Sepulang shalat tarawih barusan, saya terisak sendiri. Saya membaca, ada ibu dengan empat anak yang membiayai kehidupan sehari-harinya sebagai pengemis ngesot. Ia sesungguhnya normal, tidak cacat. Tapi, demi meraih belas kasihan, ia bungkus kedua kakinya, lantas mengesot di jalanan. Beberapa pedagang dekat ia mangkal, sudah tahu akal bulusnya itu. Bahkan, ada yang mencibir. Namun, ia tak peduli. Ia terus beroperasi, mengemis ngesot.
Saya terharu dengan perjuangannya. Terharu pada tekadnya, demi menghidupi anak-anaknya. Anak tertuanya sudah lulus SMA dan si bungsu baru berumur satu tahun. Ia janda, sudah bercerai dengan suaminya. Sang suami kini tinggal di kota lain, bekerja sebagai kuli pemotong kayu. Jangankan untuk membantu biaya anak-anaknya, untuk dirinya sendiri pun penghasilannya tidak cukup.
Dalam hati saya bertanya, ada berapa banyak ibu seperti ini di Jakarta? Kita tentu tidak mengenalnya, tapi ia sesungguhnya bagian dari kita. Bagian dari potret kaum papa di ibu kota ini. Saya tidak tahu, di mana ia tinggal dan seperti apa huniannya. Yang jelas, saya terharu akan beban hidup yang harus ia panggul sendirian. Akan seperti apa hari depan anak-anak itu?
Sementara, tadi sebelum tarawih, saya mendengar dari penceramah, betapa mulianya bulan Ramadan ini. Berjuta umat berbondong-bondong ke masjid untuk meraih pahala, karena ada berkali lipat berkah dari-Nya pada bulan Ramadan ini. Kita, yang mungkin masih bekerja, yang memiliki santapan berlebih saat berbuka dan sahur, sudah sepatutnya sangat bersyukur pada-Nya.
Dibandingkan dengan ibu empat anak itu, barangkali nasib kita lebih baik. Setidaknya, kita tidak harus mengemis ngesot untuk menghidupi anak-anak kita. Saya merasa, Ia menuntun saya untuk membaca tentang ibu itu. Ini mungkin untuk mengingatkan bahwa selama ini saya kurang bersyukur, kurang bersujud pada-Nya. Padahal, tak kurang nikmat yang sudah saya peroleh.
Barangkali, ada di antara kita yang seperti saya, yang masih kurang bersyukur. Mudah-mudahan kisah ibu empat anak itu, bisa menjadi penggerak agar kita sama-sama meningkatkan rasa syukur. Kita tidak tahu, esok akan seperti apa nasib kita. Mungkin bisa lebih papa dari ibu empat anak itu. Entahlah.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 11 Juni 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H