[caption id="attachment_346876" align="aligncenter" width="554" caption="Tradisi Pejabat Pemerintah mencium tangan Ketua Umum Partai Politik, telah menjadi tradisi tahunan ranah politik Indonesia. Foto kiri tahun 2014 dan foto kanan tahun 2015. Mungkin realitas ini menjadi topik yang relevan untuk kajian kepemimpinan dalam konteks feodalisme dan budaya. Foto: tribunnews.com dan antaranews.com"][/caption]
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Pejabat Publik dan Partai Politik. Secara institusi mungkin nampak terpisah. Pejabat Publik melepas jabatan di Partai Politik. Apalah artinya semua itu, bila perilaku politisi justru menunjukkan, betapa tidak independennya Pejabat Publik.
Gambaran Budiman Sudjatmiko, mungkin masih relevan. "Saya melihat dari cara berpikir, ada budaya mempertahankan feodalisme dicampur dengan indvidualisme yang didorong terus-menerus," kata Budiman Sudjatmiko, caleg terpilih dari PDI Perjuangan, dalam dialog budaya di Jakarta, pada Kamis (20/8/2009).
Demikian pula halnya dengan Salim Said, doktor ilmu militer dari Sorbonne University, Paris, Prancis, yang mengemukakan analisisnya secara blak-blakkan, terkait polemik calon tunggal Kapolri, Budi Gunawan. "Yang membuat Jokowi jadi presiden itu Mega. Itu tak gratis. Kalau Mega punya kepentingan, pasti dia minta ke Jokowi," kata Salim di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 17 Januari 2015.
Istana Banyak Hantu
Puteri mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid atau Yenny Wahid, pada Sabtu, 18 Oktober 2014, bercerita bahwa akan ada banyak hal yang tak nyaman di kompleks Istana, berbeda dibandingkan dengan rumah masyarakat pada umumnya. "Banyak hantunya pula," kata Yenny di Istana Bogor, Jawa Barat, kala itu.
Yenny tentu sedang tidak bercanda. Karena, ayahnya pernah jadi Presiden dan ia pernah tinggal di Istana. Bagi masyarakat awam yang belum pernah menginjakkan kaki di sana, Istana memang sebuah misteri. Bukan hanya terkait dengan bangunannya tapi juga menyangkut sejumlah keputusan yang diputuskan serta ditetapkan di sana. Salah satunya, keputusan menetapkan calon tunggal Kapolri, Budi Gunawan.
Yang memilih Istana. Yang mengajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ya Istana. Hasto Kristiyanto, Pelaksana tugas Sekretaris Jenderal PDIP, juga sudah menegaskan, seluruh proses yang berjalan hingga saat ini adalah keinginan Jokowi. Tidak mungkin ditarik. Budi Gunawan adalah usulan Presiden sendiri. Proses politik sudah selesai. Tinggal pelantikan saja. Waktunya kapan, terserah Presiden.
Siapa yang dipilih Istana, menunjukkan kapasitas kepemimpinan Istana. Budi Gunawan yang sudah dipilih Istana sebagai calon tunggal Kapolri, mencerminkan tingkat kesungguhan Istana dalam pemberantasan korupsi. Bahwa kemudian Istana menunda untuk melantik Budi Gunawan, itu memperlihatkan bahwa Istana ragu dengan pilihannya sendiri.
Apakah Istana dipimpin oleh seorang yang peragu? Kenapa Istana tidak mengeksekusi pilihannya sendiri? "Yang kalian minta sudah saya kasih. Saya kasih si kerempeng ini (Jokowi). Biar kerempeng, dia adalah banteng," kata Megawati, disambut sorak-sorai simpatisan PDI-P di Lapangan Thor, Surabaya, Jawa Timur, Senin (17/3/2014). Banteng, sebagaimana halnya dalam atraksi Matador, agaknya, bukan hewan yang peragu.
[caption id="attachment_346877" align="aligncenter" width="592" caption="Petunjuk kata dasarnya tunjuk. Dalam kekuasaan, tunjuk bisa berarti perintah. Ada yang memberi perintah dengan menunjuk-nunjuk. Ada yang menerima perintah dengan manggut-manggut. Tunjuk sebagai simbol kekuasaan, mungkin menjadi topik yang relevan untuk kajian kepemimpinan dalam konteks feodalisme dan budaya. Foto: tribunnews.com dan okeinfo.net"]
Restu Tidak Tulus
Salim Said yang merupakan pengamat militer dari Universitas Pertahanan, Jakarta, menilai, restu Megawati Soekarnoputri terhadap Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk menjadi presiden dan wakil presiden, tak tulus. Restu tersebut memiliki unsur politis yang sarat kepentingan, saat keduanya berhasil memenangkan pemilihan umum.
Kepentingan memang darah-dagingnya politik. Tak ada orang yang masuk ranah politik tanpa kepentingan. Namun, ketika sejumlah kepentingan tersebut tidak dikelola dengan strategi kepemimpinan yang handal, yang lahir hanyalah spekulasi demi spekulasi. Bukan hanya menguras energi yang tak perlu, tapi juga menggiring publik untuk mendurhakai akal sehat.
Ini tentu akan menimbulkan sejumlah kesulitan. Bahkan, ketika menanggapi protes yang dilayangkan para Relawan Dua Jari, yang mendatangi Istana pada Kamis (15/1/2015), Sekretaris Kabinet, Andi Widjajanto, mengungkapkan, Istana minta relawan pahami posisi sulit Presiden Jokowi. Dalam konteks government communication, pernyataan Andi Widjajanto itu tentu tidak strategis.
Di tengah seliweran spekulasi saat ini, tidak pada tempatnya Sekretaris Kabinet menyatakan bahwa Istana berada dalam posisi sulit. Yang memilih Budi Gunawan kan Istana. Yang menetapkan calon tunggal Kapolri, kan Istana. Yang mengajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ya Istana. Hasto Kristiyanto, Pelaksana tugas Sekretaris Jenderal PDIP, juga sudah menegaskan, seluruh proses yang berjalan hingga saat ini adalah keinginan Jokowi. Yang menunda pelantikan pun Istana.
Apakah posisi sulit yang dinyatakan Andi Widjajanto menunjukkan, kepemimpinan Istana terbelit oleh kebijakannya sendiri? Atau, mempertegas pernyataan Budiman Sudjatmiko tentang budaya feodalisme dicampur dengan indvidualisme? Dalam konteks government communication, pernyataan Andi Widjajanto sama sekali tidak clear. Justru, pernyataan tersebut mengembang-biakkan spekulasi yang tak perlu, yang menguras energi.
[caption id="attachment_346878" align="aligncenter" width="639" caption="Politik bisik-bisik bisa disaksikan di semua level pemangku kepentingan, antara Pejabat Pemerintah dengan Partai Politik. Aksi politik bisik-bisik ini kerap juga disebut sebagai politik kasak-kusuk. Mulai dari level Kelurahan sampai tingkat Kementerian, bahkan hingga Istana. Topik politik bisik-bisik ini mungkin relevan untuk kajian kepemimpinan dalam konteks feodalisme dan budaya. Foto: riaupos.co dan sayangi.com "]
Politik Para Pembisik
Politik bisik-bisik boleh jadi khas ranah politik Indonesia. Di dunia luar, aksi bisik-bisik itu dikemas menjadi private lobbying. Di kalangan jurnalis, ada istilah Pembisik Istana, Pembisik Presiden, Pembisik Menteri, dan sebagainya. Di lingkungan Partai Politik, aksi pembisik seringkali lebih masif sifatnya. Mereka yang berkesempatan dekat dengan penguasa, memilih cara berbisik untuk menyampaikan agenda kepentingan yang mereka miliki, untuk mereka goal-kan.
Dalam kacamata political marketing, seorang pembisik mendapat kesempatan emas untuk melakukan direct selling the idea kepada pemegang tampuk kekuasaan. Apa yang dibisikkan, tentulah subjektif sifatnya, meski dikemas seakan-akan rangkuman informasi objektif. Bila posisi pembisik lebih senior dibandingkan sang pemegang tampuk kekuasaan, maka yang terjadi bukan lagi direct selling the idea tapi political push factors, ada unsur mempengaruhi, ada aspek tekanan.
Bila mengacu kepada analisis Doktor Ilmu Militer Salim Said di atas, bahwa yang membuat Jokowi jadi Presiden itu Mega dan itu tak gratis, maka politik bisik-bisik bisa diartikan sebagai politik balas budi. Ada yang dipertukarkan. Dalam bahasa anak jalanan you get this, you give this. Mungkin kurang santun bila itu disebut sebagai politik transaksional.
Seberapa besar daya pengaruh sang pembisik, semua terpulang pada seberapa tinggi kapasitas kepemimpinan sang pemegang tampuk kekuasaan. Pada kasus Budi Gunawan, publik tentu bisa mengukur dan menilai.
Jakarta, 19-01-2015