[caption id="attachment_342951" align="aligncenter" width="500" caption="Areal sawah Desa Cipakem. Tanah bengkok desa disewakelolakan kepada lima warga. Tiap pengelola diwajibkan menyetor satu kuintal padi ke lumbung desa untuk membantu warga miskin. Desa ini meraih penghargaan Adhikarya Pangan tahun 2012. Foto pikiran-rakyat.com"]
Memotivasi Warga Desa
Untuk memandirikan desa, perangkat desa haruslah menggalang partisipasi warga. Kalaupun tidak semua, setidaknya sebagian besar warga desa terlibat memberikan kontribusi, sesuai dengan kondisi masing-masing warga. Ini memang bukan hal mudah, tapi bukan tidak mungkin dilakukan. Selain faktor kepemimpinan perangkat desa, keluwesan perangkat desa dalam berinteraksi dengan warga juga menjadi salah satu kuncinya.
Dalam konteks ini, kita ambil contoh Desa Cipakem, Kecamatan Maleber, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Secara geografis, desa ini terpencil, sekitar 62 kilometer ke arah timur dari Kota Kuningan. Sudah sejak lama desa ini menjadi salah satu desa tertinggal, yang semata-mata hanya mengandalkan bantuan pemerintah. Desa ini masuk kategori rawan pangan, 335 kepala keluarga atau 1.800 orang dari 6.502 jiwa penduduk desa, merupakan keluarga miskin.
Kebangkitan itu bermula dari seorang pemuda desa, Diding Wahyudin, SPd., kelahiran 3 Oktober 1976. Ia lulusan Universitas Kuningan dan terpilih sebagai kepala desa pada 2008. Salah satu kebijakannya, tanah bengkok desa seluas 500 bata, 7.000 meter per segi, disewakelolakan kepada lima warga. Tiap pengelola diwajibkan menyetor satu kuintal padi ke lumbung desa, dalam satu kali musim panen. “Di lumbung padi desa kami, ada 5 ton gabah kering giling dan diproyeksikan untuk membantu warga miskin,” kata Diding Wahyudin.
Selain itu, hampir 40 persen penduduk Desa Cipakem merantau ke berbagai kota besar, antara lain, ke Jakarta, Bandung, Semarang, bahkan ke Sumatra. Pada Idul Fitri 2008, ketika para perantau mudik, Diding mengadakan silaturahmi. Diajaknya para perantau untuk membeli domba atau sapi, yang kemudian dipelihara warga yang ada di desa, dengan sistem bagi hasil.
Tiap tahun desa ini mampu memasok hewan kurban 2.000 ekor domba atau kambing dan 700 ekor sapi untuk dipasarkan ke Jakarta. Itu hanya dua contoh, bagaimana Desa Cipakem mengelola potensi desanya secara kreatif. Masih ada sejumlah potensi lain di desa ini, yang berhasil mereka olah dengan positif. Atas prestasi ini, Diding Wahyudin menjadi satu-satunya kepala desa di Jawa Barat yang mendapatkan penghargaan Adhikarya Pangan yang diserahkan langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Istana Negara, Jakarta, Selasa (6/12/2012).
Desa Panggungharjo dan Desa Cipakem
Wahyudi Anggoro Hadi dan Diding Wahyudin setidaknya bisa menjadi inspirasi perangkat desa lain di Indonesia. Yang perlu digarisbawahi, mereka melakukan gerakan kreatif di desa masing-masing, secara swadaya. Mereka menggali potensi yang ada di desa yang bersangkutan. Dengan segala keterbatasan, dengan berbagai kendala yang ada, toh mereka mampu menggalang partisipasi warga desa untuk berbuat bersama memandirikan desa.
Mungkin ada yang lebih baik dari mereka berdua. Mungkin ada desa lain yang lebih mandiri dari kedua desa yang saya jadikan contoh dalam tulisan singkat ini. Dengan kata lain, perangkat desa memiliki keleluasaan yang luas untuk mencari serta mendapatkan inspirasi demi memandirikan desa. Bagaimana pun juga, tiap desa memiliki karakteristik yang berbeda dengan desa lain. Hingga, ada bagian dari desa lain yang cocok untuk diadopsi, ada bagian yang perlu dimodifikasi sebelum diimplementasikan.