Kami duduk berhadapan, sebagai kakak dan adik. Saya sebagai adik sengaja menemuinya, di hari-hari terakhir Ramadan. Saya hendak mengajaknya pulang, pulang menemui ibu. Ia sudah beberapa kali Lebaran tidak pulang. Ia mutung, karena ibu tidak bersedia membantu modal usahanya. "Aku merasa sebagai anak tiri," gumamnya pendek. "Yang lain dibantu biaya sekolahnya, tapi usahaku tidak pernah dibantu. Aku memang tidak memilih melanjutkan sekolah seperti yang lain. Apa karena itu aku tidak pantas dibantu ibu?" ujarnya dengan nada tinggi.
Sejak awal, saya memang lebih memilih menjadi pendengar. Bahkan, ketika ia membanting kursi saat bertengkar dengan ibu beberapa waktu lalu, aku pun memilih diam. Tak hendak memperkeruh suasana. Bagiku, ia sebagai kakak dan ibu sebagai ibu, sama pentingnya. Menurutku, ia berhak meminta bantuan ibu, meski bukan untuk sekolah. Namun, ibu tidak terima sikapnya yang memilih meninggalkan sekolah. Karena itu, ibu ogah memberikan bantuan, meski ibu memiliki dana untuk itu.
"Ia anak tertua," kata ibu suatu kali padaku. "Ia harus memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup. Kenapa? Karena, setelah Bapak meninggal, ia ibu harapkan bisa mengambil peran Bapak. Dan, peran itu tidak akan bisa ia lakoni kalau pengetahuannya hanya sekadarnya. Kalau ilmunya hanya secukupnya. Karena itulah, ibu marah besar ketika ia memilih meninggalkan sekolah," ujar ibu lebih lanjut.
Mencermati sudut pandang ibu, saya paham. Ibu berpikir jangka panjang, agar kakak tertua itu bisa menjadi pemimpin bagi adik-adiknya. Agar ia mampu menjadi leader saat kelak harus menyelesaikan masalah yang timbul dalam keluarga. Sebaliknya, kakak punya pandangan lain. Ia ingin merintis jalan dengan berusaha, yang kelak bisa menjadi sumber finansial keluarga. Ia tidak ingin terlalu lama membebani ibu, karena itu ia putuskan untuk berhenti sekolah.
"Berusaha, merintis usaha, bukan jalan pintas. Dengan dana yang terbatas, risikonya terlalu tinggi untuk kita," tutur ibu pada kali lain. "Dengan dana yang diwariskan Bapak, rasanya cukup untuk membiayai kalian berempat sampai selesai pendidikan tinggi. Setelah itu, lakukanlah apa yang hendak kalian lakukan. Ibu hanya ingin mewujudkan amanat Bapak, bukan karena ibu anti wiraswasta," sambung ibu kemudian.
Kakak tetap bertahan tidak mau pulang, tidak mau menemui ibu. Ia merasa sudah disingkirkan dari rumah. Karena itu, untuk apa ia pulang? Saya mencoba berulang kali menjelaskan dasar pertimbangan ibu, tapi hati kakak tidak juga luruh. Bahkan, saya paparkan bahwa ibu hanya menjalankan amanat Bapak. Ibu tidak ingin menyalahi apa yang sudah diamanatkan Bapak. Toh, kakak tak juga tersentuh. Ia tetap bersikeras pada pendiriannya: tidak pulang.
Maka, dengan langkah lunglai, saya tinggalkan sang kakak. Di rumah, saya lebih banyak mengurung diri di kamar. Di satu sisi, saya sependapat dengan ibu. Di sisi lain, saya juga paham pendirian kakak. Sikap saling bersikeras seperti ini, menurut saya tak akan ada ujungnya. Saya mencoba menerka-nerka, setelah tidak berkomunikasi selama ini, apa ya yang dipikirkan ibu? Apa pula ya yang sesungguhnya dipikirkan kakak tentang hal ini?
Dua hari menjelang Lebaran, ibu mengajak saya ziarah ke makam Bapak. Ini di luar kebiasaan. Biasanya, kami ke makam Bapak beberapa hari sebelum Ramadan, kemudian pada hari H Lebaran, sehabis shalat Ied. Saya turuti ajakan ibu, toh tidak ada alasan untuk menolak. Sehabis ashar, kami berangkat. Di area makam, cukup banyak yang berziarah. Posisi makam Bapak agak di tengah, jadi kami melintasi para peziarah yang lain.
Alangkah terkejutnya kami, ketika Pak Amat yang biasa membersihkan makam, mengatakan, kakak sudah beberapa hari ini selalu datang ke makam Bapak. Saya terkejut. Ibu juga terkejut. Tapi, kami tidak membahasnya. Setelah menabur bunga dan berdoa, kami bergerak meninggalkan makam. Azan magrib berkumandang, kami mendekat ke arah mushala, yang tak jauh dari gerbang makam. Ya, Allah, di dalam mushalla, kami melihat kakak sedang duduk berdoa. Ibu menghampiri, kemudian memeluknya.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 19 Juni 2017