tanaman yang ada di sekitarnya, yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk kemajuan sawah-ladangnya. Ia paham bahwa alam adalah guru, sebagaimana pepatah Minangkabau, alam takambang jadi guru.

Kepada alam, Sutan Basa berguru. Dari alam, ia belajar memahami makna kehidupan. Dari keseksamaan, dari kecermatan, Sutan Basa kemudian meramu sejumlah tumbuh-tumbuhan di sekitarnya. Ia kemudian sampai pada kesimpulan untuk menghancurkan daun surian dan daun titanium, yang ekstrak campuran dedaunan tersebut ia semprotkan ke sayuran, untuk mencegah serangan hama.

Sebuah hasil olah pikir yang mengesankan: dari alam untuk alam, dari alam kembali ke alam. Perjalanan olah pikir Sutan Basa mengalir secara alami, sebagaimana air mengalir di seputaran sawah-ladangnya. Ia membebaskan diri dari keruwetan serta kelangkaan pupuk pestisida, dengan spirit kemandirian. Ia menyadari bahwa ia tentu tak sendiri. Di tempat lain, di waktu-waktu yang lain, ada orang lain yang juga senantiasa tiada henti membangun kemandirian.

Di Kota Batu, Malang, Jawa Timur, misalnya, ada sekelompok orang membangun kemandirian terhadap gas dengan mengolah kotoran sapi menjadi biogas. Hiruk-pikuk para politisi dengan gas elpiji, sama sekali tak berpengaruh pada sekelompok masyarakat ini. Mereka dengan semangat kebersamaan, bersinergi untuk memenuhi kebutuhan akan energi sehari-hari, tanpa berurusan dengan pemerintah.

Warga Batu Beralih ke Biogas Kotoran Sapi

Sumber: koran tempo, Jumat, 03 Januari 2014

Kenaikan harga elpiji ternyata tak memusingkan warga Dusun Toyomerto, Desa Pesanggrahan, Kota Batu. Perkampungan berpenghuni 800 keluarga ini memilih menggunakan biogas limbah kotoran ternak sapi sejak 2008. Mereka membangun sekitar 27 unit reaktor untuk menangkap gas metana sebagai pengganti gas elpiji. "Dulu setiap bulan membeli gas elpiji Rp 75 ribu," kata Ketua Gabungan Kelompok Tani Mayangsari, R. Soedarmardji, kemarin.

Warga Toyomerto mulai beralih menggunakan biogas untuk memanfaatkan populasi sapi perah yang berjumlah 1.200 ekor. Sekitar 70 persen penduduk menggunakan gas metana sebagai bahan bakar untuk memasak. Selain lebih ekonomis, pemanfaatan gas metana mencegah pencemaran sumber air. "Awalnya peternak membuang kotoran ke aliran sungai yang bermuara ke Sungai Brantas," kata Soedarmadji.

Saling Memberi Manfaat

Sutan Basa serta sekelompok warga di Kota Batu itu, hanya salah satu contoh, dari sekian banyak contoh lain di negeri ini. Mereka mencoba mencari solusi, karena mereka tak mau bergantung pada pemerintah. Mereka paham, para politisi sudah sangat sibuk dengan urusan pilkada, juga sengketa pilkada. Para politisi sudah sangat tersita waktu serta energi mereka dengan tugas-tugas partai politik.

Maka, para petani seperti Sutan Basa, juga warga seperti di Kota Batu itu, memilih cara untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada pemerintah. Padahal, cara sederhana yang mereka lakukan, kalau saja pemerintah punya niat untuk memajukan petani dan pertanian, sesungguhnya bisa diakomodir untuk diterapkan di berbagai pelosok tanah air.

Misalnya, di tiap kabupaten dikembangkan peternakan sapi, hingga bisa saling memberi manfaat dengan dunia pertanian serta perkebunan. Melalui cara ini, tiap kabupaten bisa memiliki pabrik pupuk kompos, yang bisa memenuhi sebagian kebutuhan petani akan pupuk. Toh, secara teknologi dan investasi, pembangunan pabrik pupuk kompos tak besar-besar amat. Buktinya, Sutan Basa, untuk memenuhi kebutuhan 3 hektar lahannya, hanya memerlukan empat ekor sapi, dan ia bisa menanganinya sendiri secara swadaya.

Sementara, untuk memenuhi kebutuhan gas 800 rumah tangga di Kota Batu, mereka cukup memelihara sapi perah 1.200 ekor, yang susu sapi tersebut secara ekonomis juga mendatangkan penghasilan. Alangkah mulia sebenarnya bila pemerintah mengakomodir cara-cara sederhana tersebut untuk menyejahterakan para petani serta orang-orang desa. Setidaknya, beban para petani untuk membeli pupuk bagi kelangsungan aktivitas pertanian mereka, bisa diringankan.

Kalau mau menunggu untuk mewujudkan cara ini dari pusat, mungkin akan sangat lama. Maklum, Presiden sudah sangat sibuk. Bapak-bapak Menteri juga luar biasa kesibukannya. Gubernur di masing-masing provinsi sebenarnya bisa mengambil inisiatif, untuk menggerakkan kehidupan pertanian di wilayah masing-masing. Tentu disesuaikan dengan kondisi dan situasi wilayah setempat. Bukankah komoditas pertanian adalah kebutuhan hidup orang banyak?

Budidaya Organik Pun Ada di Sekolah...

Sumber: kompas.com, Selasa, 7 Januari 2014 | 03:48 WIB

Di Kota Magelang, Jawa Tengah, budidaya organik tak hanya berkembang di perumahan. Budidaya organik merebak pula di sekolah. Salah satunya di SD Negeri Kramat 1 Kota Magelang. Halaman sekolah ini tak luas-luas amat. Namun, aneka tanaman organik berjejer di sana. Dari tanaman bunga hingga sayur-mayur.

Tanaman organik tersebut berada di pot plastik, kaleng bekas, bahkan sekadar tumbuh di dalam kantong plastik. "Sebelumnya halaman sekolah hanya ditanami berbagai bunga," kata Roinah, penjaga SD Negeri Kramat 1, Senin (6/1/2014). Setelah berkonsultasi dengan para guru, lanjut Roinah, tanaman selain bunga pun dicoba. Mulailah muncul cabai, sawi, kubis, terong, hingga daun bawang. Tanaman di halaman sekolah ini memang belum sampai umur panen. Namun, semua tanaman terlihat terawat dan tumbuh baik.

Jakarta 01-02-2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun