[caption id="attachment_352935" align="aligncenter" width="647" caption="Presiden Joko Widodo baru bereaksi setelah harga beras melonjak hingga 30 persen. Hari ini, Rabu (25/2/2015) Jokowi mendatangi Gudang Bulog. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga baru bereaksi setelah harga beras naik drastis. Senin, 23 Februari 2015, Jusuf Kalla memimpin rapat koordinasi mengenai kondisi perberasan di Kantor Wapres di Merdeka Utara. Sedianya, rapat digelar di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian tapi mendadak pindah ke Kantor Wapres. Foto: kompas.com"][/caption]
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Kata Jusuf Kalla, November-Desember 2014 dan Januari 2015, 500.000 ton beras miskin mestinya sudah didistribusikan. Nyatanya, yang baru disebar hanya 140.000 ton. Alasan Jusuf Kalla, ini karena persoalan administrasi. Hari ini, Rabu (25/2/2015) Jokowi mendatangi Gudang Bulog.
Setelah harga beras melonjak hingga 30 persen, setelah harga-harga sembako melambung akibat lonjakan harga beras, penguasa baru bereaksi menggelar Operasi Pasar. Jusuf Kalla bereaksi. Joko Widodo bereaksi. Ini manajemen reaktif namanya, bukan manajemen antisipatif. Dalam guyonan anak jalanan, rumah sudah hangus terbakar, pemadam kebakaran baru tiba. Hehehe.
Rapat Mendadak, Reaksi Seketika
Inilah contoh, bagaimana para menteri Kabinet Kerja yang kabarnya profesional itu, menyikapi situasi-kondisi perberasan. Harga-harga kebutuhan pokok, sesungguhnya sudah merangkak naik, sejak November 2014. Dan, beras adalah kebutuhan pokok utama rakyat negeri ini. Kenaikan harga beras, otomatis akan mendongkrak naiknya harga-harga kebutuhan pokok yang lain.
Setelah Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel, mengetahui bahwa harga beras di pasar sudah meroket hingga 30 persen, ia baru sadar bahwa ia tidak mampu mengendalikan harga beras, meski ia sudah menugaskan Badan Urusan Logistik (Bulog) melakukan Operasi Pasar. Rachmat Gobel bukannya mengevaluasi kebijakannya tapi dengan lantang menuding bahwa ada mafia beras yang bermain, yang mengakibatkan harga beras melambung tinggi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil, mengagendakan rapat koordinasi dengan menteri terkait pada Senin, 23 Februari 2015, untuk membahas masalah perberasan. Semula, rapat itu akan dilaksanakan di kantornya. Tapi, tempat rapat secara mendadak dipindahkan ke Kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla. Rapat yang dimulai pukul 16.30 WIB itu dipimpin langsung Jusuf Kalla. Selain Sofyan Djalil, rapat itu dihadiri, di antaranya, oleh Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo, dan Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin.
Seusai rapat, Wakil Presiden Jusuf Kalla langsung menampik adanya mafia beras yang bermain di balik naiknya harga pangan utama masyarakat Indonesia tersebut. Ia menduga, permainan di pasaran hanya sebatas timbun-menimbun beras. Pernyataan Jusuf Kalla mematahkan tudingan Rachmat Gobel. Menurut Kalla, penyebab utama lonjakan harga beras yang terjadi belakangan ini, karena permasalahan distribusi beras untuk masyarakat miskin (raskin).
Kata Kalla, selama 3 bulan terakhir dari November-Desember-Januari, raskin belum disalurkan karena persoalan administrasi. "Karena masalah-masalah administrasi teknis selama 3 bulan terkahir ini, raskin yang mestinya sudah keluar 500.000 ton sekian, baru keluar 140.000 ton," ujar Jusuf Kalla usai rapat koordinasi soal harga beras di Kantor Wapres, Senin (23/2/2015).
[caption id="attachment_352936" align="aligncenter" width="603" caption="Bantah-membantah memang hal yang wajar. Tapi, untuk urusan beras, tak bisa dipandang enteng. "]
Tidak Profesional, Tidak Peduli
Enteng banget Jusuf Kalla berkata bahwa semua ini hanya karena persoalan administrasi semata. Masak sih Presiden, Wakil Presiden, dan 34 Menteri segitu ribetnya ngurus administrasi beras miskin, hingga 360.000 ton beras miskin tertahan sampai 3 bulan. Padahal, Presiden meng-klaim para menteri Kabinet Kerja adalah tokoh-tokoh profesional. Profesional macam apa ini?
Beras itu makanan pokok rakyat. Lonjakan harga beras, dengan otomatis akan melambungkan pula harga-harga pahan pokok lainnya. Semua itu jelas akan menambah beban rakyat. Dengan tidak didistribusikannya 360.000 ton beras miskin sampai 3 bulan, alasan persoalan administrasi yang dikemukakan Jusuf Kalla, sungguh tidak profesional. Tak pantas seorang Wakil Presiden melontarkan alasan yang demikian naif itu.
Dari alasan naif tersebut, yang justru terlihat di sini adalah bahwa penguasa tidak sensitif dengan beban yang sesungguhnya dihadapi rakyat. Sebelum subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dicabut Jokowi, harga-harga pahan pokok sebenarnya sudah merangkak naik. Setelah Presiden RI Joko Widodo mengumumkan kenaikan harga BBM pada Senin malam, 17 November 2014, harga bahan pokok melambung tinggi. Ongkos transportasi pun melonjak.
Ketika harga BBM dilepas mengikuti mekanisme harga pasar minyak dunia, yang berdampak pada turunnya harga BBM dalam negeri karena turunnya harga BBM dunia, harga-harga pahan pokok dan ongkos transportasi praktis tidak turun. Pedagang tidak mau menurunkan harga, pengusaha angkutan ogah menurunkan tarif. Kemudian, pemerintah juga menaikkan tarif kereta ekonomi jarak sedang dan jauh per 1 Januari 2015.
Nah, di rentang November-Desember 2014 dan Januari-Februari 2015, sesungguhnya adalah masa yang rawan. Baik dalam konteks ekonomi maupun dalam lingkup politik. Karena, harga-harga pahan pokok dan ongkos transportasi belum stabil. Penguasa pun tak berdaya mengendalikan para pedagang dan pengusaha angkutan. Celakanya, sudahlah tidak berdaya kendalikan harga, penguasa pun tidak mencermati dengan sungguh-sungguh beban yang dihadapi rakyat.
[caption id="attachment_352937" align="aligncenter" width="780" caption="Petugas Disperindag Kota Kediri, Jawa Timur, melihat ketersediaan stok beras di gudang Bulog Divre 5 Kediri, Selasa (24/2/2015). Yetty Sisworini dari Disperindag Kota Kediri mengatakan, belum bisa melakukan Operasi Pasar minggu ini, karena panjangnya prosedur yang harus dilewati. Mekanisme pengajuannya berjenjang, dari pemerintah daerah setempat ke tingkat pemerintah lebih tinggi, hingga ke Kementerian Perdagangan. Keputusan menteri tersebut menjadi legalitas pelaksanaan operasi pasar. Foto: kompas.com"]
Naik di Kota, Naik di Desa
Alasan administrasi yang dikemukakan Jusuf Kalla tentang tidak didistribusikannya 360.000 ton beras miskin sampai 3 bulan tersebut, tentulah sebuah tanda tanya besar. Apakah hal itu merupakan kebijakan? Apakah hal itu menunjukkan, betapa kedodorannya mekanisme koordinasi kepentingan rakyat dalam Kabinet Kerja?
Kabinet Kerja kedodoran? Mungkin ada benarnya. Jusuf Kalla sudah membantah tudingan Menteri Perdagangan tentang mafia beras. Eh, sehari setelah bantahan Kalla, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman pada Selasa (24/2/2015) pagi, melontarkan lagi adanya mafia beras yang menjadi penyebab kenaikan harga beras.
Setelah mengecek langsung di lapangan, Andi Amran Sulaiman sampai pada kesimpulan, ”Harga beras tinggi ketika di kota, berbeda dengan di desa. Ini ada permainan tengkulak," kata Amran, saat mengunjungi panen raya di Desa Dempet, Kecamatan Dempet, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Selasa (24/2/2015) pagi.
Kesimpulan Andi Amran tersebut bertolak-belakang dengan temuan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT), Marwan Jafar. Lonjakan harga beras bukan hanya terjadi di perkotaan, tapi juga di pedesaan. Marwan Jafar mengaku mendapat banyak laporan tentang kenaikan harga beras dan kebutuhan pokok lainnya dari pasar tradisional di desa-desa.
Marwan Jafar menilai, kenaikan harga beras ini sudah menjadi masalah yang serius. "Kenaikkan harga beras dan kebutuhan pokok lainnya, sudah mulai terjadi sejak akhir tahun 2014 dan terus berlangsung sampai sekarang," kata Marwan Jafar di Jakarta, Senin, 23 Februari 2015.
Jakarta, 25-02-2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H