Di tengah gencarnya kampanye anti rokok serta di antara maraknya larangan merokok, billboard ini tampil mencolok di sejumlah titik strategis. Ada yang tak peduli, ada pula yang mempersoalkannya. Bagaimana para pemangku kepentingan menyikapi aktivitas industri rokok di ruang publik? Foto: harianterbit.com
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Ruang publik ya milik publik. Masyarakat, pemerintah, dan industri memiliki keleluasaan untuk memanfaatkannya. Regulasinya ada di tangan pemerintah yang berkuasa. Tapi, masyarakat bisa bersekutu untuk menekan pemerintah dan industri.
Terhadap iklan Sampoerna A Mild: Mula Mula Malu-Malu, Lama Lama Mau, misalnya. Pemerintah sudah mengizinkan iklan tersebut ditayangkan. Tapi, Hery Chariansyah dari Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Anak dari Zat Adiktif, menekan sang produsen rokok, PT HM. Sampoerna Tbk., agar menghentikan iklan yang bersangkutan.
Ada juga masyarakat yang membuat petisi serta menggalang dukungan di dunia maya. Dukungan mengalir deras. Dalam hitungan jam, ribuan orang yang tak saling kenal secara fisik tapi terkoneksi secara maya, ramai-ramai mengusung petisi berjudul Stop Reklame Mesum pada Iklan Rokok A Mild.
Tidak Pantas untuk Ditampilkan
Hery Chariansyah menilai, "Tagline dan gambar pasangan dalam iklan Sampoerna A Mild tersebut seharusnya tidak pantas untuk ditampilkan, karena visualisasi atas gambar dan tagline dapat ditafsirkan untuk hal-hal yang tidak senonoh dan bertentangan dengan norma sosial yang ada di masyarakat." Media online, harianterbit.com, pada Selasa, 06 Januari 2015, 10:12 WIB, mem-publish pernyataan Hery Chariansyah Sampoerna A Mild Umbar Iklan Rokok Tak Senonoh.
Dalam konteks penggunaan ruang publik, Hery Chariansyah tentu saja berhak memprotes. Anggota masyarakat yang lain, juga punya hak yang sama untuk memprotes. Sebaliknya, masyarakat yang tak sependapat dengan Hery Chariansyah, juga punya hak yang sama untuk menyuarakan pendapat mereka. Toh, ruang publik adalah milik bersama.
Di sisi lain, billboard tersebut tentu tak berdiri tegak menjulang dengan sendirinya. Ada sejumlah proses dan tahapan, hingga sang billboard bisa tampil di ruang publik. Dalam hal ini, pihak yang terkait dengan billboard itu, tentulah tak akan mendirikannya jika tidak diizinkan oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas wilayah. Content harianterbit.com menuliskan bahwa billboard tersebut tersebar di jalan-jalan strategis di kota Jakarta.
Artinya, pemerintah DKI Jakarta telah memberi izin atas billboard itu. Dalam pemberian izin, sudah tentu sejumlah aspek yang terkait dengan billboard itu dicermati dengan sungguh-sungguh. Baik aspek teknis maupun aspek content terkait visualisasi serta teks yang menyertainya. Maka, ketika izin diberikan, kemudian billboard didirikan, berarti Pemprov DKI Jakarta menilai visualisasi serta teks yang menyertainya, adalah sesuatu yang pantas untuk ditampilkan kepada publik di ruang publik, melalui billboard.
[caption id="attachment_345355" align="aligncenter" width="420" caption="Di DKI Jakarta, setidaknya ada 2.000-an lebih minimarket per Selasa (6/1/2015). Di berbagai kota, minimarket juga menjamur. Di tiap minimarket, rokok ditata dengan apik, juga disertai iklan yang menarik. Mini market adalah salah satu tempat favorit anak muda untuk nongkrong dan ngumpul bareng. Foto: lawangsewupos.com"]
Stop Reklame Mesum
Sebenarnya, iklan yang dinilai tak senonoh oleh Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Anak dari Zat Adiktif itu sudah menuai protes dari berbagai kalangan masyarakat, sejak beberapa hari sebelumnya. Di dunia maya, misalnya, sebagaimana ditayangkan situs change.org, pada Senin (5/1/2015), muncul petisi berjudul Stop Reklame Mesum pada Iklan Rokok A Mild. Petisi tersebut ditujukan kepada Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, Judhariksawan, PT. HM Sampoerna Tbk, dan Menkominfo, Rudiantara.
Sejak ditayangkan, hingga Selasa (6/1/2015) pukul 16.00 WIB, petisi tersebut sudah berhasil menggalang lima ribu dukungan dari publik. Menurut petisi, iklan tersebut memberikan pesan negatif kepada masyarakat, khususnya para pemuda dan pemudi. Sebagai perusahaan publik, PT HM Sampoerna Tbk tentu saja sangat mempertimbangkan reaksi publik. Karena, ada kemungkinan, isu reklame mesum ini, bila tak dikendalikan dengan cermat, berimbas pada nilai saham perusahaan yang bersangkutan.
Dengan cepat, HM Sampoerna merespon reaksi dari masyarakat, dengan memutuskan untuk menurunkan seluruh iklan A Mild yang sebelumnya terpampang di reklame. “Kami berterima kasih atas apa yang disampaikan masyarakat. Mulai hari ini, kami akan hentikan iklan dan turunkan reklame yang sudah terpasang,” ujar Head of Regulatory Affairs PT HM Sampoerna Tbk, Elvira Lianita, Selasa (6/1/2015).
Sikap yang ditempuh PT HM Sampoerna Tbk dalam menanggapi reaksi masyarakat, bukan saja segera menghentikan isu yang berkembang, tapi sekaligus juga menunjukkan reputasinya sebagai sebuah perusahaan besar yang handal mengelola komunikasi publik. Bagaimanapun juga, iklan diciptakan untuk menarik perhatian publik. Poin ini sudah diraih HM Sampoerna dengan sukses. Bahwa masyarakat tak setuju dengan message yang dikemas, itu adalah masukan positif bagi perusahaan dalam memahami perilaku masyarakat.
Malam Balas Dendam
Sebagai iklan, Mula Mula Malu-Malu, Lama Lama Mau ini memang lengkap dengan elemen anak muda, secara visual maupun tagline-nya. Rokok A Mild, sejak awal, memang fokus menyasar anak muda. Karena itulah, rokok ini kerap mensponsori berbagai aktivitas kalangan muda, mulai dari fashion, musik, hingga olahraga. Atmosfir kebebasan anak muda, yang lugas dan spontan, adalah konsekuensi logis bagi HM Sampoerna, bila ketemu sandungan.
Dan, ini bukan sandungan yang pertama bagi HM Sampoerna. Pada September 2007, perusahaan rokok ini mendapat protes keras, justru di Surabaya, Jawa Timur, kota yang menjadi basis perusahaan tersebut. Protes itu pertama kali muncul dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Surabaya. Yang diprotes adalah kalimat dalam iklan rokok A Mild di billboard yang terpampang di Jembatan Mayangkara, Jalan Basuki Rahmat, Surabaya.
Tagline iklan ituSiang Dipendam Malam Balas Dendam, Tanya Kenapa. Anggota DPRD Surabaya menilai, iklan itu mengandung unsur sara, terkait dengan pelaksanaan puasa. "Kalimat tersebut sangat sensitif dan melibatkan moral bahwa dari puasa hanya awu-awu. Kalau dibaca anak kecil, apa tidak tertanam di pikirannya. Bisa membahayakan ini," tukas Ketua Komisi D DPRD Surabaya, Ahmad Jabir, Rabu (19/9/2007), sebagaimana diberitakan detik.com, Rabu, 19/09/2007, 18:03 WIB, Iklan Rokok Sampoerna A Mild Diprotes DPRD Surabaya.
Ahmad Jabir waktu itu berharap Pemkot segera berkoordinasi dengan pihak pemasang iklan dan mengganti dengan kalimat yang lebih baik atau iklan tersebut diturunkan saja. Marketing Public Relation Manager PT HM Sampoerna, Yudy Rizard Hakim, merespon protes tersebut dalam rilis resminya pada waktu itu, setiap versi A Mild Tanya Kenapa harus dibaca secara utuh dan kalimatnya harus diakhiri dengan Tanya Kenapa. Respon HM Sampoerna dalam menanggapi reaksi publik ketika itu, sangat berbeda dengan yang ditunjukkan saat ini terkait iklan Mula Mula Malu-Malu, Lama Lama Mau.
Zaman berubah, kondisi-situasi berbeda. Pada masa 2007 itu, dunia maya dan media sosial belum dikenal luas di Indonesia. Media online memang sudah ada tapi masih terbatas. Jumlah pengguna internet juga masih terbatas. Dengan demikian, isu Malam Balas Dendam tersebut tak sampai meluas dengan cepat sebagaimana halnya Mula Mula Malu-Malu, Lama Lama Mau ini. Keberadaan media sosial, setidaknya menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pola serta strategi corporate communication PT HM Sampoerna dalam menyikapi reaksi publik.
Jakarta, 07-01-2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H