Tikar. Hanya ada selembar tikar di sepetak ruang itu. Siang menjadi ruang tamu dan malam menjadi kamar tidur. Ada sembilan anak manusia yang berhimpitan di ruang tersebut. Sesak, sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Kini, rasa sesak itu turut pula menyesakkan dada kita. Karena, salah seorang di antara mereka, tidak bisa melanjutkan ke jenjang sekolah menengah atas. Bukan karena ia bodoh. Tapi, karena ia miskin, lahir dari keluarga miskin.
Kita tahu, ia bernama Cindy Nurril Kusumah. Usianya sekitar 17 tahun. Ia selalu mendapat peringkat kedua atau ketiga di kelas, di sekolahnya di Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah 1 Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Entah kenapa, kisah yang menyesakkan ini diketahui orang banyak, hanya beberapa hari menjelang Lebaran. Dan, bertepatan dengan jutaan orang yang asyik menguras isi dompet  di pusat perbelanjaan untuk menyambut Lebaran.
Semula, saya berfikir, ayahnya telah menyia-nyiakan anaknya. Tapi kemudian, saya tertegun. Ternyata, ayahnya adalah seorang pekerja keras, yang berjuang sepenuh hati untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pekerjaan utamanya sebagai surveyor dan untuk mencukupi kebutuhan hidup, ia bekerja sambilan menjadi pengemudi ojek. Upaya kepala keluarga yang sungguh mengesankan.
Ibunya pun tidak tinggal diam. Perempuan setengah baya itu berjualan nasi uduk di dekat mal, di kawasan Lebak Bulus. Bukan hanya itu. Bila dagangan sudah habis, sang ibu melanjutkan perjuangan keluarga dengan turut menjadi pengemudi ojek. Alangkah sungguh-sungguh pasangan suami-istri itu mengemban kewajiban mereka sebagai orang tua. Mereka tak kenal lelah, di tengah bengisnya kehidupan kota.
Namun, apa hendak dikata, nestapa datang tanpa diduga. Agustus 2016 lalu, sang ayah mengalami kecelakaan di jalan raya, saat berjuang demi keluarga. Tulang paha kirinya patah. Ia tidak bisa bekerja lagi sebagai surveyor, juga tidak mampu lagi menjadi pengojek. Dana yang mereka punya tak cukup untuk menjalani operasi secara medis. Yang bisa mereka lakukan hanya membayar tukang urut, yang tingkat kesembuhannya jauh dari harapan.
Sang ayah pun hanya bisa menghitung hari, menghabiskan waktu di selembar tikar itu. Apa yang dihasilkan sang ibu, tentulah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Uang sekolah anak-anak tertunggak. Aneka tunggakan sekolah Cindy Nurril Kusumah, misalnya, mencapai Rp 4,1 juta. Ijazahnya ditahan pihak sekolah. Ia pun tidak bisa melihat nilai kelulusannya. Dampak lanjutannya, ia tidak bisa mendaftar untuk melanjutkan ke jenjang sekolah menengah atas.
Sambil menonton televisi, menyaksikan puluhan ribu mobil bergerak mudik meninggalkan Jakarta, saya hanya mampu bergumam dalam hati. Di satu sisi, kagum pada pesatnya kehidupan para pemudik, yang dengan suka-cita melintasi jalan tol yang baru dibangun. Di sisi lain, terenyuh pada nestapa yang dialami Cindy Nurril Kusumah. Akankah pendidikan anak pintar ini berakhir di jenjang Madrasah Tsanawiyah?
Di channel televisi yang lain, saya menyaksikan orang-orang pintar berargumen tentang sekolah delapan jam sehari. Nestapa Cindy Nurril Kusumah tentu saja tidak menjadi bagian dari perbincangan mereka. Ini kasuistik, tidak menggambarkan kondisi dunia pendidikan kita secara nasional, mungkin begitu pikir mereka.
Barangkali demikian pula pikiran sebagian di antara kita. Dalam hati saya bertanya, benarkah hanya Cindy Nurril Kusumah seorang di negeri ini yang mengalami nestapa seperti ini?
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 22 Juni 2017