[caption id="attachment_350631" align="aligncenter" width="728" caption="Nia Dinata jadi nara sumber di KompasianaTV, terkait kisruh di Kementerian Pariwisata yang memainkan anggaran dan mengirim delegasi yang tidak kompeten ke Berlinale Film Festival ke-65 di Berlin. Foto kanan: Tanah Mama, film dokumenter terbaru yang diproduseri Nia Dinata, tentang ibu miskin yang mengais di sepetak ladang di tanah Papua yang kaya raya. Foto: kompasiana dan dok. kalyana shira picture"]
Kemenpar Nistakan Sineas
Di beberapa kesempatan, Armein Firmansyah terus berupaya cuci tangan. Dalam pertemuan dengan Badan Perfilman Indonesia (BPI) di Gedung Film, Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan, Rabu (4/2/2015), misalnya. Di pertemuan yang dipimpin Kemala Atmojo, selaku Ketua BPI, Armien Firmansyah mengatakan bahwa untuk biaya pra-operasi delegasi selama ini, ia tidak menggunakan uang negara tapi uang dari pihak event organizer (EO).
Tentang 10 nama tim delegasi yang mengatasnamakan profesi sineas tersebut, Armien menerangkan, awalnya Kemenpar hanya ingin mengikuti European Film Market untuk mempromosikan film-film Indonesia. Karena itu, delegasi yang dikirim lebih banyak dari EO dan Kemenpar. Untuk memperlancar pengurusan visa, ia menyebut pekerjaan mereka sebagai aktris, aktor, maupun pengamat film.
Makin sering Armein Firmansyah berupaya cuci tangan, makin terkuak pula, betapa demikian banyaknya ketidakberesan, patgulipat anggaran, manipulasi data, serta indikasi korupsi di Kementerian Pariwisata. Alangkah teganya Kemenpar menistakan profesi para sineas. Padahal, para sineas, baik secara individu, maupun secara kelompok, telah memberikan kontribusi positif pada Kemenpar, dalam konteks melakukan eksplorasi kreatif terhadap budaya dan pariwisata lokal, kemudian mengkomunikasikannya ke dunia internasional.
Semua itu dilakukan para sineas secara sukarela, tanpa dukungan dana dari Kemenpar. Para sineas menekuni semua itu sebagai bagian dari kerja kreatif, bukan sebagai proyek yang penuh rekayasa seperti di Kemenpar. Dengan kata lain, sesungguhnya Kemenpar sudah memetik banyak manfaat dari apa yang sudah dilakukan para sineas, tanpa Kemenpar mengucurkan dana. Seharusnya, Kemenpar men-support para sineas, bukan menistakan profesi mereka.
[caption id="attachment_350632" align="aligncenter" width="722" caption="Tahun 2012, film Postcards from the Zoo yang disutradarai Edwin berhasil masuk dalam sesi Kompetisi Utama di International Competition Berlinale (Berlin International Film Festival) 2012. Untuk menunjukkan suka cita atas prestasi tersebut, Duta Besar RI di Berlin masa itu, Dr. Eddy Pratomo, mengadakan jamuan cocktail bertajuk Indonesia Cinema Night. Foto: 3.bp.blogspot.com"]
Berlinale, Soft Diplomacy
Berlinale Film Festival di Berlin, bukanlah ajang sembarangan. Alangkah teganya Kemenpar mengirim delegasi abal-abal yang tidak kompeten, dengan mengatasnamakan profesi sineas. Berlinale ini sudah diselenggarakan sejak tahun 1951 dan menjadi salah satu barometer festival film dunia. Tahun 2015 ini merupakan tahun ke-65 Berlinale. Ajang tahunan para insan dan penggemar film dunia tersebut, selalu dipadati pengunjung.
Tidak kurang dari 19.000 insan film dan 4.000 jurnalis dari 120 negara, serta 230.000 penonton hadir di sana. Untuk menjaga kualitas festival tersebut, panitia hanya menayangkan film-film yang memenuhi kualifikasi saja. Maka, keberadaan sineas Indonesia dan karya mereka di sana, adalah sebuah kehormatan bagi Indonesia, untuk tampil di forum dunia.