Tidak Profesional, Tidak Peduli
Enteng banget Jusuf Kalla berkata bahwa semua ini hanya karena persoalan administrasi semata. Masak sih Presiden, Wakil Presiden, dan 34 Menteri segitu ribetnya ngurus administrasi beras miskin, hingga 360.000 ton beras miskin tertahan sampai 3 bulan. Padahal, Presiden meng-klaim para menteri Kabinet Kerja adalah tokoh-tokoh profesional. Profesional macam apa ini?
Beras itu makanan pokok rakyat. Lonjakan harga beras, dengan otomatis akan melambungkan pula harga-harga pahan pokok lainnya. Semua itu jelas akan menambah beban rakyat. Dengan tidak didistribusikannya 360.000 ton beras miskin sampai 3 bulan, alasan persoalan administrasi yang dikemukakan Jusuf Kalla, sungguh tidak profesional. Tak pantas seorang Wakil Presiden melontarkan alasan yang demikian naif itu.
Dari alasan naif tersebut, yang justru terlihat di sini adalah bahwa penguasa tidak sensitif dengan beban yang sesungguhnya dihadapi rakyat. Sebelum subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dicabut Jokowi, harga-harga pahan pokok sebenarnya sudah merangkak naik. Setelah Presiden RI Joko Widodo mengumumkan kenaikan harga BBM pada Senin malam, 17 November 2014, harga bahan pokok melambung tinggi. Ongkos transportasi pun melonjak.
Ketika harga BBM dilepas mengikuti mekanisme harga pasar minyak dunia, yang berdampak pada turunnya harga BBM dalam negeri karena turunnya harga BBM dunia, harga-harga pahan pokok dan ongkos transportasi praktis tidak turun. Pedagang tidak mau menurunkan harga, pengusaha angkutan ogah menurunkan tarif. Kemudian, pemerintah juga menaikkan tarif kereta ekonomi jarak sedang dan jauh per 1 Januari 2015.
Nah, di rentang November-Desember 2014 dan Januari-Februari 2015, sesungguhnya adalah masa yang rawan. Baik dalam konteks ekonomi maupun dalam lingkup politik. Karena, harga-harga pahan pokok dan ongkos transportasi belum stabil. Penguasa pun tak berdaya mengendalikan para pedagang dan pengusaha angkutan. Celakanya, sudahlah tidak berdaya kendalikan harga, penguasa pun tidak mencermati dengan sungguh-sungguh beban yang dihadapi rakyat.
[caption id="attachment_352937" align="aligncenter" width="780" caption="Petugas Disperindag Kota Kediri, Jawa Timur, melihat ketersediaan stok beras di gudang Bulog Divre 5 Kediri, Selasa (24/2/2015). Yetty Sisworini dari Disperindag Kota Kediri mengatakan, belum bisa melakukan Operasi Pasar minggu ini, karena panjangnya prosedur yang harus dilewati. Mekanisme pengajuannya berjenjang, dari pemerintah daerah setempat ke tingkat pemerintah lebih tinggi, hingga ke Kementerian Perdagangan. Keputusan menteri tersebut menjadi legalitas pelaksanaan operasi pasar. Foto: kompas.com"]
Naik di Kota, Naik di Desa
Alasan administrasi yang dikemukakan Jusuf Kalla tentang tidak didistribusikannya 360.000 ton beras miskin sampai 3 bulan tersebut, tentulah sebuah tanda tanya besar. Apakah hal itu merupakan kebijakan? Apakah hal itu menunjukkan, betapa kedodorannya mekanisme koordinasi kepentingan rakyat dalam Kabinet Kerja?
Kabinet Kerja kedodoran? Mungkin ada benarnya. Jusuf Kalla sudah membantah tudingan Menteri Perdagangan tentang mafia beras. Eh, sehari setelah bantahan Kalla, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman pada Selasa (24/2/2015) pagi, melontarkan lagi adanya mafia beras yang menjadi penyebab kenaikan harga beras.