Kedelai Toleran Kekeringan. Ini varietas baru kedelai, bahan baku pembuatan tempe dan tahu, yang ditunjukkan Kepala Balai Pemulia Kedelai, Muchlish Adie, di Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (BALITKABI) Kendalpayak, Malang, Jawa Timur, Jumat 27 Juli 2012. Foto: TEMPO/Aris Novia Hidayat
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
90 persen kacang kedelai yang digunakan untuk bahan baku tempe dan tahu di Indonesia, diimpor dari Amerika. Itu kata Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Robert O Blake. Total luas lahan kedelai nasional saat ini, 700-800 ribu hektar. Mampukah kedelai lokal menggusur kedelai Amerika?
Sepotong tempe telah menjadi ikon keberagaman, membebaskan kita dari segenap perbedaan. Tempe bisa tergolek di piring kuli bangunan dan pada saat yang bersamaan juga jadi santapan yang lezat saat lunch para pialang saham di stock exchange. Tempe bisa pula menyelinap di sela lipatan nasi bungkus kaum pengangguran dan pada saat yang sama juga jadi hot topic para menteri dalam sidang kabinet dengan presiden di istana.
Bukan Pokok Tapi Penting
Dalam konteks pangan, tempe memang bukan makanan pokok, karena nasi senantiasa berada di urutan pertama. Meski demikian, sebaran tempe yang bermula dari kedelai, sesungguhnya tak kalah dibanding sebaran padi yang merupakan awal dari nasi. Hampir di tiap pelosok negeri ini, kita bisa menemukan kedelai yang ditanam para petani. Baik sebagai tanaman sela, maupun sebagai komoditi utama.
Demikian pula dengan padi, baik sebagai tanaman prioritas di areal persawahan, maupun sebagai tanaman sela di sawah tadah hujan, yang diutamakan untuk perladangan. Dengan kata lain, meski kedelai bukan kategori makanan pokok tapi keberadaan kedelai bagi penduduk negeri ini sudah dianggap penting, sejak zaman nenek-moyang.
Puluhan tahun, tempe dan tahu sebagai kerabatnya, menjadi simbol makanan rakyat, makanan murah. Hingga, potret sepiring nasi dengan sepotong tempe serta sepotong tahu, telah menjadi simbol menu paling standar. Diproyeksikan, mereka yang berpenghasilan paling rendah di negeri ini, akan mampu membeli tempe dan tahu. Artinya, tempe bukan lambang kekayaan, bukan simbol kaum gedongan.
Maka, ketika harga tempe dikaitkan dengan kurs dollar, berjuta-juta penduduk negeri ini tercengang, terbelalak. Bukankah dollar itu urusan orang kaya, mereka yang tinggal di gedongan? Bagaimana ceritanya kok tempe bersangkut-paut dengan mata uang dunia itu? Hal ini terkait dengan keterbukaan informasi kepada publik. Selama ini, yang paling terbuka dibahas dan gaungnya paling keras adalah tentang impor beras. Padahal, Indonesia juga mengimpor kedelai, bahan baku tempe, sejak tahun 1970, yang detailnya bisa dilihat pada tabel berikut:
Impor Kedelai Sejak Tahun 1970
Dari data resmi Badan Pusat Statistik (BPS), impor kedelai selama Januari 2014 mencapai USD 86 juta, dengan volume mencapai 149.000 ton. Impor kedelai dari Amerika Serikat mencapai USD 84 juta, dengan volume impor 146.000 ton. Sebagai negara agraris, yang sebagian besar penduduknya adalah petani, volume impor komoditas pertanian tersebut tentu saja membuat miris.
Ketua Gabungan Pengusaha Tahu dan Tempe Indonesia (Gapoktindo), Aip Syarifudin, menjelaskan, produksi kedelai lokal yang masih minim menjadi alasan membeludaknya impor. Apalagi, kebutuhan kedelai nasional dari tahun ke tahun, selalu lebih tinggi dibandingkan kenaikan produksi nasional. Tahun 2014, kebutuhan kedelai nasional mencapai 3 juta ton, sementara produksi nasional hanya sekitar 1 juta ton.
Mau tak mau, agar tak terjadi kekurangan bahan baku, impor digenjot. Tabel di atas menunjukkan, Indonesia sudah mengimpor kedelai sejak tahun 1970. "Jika produksi nasional cukup, pengusaha lebih pilih kedelai lokal," ujar Aip Syarifudin, Kamis (30/10/2014).Konsekuensinya, sebagai barang impor, harganya sangat berkaitan dengan dollar, mata uang dalam perdagangan internasional. Mahal atau murahnya harga kedelai impor itu, sangat tergantung pada nilai tukar rupiah terhadap dollar.
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat hingga menembus 12 ribu rupiah per dolar AS, membuat harga kedelai impor untuk bahan baku tahu dan tempe, ikut melambung. Akibatnya, harga sepotong tempe pun melejit, jadi terasa mahal bagi tukang becak dan kuli bangunan, yang pendapatan mereka terbatas. Harga sepotong tempe jadi terasa makin mahal, karena harga-harga kebutuhan pokok lain pun sudah membubung tinggi. Ongkos angkutan umum pun membubung.
Inilah prestasi pemerintahan yang baru, yang telah sukses melambungkan harga-harga kebutuhan pokok. Inilah rekor terbaik pemerintahan yang baru, yang digembar-gemborkan sebagai pemerintahan yang pro-rakyat tapi nyatanya makin membebani rakyat. Eksperimen politik dan eksperimen ekonomi pemerintahan yang kini berkuasa, telah menjadikan rakyat sebagai kelinci percobaan semata: harga kebutuhan pokok melambung, ongkos angkutan umum juga melambung, dan nilai tukar rupiah anjlok.
Swasembada pangan? Hehehehe, ini jargon politik pemerintahan yang baru. Mendistribusikan pupuk secara merata di musim tanam tahun ini saja, pemerintah kedodoran. Padahal, Menteri Pertanian sudah memanggil produsen pupuk, sudah pula meeting dengan para distributor pupuk. Hasilnya: di sejumlah wilayah, terjadi kelangkaan pupuk, yang jelas-jelas merupakan titik awal swasembada pangan. Petani menjerit karena pupuk langka. Kalaupun ada pupuk, harganya mencekik leher.
Mendongkrak Kedelai Lokal
Dominasi kedelai impor, khususnya yang diimpor dari Amerika Serikat, benar-benar membuktikan bahwa tidak ada kedaulatan pangan di negeri ini. Upaya untuk mendongkrak produksi kedelai lokal, bukan tak pernah dilakukan. Menurut Direktur Tanaman Umbi dan Kacang, Ditjen Tanaman Pangan Kementan, Maman Suherman, total luas lahan kedelai nasional saat ini sekitar 700-800 ribu hektar. Itu tersebar di sentra produksi kedelai Indonesia: Nusa Tenggara Barat (NTB), Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Yogyakarta.
Tahun 2013, Kementerian Pertanian (Kementan) mengalokasikan dana sekitar Rp 800 miliar untuk pengembangan areal lahan penanaman kedelai di Tanah Air. Anggaran tersebut naik dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya, yang hanya Rp 400 miliar. Peningkatan anggaran sejalan dengan naiknya target produksi kedelai tahun ini menjadi 1,5 juta ton dari realisasi tahun lalu 800 ribu ton. Maman Suherman menyadari, untuk mencapai target tersebut memang agak berat, akibat anomali iklim.
Bukan hanya itu. Menyusutnya lahan tanaman kedelai, juga menjadi faktor yang signifikan, yang menghambat peningkatan produksi kedelai lokal. Petani dengan cepat beralih ke tanaman lain, karena selisih biaya produksi kedelai dengan harga jual kedelai, mereka nilai kurang menguntungkan. Di Provinsi Jambi, misalnya. Pada tahun 1990-an, provinsi ini selalu swasembada kedelai. Tapi, karena harga jual kedelai di tingkat petani rendah, padahal para petani sudah berkali-kali unjuk rasa menuntut kenaikan harga kedelai, akhirnya mereka beralih ke tanaman lain.
Menurut Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi, Amrin Azis, kepada SP, Kamis (26/9/2013), 50% dari ribuan hektar areal tanaman kedelai di Kabupaten Tanjungjabung Barat dan Tanjungjabung Timur, kini sudah beralih menjadi areal kebun kelapa sawit. Di sejumlah wilayah lain yang menjadi penghasil kedelai, hal serupa juga terjadi.
Pada periode Oktober-Desember 2014, Kementerian Perdagangan (Kemdag) menetapkan harga beli petani (HBP) kedelai sebesar Rp 7.600 per kilogram. Angka ini sama seperti HBP periode Juli-September 2014. Namun, HBP tersebut dianggap rendah. Petani kedelai dari Jember, Jawa Timur, menilai, seharusnya harga bisa lebih tinggi. "Pemerintah seharusnya menjaga semangat petani dengan menetapkan HBP di Rp 7.800 - Rp 8.000 per kg," ujar mereka.
Sejumlah faktor di atas, tentu akan menambah panjang perjalanan menuju swasembada kedelai, karena pada saat yang sama, konsumsi kedelai terus melambung tinggi.
Jakarta, 05-01-2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H